Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Memasuki era kesejagatan, kini, makin disadari betapa informasi menempati kedudukan penting. Siapa yang menguasai informasi, dia yang niscaya dapat memainkan peranannya; mempengaruhi dan sekaligus juga ?menciptakan? opini publik, dan menjual informasi untuk kepentingannya atau untuk kepentingan siapa saja. Sebaliknya, siapa yang ketinggalan informasi, dialah yang kelak akan tergusur dan terus-menerus menjadi objek eksploitasi atau menjadi penonton yang pasif, tanpa dapat melibatkan diri dalam arus deras perubahan zaman ini. Atas kesadaran itulah, lalu orang berlomba-lomba mencari, menemukan, dan menguasai informasi.
Dalam pengertian yang lebih khusus, informasi lalu diindentikkan dengan pengetahuan dan wawasan. Semakin luas dan mendalam pengetahuan dan wawasan seseorang, semakin kuat posisi dirinya dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Maka, wajarlah jika kini banyak orang yang berusaha melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tidak hanya untuk meraih gelar, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Perguruan tinggi lalu dipandang seolah-olah sebagai satu-satunya lembaga yang memungkinkan orang meraih gelar dan memperoleh pengetahuan. Ia seakan-akan menjadi sebuah lembaga prestisius. Benarkah begitu?
***
Sesungguhnya, perguruan tinggi ?sekadar? pendidikan formal. Sememangnya, untuk meraih gelar, orang mesti memasuki perguruan tinggi. Tetapi tidak sedikit pula perguruan tinggi yang lebih menitikberatkan tujuannya hanya untuk mencari untung semata-mata, mengeruk dana masyarakat dengan mengatasnamakan universitas atau institut. Soal mutu dan usaha menjunjung tinggi moralitas keilmuan dan nilai-nilai ilmiah, sama sekali tidak diperhatikan. Akibatnya, berlimpahlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Mereka jadi pengangguran intelektual. Mengapa terjadi demikian?
Dalam hal itulah, banyak orang yang tidak memahami apa yang akan dilakukan saat ia memasuki dunia perguruan tinggi. Kegiatan penting di perguruan tinggi, salah satunya adalah melaksanakan proses perkuliahan. Adapun hakikat kuliah bukanlah sekadar tatap muka antara dosen dan mahasiswa, melainkan bimbingan dalam proses pencarian dan penambahan pengetahuan. Mengingat perkuliahan hanya bisa dilaksanakan dalam beberapa jam saja, maka kuliah yang sebenarnya bukan dalam tatap muka itu, malainkan dalam pencarian dan penambahan pengetahuan. Dengan kata lain, hakikat kuliah sesungguhnya membaca, dan itu terjadi di gedung perpustakaan atau di ruang-ruang baca dengan buku yang bertindak sebagai dosennya.
Begitulah, pada dasarnya siapa pun dapat kuliah tanpa mesti memasuki perguruan tinggi. Jadi, asalkan seseorang mau membaca, menambah pengetahuan dan wawasannya lewat sumber-sumber tertulis (buku), ia sesungguhnya sedang melakukan proses perkuliahan. Ia secara bebas dapat memilih dosennya sendiri; bidang ilmu yang diminati, dan kapan saja ia melakukan aktivitas kuliahnya. Masalahnya, menempatkan buku sebagai dosen, tidak hanya membuat kita lebih bebas menentukan waktu dan tempat kita kuliah (baca: membaca buku), tetapi juga lebih berani untuk ?menggugat? yang tertulis dalam buku bersangkutan.
Jika kuliah antara dosen dan mahasiswa terjadi di ruang dan waktu tertentu, maka membaca tidak terikat oleh ruang dan waktu. Bahkan, aktivitas membaca sebenarnya lebih mirip sebuah dialog. Pembaca terus-menerus berdialog dengan teks yang dibacanya. Dalam proses itu, pembaca bebas menafsirkan dan memperlakukan teks menurut pemahamannya. Pembaca pun boleh setuju, boleh juga tidak, terhadap isi teks yang dibacanya.
Mengingat pembaca mempunyai kebebasan untuk menafsirkan dan memperlakukan teks (buku), maka ia juga bebas menanggapinya secara kritis. Dengan demikian, semakin kita banyak membaca, semakin kritis pula kita menanggapi sebuah teks. Akibatnya tuntutan untuk membaca bacaan yang baik, akan terbina dengan sendirinya. Membaca pada gilirannya, akan dirasakan sebagai kebutuhan yang mutlak perlu untuk terus-menerus menjadi santapan rohani kita.
Demikian, kegiatan membaca anggap saja sebagai kuliah, buku sebagai dosennya dan gedung perpustakaan sebagai kampusnya. Lalu, gelar apa yang akan kita raih dari kegiatan semacam itu? Gelar akademis, memang tidak. Namun, gelar sebagai orang yang berpengetahuan dan berwawasan, niscaya akan diperoleh tanpa perlu diminta. Meskipun demikian, guna mencapai gelaran itu tentulah kita harus menunjukkannya kepada masyarakat luas mengenai pengetahuan dan wawasan yang kita miliki. Untuk itulah menulis menjadi bagian penting sebagai kelanjutan dari kegiatan membaca.
***
Setiap orang, pada dasarnya, dapat dan mampu untuk menulis. Atau, meminjam pernyataan Arswendo Atmowiloto?menulis itu gampang. Kenyataan memang demikian. Masalahnya tinggal bergantung kepada kemauan. Apakah kita benar-benar mau menulis atau tidak. Jika tidak, tak usahlah kita mempunyai keinginan menulis. Namun, jika kita sungguh ingin menjadi penulis, maka menulislah! Niscaya akan kita sadari bahwa sesungguhnya menulis itu tidaklah sesulit yang diduga, betapapun tidak pula segampang yang diangankan. Dalam hal ini, kegiatan menulis terasa ?lebih gampang? lagi apabila kita telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai mengenai satu atau beberapa hal. Bagi mereka yang menempatkan kegiatan membaca sebagai kuliah, niscaya kemampuannya menulis tinggal menunggu waktu saja. Gelaran sebagai orang yang berpengetahuan dan berwawasan pun tinggal menunggu saat ?pengesahannya?.
Lho, bagaimana dengan bakat? Bukankah menjadi penulis (pengarang, sastrawan, novelis, cerpenis, penulis esai), hanya mungkin dapat terwujud jika kita mempunyai bakat, talenta? Mungkinkah orang yang tidak punya bakat atau talenta sebagai penulis dapat menjadi cerpenis, novelis atau apa pun yang berkaitan dengan kegiatan tulis-menulis? Itulah pandangan yang sesat! Menulis tidak ada hubungannya dengan bakat. Menulis adalah kegiatan keterampilan. Mengingat menulis sebagai kegiatan keterampilan, maka faktor paling penting dalam dunia tulis-menulis adalah latihan! Latihan, latihan, dan terus latihan selama hidup, sepanjang tekad dan keinginan menjadi penulis tidak kita pensiunankan. Jadi, jika kita ingin menjadi penulis, maka menulislah, dan sejalan dengan itu, berlatihlah menulis sampai titik darah penghabisan!
***
Sebelum kita menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai kebutuhan keseharian, mungkin kita memerlukan kiat tertentu. Kelak, jika kegiatan membaca dan menulis sudah kita anggap sebagai ?santapan? keseharian kita, niscaya pula kita akan menyadari, betapa menulis itu dapat pula mendatangkan kenikmatan spiritual, kebanggaan dan kepercayaan diri secara wajar dan tentu saja, menghasilkan keuntungan material.
***
Sebelum memulai menulis, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah menegaskan kembali, bahwa kita sungguh ingin menulis; artikel, esai, resensi, makalah atau karya kreatif seperti novel, cerpen atau puisi. Penegasan ini penting supaya timbul motivasi dan dorongan dari dalam diri, bahwa kita sungguh-sungguh akan menulis.
Langkah kedua adalah melaksanakan keinginan itu. Jadi, keinginan itu bukan sekadar angan-angan atau harapan kosong belaka. Bulatkan tekad, bahwa kita memang ingin menjadi penulis. Maka, menulislah! Lalu apa yang hendak kita tulis? Ya, apa saja. Bergantung dari masalah apa yang sekiranya kita ketahui secara lebih baik, dan bagaimana kita ingin mengungkapkannya melalui bahasa tulis. Dalam hal ini, sebaiknya kita menulis sesuatu yang memang benar-benar kita ketahui atau kita kuasai masalahnya. Jika itu sudah ditentukan, maka mulailah menulis. Lalu, bagaimana memulainya?
Itulah langkah ketiga, yaitu menulis apa saja yang ada di dalam benak kepala yang sesuai pula dengan keinginan kita, bahwa kita memang sungguh-sungguh hendak menulis. Janganlah kita memikirkan apakah tulisan itu baik atau tidak; berbobot atau tidak. Pokoknya, untuk langkah pertama ini, kita hendak menulis, maka menulislah! Selepas itu, barulah kita mengevaluasi lagi, urutan masalah yang hendak diungkapkan, hal apa saja yang akan diangkat, dan bagian mana yang perlu dibuang atau dikembangkan. Manfaatkan pula kamus untuk meyakinkan istilah-istilah yang mungkin kita singgung. Lewat kamus pula kita dapat melakukan pilihan kata. Jadi, dalam hal ini, bertindaklah sebagai penulis yang berada di jalan yang benar, yaitu bertindak sebagai pembaca pertama, editor pertama, dan kritikus pertama dari tulisan kita sendiri.
Langkah keempat adalah pengetikan atau penulisan ulang. Ini perlu dilakukan mengingat tulisan sekali jadi, cenderung mengandung kesalahan. Dalam hal ini, sebaiknya kita mengendapkan dahulu apa yang sudak kita tulis. Selepas itu, barulah dilakukan pembacaan dan pengetikan ulang. Di samping itu, cara ini pun berguna untuk menyaring gagasan-gagasan yang mungkin tercecer. Jadi tulisan final sudah mengalami beberapa evaluasi; pembacaan dan pengetikan ulang. Sesudah kita yakin betul bahwa tidak ada kesalahan, baik kesalahan ketik, ejaan, tanda baca atau kalimat, barulah kita mengirimkannya ke media yang sesuai dengan isi dan materi tulisan kita.
Nah, gampang, kan!
***
Manfaat apakah yang dapat kita peroleh dari kegiatan tulis-menulis ini? Hal inilah yang ?barangkali?kurang disadari oleh banyak orang, sehingga tidak sedikit orang yang menyepelekan manfaat sebuah tulisan. Bahkan, ada pula yang beranggapan bahwa kegiatan tulis-menulis sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu; kegiatan iseng yang percuma. Astaga! Inilah contoh yang baik dari sebuah pandangan yang sesat! Jika masih saja ada pandangan bahwa menulis adalah kegiatan yang membuang-buang waktu, kegiatan percuma yang tiada berguna, maka doa mujarobat harus segera kita sampaikan kepadanya. ?Semoga arwahnya segera diterima di sisi Tuhan!?
Sesungguhnya menulis, seperti juga membaca, adalah kegiatan intelektual. Pada saat seseorang berada dalam proses penulisan, pada saat itulah pikiran dan inteleknya bekerja keras. Ia harus memilih dan memilah-milah, kata-kata apa yang patut dan paling tepat diungkapkan; bagaimana ia disampaikan dalam rangkaian kalimat, dan bagaimana pula gagasannya itu diurutkan secara logis.
Mengingat bahasa tulis sangat berbeda dengan bahasa lisan, maka ketepatan memilih kata-kata, kejelasan mengungkapkan gagasan, dan kecermatan menggunakan dan memanfaatkan tanda baca, ikut pula memainkan peranan dalam menghasilkan sebuah tulisan yang baik.
Bagaimanapun, bahasa tulis tidak terikat oleh ruang dan waktu; di mana pun dan dalam waktu dan suasana apa pun, pemahaman terhadap sebuah teks (tulisan), akan tetap tidak mengalami perubahan. Bahasa tulis memberi kemungkinan terjadinya komunikasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Seorang penulis entah di mana, dan menulis entah kapan, tulisannya dapat dibaca dan dibaca lagi sampai kapan pun. Jadi sebuah tulisan?artikel?misalnya, dapat dibaca di mana saja dan kapan saja. Akibatnya, sebuah tulisan sangat mungkin dibaca oleh begitu banyak orang dengan wilayah yang begitu luas dan waktu yang begitu panjang. Dengan demikian, pembaca sangat mungkin hanya mengenal tulisan seseorang, tanpa ia sendiri pernah bertemu dengan orangnya. Pada gilirannya pembaca akan merasa sudah begitu akrab dengan seorang penulis, betapapun keduanya belum pernah jumpa.
