Membaca “Realisme” Emha

Muhammad Al-Fayyadl
sinarharapan.co.id

Nama Emha Ainun Nadjib dalam jagat kepenulisan kita sudah tak asing lagi. Ratusan kolom dan belasan buku telah lahir dari tangannya, termasuk sejumlah besar feature yang ditulisnya untuk media massa. Namun, dari sekian banyak tulisannya, orang mungkin akan mencatat bahwa karya Emha di bidang penulisan cerpen jauh lebih sedikit dibanding puisi atau esai-esainya, meski tak kalah fenomenal. Cerpen-cerpen yang ditulisnya merentang dari tahun 1977 sampai 1982, masa-masa awal ketika Emha baru memulai kariernya sebagai penulis. Segenggam cerpen itu, yang kini telah terbit dalam antologi tunggal BH (2005), menunjukkan dengan jernih bagaimana Emha berevolusi menjadi penulis yang benar-benar matang dalam mengolah kata-kata.

Apa yang terbayang pertama kali ketika bersentuhan dengan cerpen-cerpen Emha? Pembaca setidaknya akan menemukan satu ciri khas yang menjadi latar mengapa cerpen-cerpen itu terlihat memikat, yakni kegemaran Emha untuk bersikap “realis”. Emha tak muluk-muluk mengusung satu tema besar, melainkan kerap kali berangkat dari satu kejadian remeh di sekelilingnya. Peristiwa dalam cerpen Emha begitu berperan dalam membangun struktur cerita, sekaligus menopang logika yang membuat cerita itu mudah dicerna dan kerap tak terduga.

Cerpen yang menjadi tajuk kumpulan ini, “BH”, mengisahkan sebuah dramatik yang khas tentang bagaimana dua orang yang saling mencintai memahami arti cinta lebih dari sekadar seks atau hubungan intim di atas ranjang. Dikisahkan bahwa sang “aku” (narator) suatu waktu berkencan ke rumah pacarnya yang bernama Niken untuk merayakan ulang tahunnya. Niken yang tampil seksi pada malam itu semula membayangkan bahwa dirinya akan bercinta dengan “aku”. Tapi apa yang terjadi? Ketulusan cinta “aku” yang ingin tetap menjaga kehormatan dan kesucian diri Niken, justru membuat hati Niken luruh. Akhirnya, Niken pun paham bahwa wujud dari cinta sejati bukanlah pelampiasan birahi atau nafsu seks semata.

Judul “BH” (alias kutang) yang dipilih Emha untuk cerpen ini mungkin akan menjerumuskan pembaca pada pikiran bahwa ini cerpen porno yang vulgar. Tapi pikiran ?kotor? ini akan segera lewat begitu saja setelah kita masuk pada paragraf-paragraf awal. Emha tampaknya sengaja menjebak pembacanya. Dengan judul yang terkesan sarkastis dan mudah disalahtafsirkan, pembaca seolah ditelanjangi dan dibuat sadar akan kenaifan pikirannya. Seperti Putu Wijaya, Emha tak segan-segan menelanjangi pembaca. Bedanya, jika Putu melakukannya untuk meneror emosi, Emha lebih pada parodi dan ejekan. Emha seakan “mengejek” kenaifan pembaca, bahwa apa yang dipikirkannya keliru dan ia harus membaca ulang teks di hadapannya.

“BH” tentu bukan satu-satunya. Ada beberapa cerpen yang juga berkencenderungan “realis”, tapi tetap dengan alur yang sama mengejutkan. “Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku”, misalnya, menceritakan kemuakan seorang pelacur melihat laki-laki yang setiap hari datang untuk menikmati tubuhnya. Di mata sang pelacur, laki-laki adalah makhluk yang paling bejat. Mereka bukan saja membuatnya menderita, tapi juga menjerumuskannya ke jurang kenistaan yang membuatnya tak lagi dihargai sebagai manusia. Keluhnya: “Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang kedua adalah suamiku sendiri, dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal ynag baik dalam hidup ini, maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus ?”

Cerpen ini menyuarakan kepedihan seorang perempuan, yang harga dirinya hancur akibat kultur patriarki. Tapi, meski diceritakan secara realis, Emha seperti tak kekurangan energi untuk membuat terkejut pembacanya. Dengan realisme, Emha bahkan dapat menghadirkan tragika hidup dengan cara yang lebih menggugah. Cerpennya menghadirkan suara “subversif” yang mengolok-olok tatanan sosial yang mapan.

Dalam peta sastra Indonesia, kita setidaknya mengenal dua nama yang menonjol dalam realisme: Pramoedya Ananta Toer dan (alm.) Kuntowijoyo. Pram dikenal unggul dalam prosa-prosa realisnya, sehingga sering apa yang ditulisnya tak dapat dibedakan dari fakta. Ia menggali data sejarah sebagai inspirasi, dan dijadikannya itu semua latar utama dan perwatakan prosa-prosanya. Realisme telah membuat karya-karya Pram begitu kukuh dan monumental, sehingga tak salah bila W.F. Wertheim menyebutnya sebagai ?sejarawan?. Begitu halnya Kunto. Cerpen-cerpennya yang realis dikenal dengan muatan kritik sosial yang tajam. Goenawan Mohamad dalam salah satu kolomnya menulis bahwa kekuatan Kunto justru terletak pada deskripsinya yang datar, tapi ?dramatik dalam imajinasi?.

Emha mungkin nama ketiga yang perlu disebut dalam deretan para realis ini. Emha pintar mengolah peristiwa hidup yang rutin menjadi tak lazim dan penuh pergulatan. Dalam kedua cerpen di atas, ia mengangkat persoalan cinta dan frustasi yang banal menjadi peristiwa yang hidup dan eksistensial. Berbagai peristiwa yang berseliweran dalam keseharian menjadi bernilai di tangan Emha. Untuk yang satu ini, Emha juga pandai menyelami pergumulan batin para tokoh cerpennya. Tengoklah, misalnya, cerpen “Ambang” yang menuturkan pengalaman ambang seorang lelaki berhadapan dengan kematian. Sang lelaki dengan tanpa gentar menggugat Tuhan dan mempertanyakan mengapa ia harus mati. Dialog-dialog panjang dalam cerpen ini mencerminkan betapa serius dan dalam Emha menghayati batin sang tokoh.

Pergulatan-pergulatan batin itu dituturkan dengan cara yang mengejutkan dan sering kali meledak-ledak. Ini mengingatkan kita pada Iwan Simatupang, yang populer mengusung tema-tema eksistensial dalam prosanya. Perbedaannya, cerpen Emha jauh lebih mudah diikuti daripada prosa Iwan. Emha lebih jernih men-jlentreh-kan berbagai persoalan filosofis seputar jati diri manusia dengan lugas dan tanpa berbelit-belit. Ini menjadi kekuatan tersendiri, yang membuat cerpennya begitu istimewa sehingga sulit dilupakan.

Saya tak tahu apakah Emha masih menulis cerpen lagi. Mengingat cerpen-cerpennya yang telah terbit sudah berusia dua dasawarsa lebih, tak ada salahnya bila publik ingin membaca karya-karyanya yang lebih baru dan mewakili semangat kekinian.

*) Penulis adalah pembaca sastra, mukim di Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป