Judul: The Fifties Selection Antologi 20 Penyair
Penulis: Adhie M Massardi (et al)
Pengantar: Maman S. Mahayana
Penerbit: Pustaka Spirit Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 237 + xliv halaman
Peresensi: Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com
BUAT apa sebuah antologi puisi diterbitkan? Atau, pertanyaan lain: apa motif seseorang atau sekelompok orang menerbitkan antologi puisi?
Tentu banyak jawaban bisa muncul atas pertanyaan itu. Salah satu jawaban diutarakan Hendry Ch Bangun. Dialah pemrakarsa penerbitan antologi ini. Dia menyatakan buku kumpulan puisi ini adalah wujud nyata untuk memperkuat tali silaturahmi. Ya, penerbitan ini memang bermula dari ajang reuni dia dan kawan-kawan penyair “seangkatan” – yang kini sebagian asyik berpuisi lewat jejaring facebook.
Dan Maman S. Mahayana, yang menulis kata pengantar, mengapresiasi niatan nostalgik itu sangat mungkin memunculkan antologi ini sebagai “monumen”. Ya, monumen, baik dalam hubungan antarpribadi penyair yang terlibat maupun sebagai pemerkaya khazanah sastra Indonesia. Perkara ini monumen kecil atau besar, itu soal lain. Yang jauh lebih penting, ujar Maman, antologi ini adalah manifestasi dari kegelisahan mereka – kegelisahan sebagai tanda hidup (meminjam ungkapan Sitor Situmorang).
Apalagi ketika pembaca – terutama generasi terkini – tahu bahwa mereka, ke-20 penyair itu, sejak awal memang penulis (puisi), baru kemudian memilih profesi lain (kebanyakan jadi jurnalis), dan pernah meramaikan jagat perpuisian era 80-an. Meski, sebagaimana ditulis Maman, mereka acap pula tercecer dalam penulisan sejarah sastra kita.
Pembanding
Namun justru karena itulah penerbitan antologi ini memperoleh makna signifikan: sebagai bahan pelengkap atau pemerkaya telaah perpuisian pada rentang masa tertentu, terutama era 80-an. Baik bagi para pemerhati sastra maupun, terutama sebagai pembanding, bagi penyair generasi terkini dalam sastra Indonesia. Lebih-lebih lagi, terselip beberapa di antara ke-20 penyair ini – ah, Maman keliru menuliskan jumlah mereka 21 orang (halaman xii) – belum pernah sekali pun menerbitkan puisi dalam sebuah antologi.
Ke-20 penyair itu ditampilkan secara alfabetis. Mereka adalah Adhie M Massardi, Adri Darmadji Woko, Afrizal Anoda, Anny Djati W, Aryana SR, Dharmadi, Eka Budianta, Fakhrunas MA Jabbar, Fatchurrachman Soehari, Hendry Ch bangun, Heryus Saputro, Kurniawan Junaedhie, Linda Djuwita Djalil, MH Giyarno, Noorca Marendra Massardi, Remy Soetansyah, Safruddin Pernyata, Sutan Iwan Soekri Munaf, Saut Poltak Tambunan, dan Wahyu Wibowo. Merekalah generasi penulis era Majalah Anita (Cemerlang) – salah satu bacaan yang lumayan mengusir dahaga saya pada masa remaja.
Mengasyikkan
Bagi saya, selalu ada yang mengasyikkan saat membaca puisi. Puisi siapa pun. Entah sang penyair dikenal atau tidak. Entah puisi itu bisa disebut indah atau tidak.
Keasyikan muncul manakala saya merasa menemu ungkapan, imaji, impresi, atau apa pun anasir estetik yang terkandung dalam syair yang terasa begitu akrab, personal. Meski sang makna acap tak tertangkap, terasa tetapi acap tak teraba.
Perkara keasyikan itu bisa dipertanggungjawabkan (secara ilmiah) atau tidak, tak penting amat. Toh perjumpaan saya dengan puisi-puisi itu perjumpaan personal? Subjektif! Jadi tak penting benar apa eksplorasi tematik mereka. Yang lebih penting, bagaimana mereka menyatakan sesuatu lewat puisi, dalam puisi, berupa puisi.
Karena itulah saya merasakan benar, misalnya, atmosfer yang melingkupi sang penyair saat “semalam suntuk bikin puisi/Biar merana sendiri”. Lantas, merasa sia-sia lantaran “Puisi mencair/meleleh mencari tempat rendah/Bagai arloji Picasso” (Adri Darmadji Woko, “Sepi Tak Pernah Selesai”, halaman 20).
Endapan kenangan pribadi, yang selama tersembunyi jauh di dasar “cawan” memori, acap melejing ketika menemu nama-nama yang dulu, dulu sekali, begitu akrab terbaca lewat cerpen, lewat sajak, mereka. Maka, bagi saya, membaca puisi-puisi mereka seperti juga perjalanan nostalgik-sentimental. Pengopek kenangan. Ya, “Siapa yang menghias mimpiku di tengah malam buta/Siapa yang menyusup ketika kubuka jendela? (Safruddin Pernyata, “Siapa”, halaman 222).”
Cuma itu? Tentu tidak. Pembacaan “lebih serius”, saya yakin, bakal membuahkan pula sesuatu yang lebih bermakna. Bukan sekadar impresi nostalgik-sentimental macam saya peroleh saat ini. Percayalah.
***