Pengaruhnya ternyata luar biasa dan begitu tak terduga. Pertama, karena pembaca sudah merasa akrab dan dekat dengan tulisan seorang, maka begitu bertemu dan berkomunikasi secara langsung, keduanya ?biasanya? sudah seperti sahabat yang sudah lama tidak saling bertemu. Di dalam konteks ini, menulis sesungguhnya merupakan usaha membuka dan menjalin persahabatan, dengan siapa pun dari kalangan mana pun.
Kedua, karena menulis merupakan bagian dari kegiatan intelektual, maka seorang penulis cenderung dipandang sebagai orang yang sedikit-banyak mempunyai wawasan? berpengetahuan. Semakin banyak kita menulis, semakin kuat orang beranggapan begitu. Dengan demikian, secara tidak langsung, penulis telah menanamkan pengaruh dan wibawanya kepada pembaca.
Ketiga, mengingat tulisan dapat direproduksi dan dibaca berulang-ulang, maka pengaruh sebuah tulisan relatif tahan lama. Dengan perkataan lain, menulis, buku misalnya, sebenarnya dapat pula dianggap membuat monumen; ia akan terus dikenang betapapun penulisnya sudah meninggal sekian lama.
Keempat, bagi diri penulisnya, kegiatan menulis sebenarnya juga prosesnya hampir sama dengan kegiatan membaca. Hanya, jika membaca melakukan proses penyerapan pengetahuan, maka menulis melakukan proses pengungkapan pengetahuan. Seseorang yang gemar membaca, tetapi tidak suka menulis, maka pengetahuan dari hasil bacaannya hanya untuk dirinya sendiri dan hanya akan diketahui dalam lingkup dan jumlah yang terbatas. Sebaliknya, seseorang yang gemar menulis, namun tidak suka membaca, maka dalam proses penulisannya yang kemudian, ia niscaya akan kehabisan gagasan; tulisannya juga cenderung sederhana, dalam pengertian kurang berwawasan, dangkal, dan tidak bernas. Sungguhpun setiap tulisan tidak mesti mendalam atau berwawasan, menyajikan sesuatu yang menarik merupakan syarat yang memungkinkan sebuah tulisan dibaca orang. Dan itu sangat mungkin dapat dilakukan jika kita mempunyai pengetahuan dan wawasan yang memadai.
Jadi, kegiatan menulis sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan membaca. Sebaliknya, kegiatan membaca seyogianya diikuti pula dengan kegiatan menulis. Singkatnya, baca-tulis-baca-tulis, dan seterusnya. Membaca anggap saja sebagai kuliah, dan menulis anggaplah sebagai bekerja. Hanya dengan cara itulah, wawasan kita akan terus bertambah dan kemahiran menulis akan terus meningkat. Tingggallah kita menunggu gelaran apa yang akan diberikan masyarakat atas prestasi itu. Itulah hasil kita kuliah dengan buku sebagai dosennya dan pepustakaan sebagai kampusnya.
Meskipun demikian, gelar ?apa pun juga?bukanlah segala-galanya. Gelar hanya sebagai akibat, bukan tujuan. Yang jauh lebih penting dari kegiatan menulis ini adalah membangun hubungan silaturahmi, jaringan. Jika tulisan kita dimuat di sebuah suratkabar atau majalah, misalnya, maka secara tidak langsung, kita telah membuka hubungan silaturahmi dengan sekian ribu orang pembaca suratkabar atau majalah itu. Bukankah sebuah tulisan pada hakikatnya ?tawaran berbincang-bincang jarak jauh?? Itulah bentuk silaturahmi sebuah tulisan. Lalu, apa manfaatnya dari model silaturahmi yang seperti itu.
Ajaran agama saya mengatakan: ada lima manfaat jika kita melakukan silaturahmi: (1) melebarkan pintu rezeki, (2) memperpanjang usia, (3) memperbanyak sahabat dan sanak saudara, (4) memantapkan optimisme, dan (5) melegitimasi lahan dan tempat kita ?kelak?sebagai penduduk surga. Tentu saja kita boleh percaya, boleh juga tidak. Bagaimanapun juga, bersilaturahmi, selalu saja lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada keburukan. Jadi, tak salah jika kita coba melakukan itu. Maka, lakukanlah kegiatan menulis. Anggap saja kegiatan menulis itu juga sebagai bentuk silaturahmi. Nah, jika kita memang ingin menjadi penulis, maka menulislah dan anggap saja tulisan itu sebagai sebuah silaturahmi. Tidak percaya? Buktikanlah sendiri!