Virus Nulis Buku di Kalangan Mahasiswa

Nurudin*
http://www.jawapos.co.id/

KALAU dosen menulis buku, itu hal yang biasa. Tetapi bagaimana jika mahasiswa S1 yang masih kuliah menulis buku? Itu yang luar biasa. Geliat penulisan buku oleh mahasiswa sedang menggejala di beberapa perguruan tinggi. Setidaknya, hal demikian dibuktikan dengan terbitnya tiga buku karya mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang baru saja di-launching. Yakni; (1) Jejak Pers: Tapak-Tapak Kaki Kuli Tinta Mencari Jati Diri, (2) Kuda Troya Media Massa, dan (3) Kutu-Kutu Media, Seksualitas dalam Globalisasi Media.

Beberapa saat sebelumnya di-launching pula buku karya mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dengan judul Menelanjangi Film Indonesia. Lalu karya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; (1) Internet Invation (Internet as Public Sphere), (2) Behind the Sex, (3) Hitam Putih Media, (4) Ketika Media Menguasai Kita, Sampah Pariwara Indonesia, dan (5) Teroris Iklan. Sementara itu, di Universitas Islam Indonesia (UII) ada (1) Ketika Perempuan Tidak Dimaknai secara Bijak, (2) Dari Lapangan Hijau sampai Senayan, dan (3) Media dan Aktor Politik dalam Komunikasi Politik.

Yang mengejutkan, buku-buku yang dihasilkan tersebut berasal dari makalah-makalah dalam mata kuliah tertentu. Jadi, makalah-makalah itu diedit bersama-sama kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dan diedarkan di pasaran.

Proses Intelektual

Buku-buku karya mahasiswa itu jelas punya kelebihan dan kekurangan. Kekurangan yang sangat terasa, karya mereka tidak bisa lepas dari plagiatisme. Tidak sedikit dalam tulisan mahasiswa itu yang hanya copy paste dari karya orang lain. Ini tentu sebuah kemunduran karena mereka adalah intelektual muda. Tetapi dalam proses belajar, hal demikian masih susah dihilangkan.

Kekurangan yang lain, buku-buku itu sekadar kumpulan tulisan. Namanya saja kumpulan tulisan, kekurangan yang terasa adalah terjadinya pengulangan-pengulangan. Ini tak bisa dihindari karena kemampuan mereka hampir sama. Lain jika penulis itu mempunyai minat budaya baca tinggi.

Sementara itu, kelebihannya antara lain; pertama, buku dari makalah mata kuliah itu bisa mendobrak kebekuan proses belajar-mengajar kuno yang selama ini dilakukan. Proses belajar-mengajar selama ini kebanyakan hanya ceramah (kalau memungkinkan diskusi), ujian lalu mendapat nilai. Setelah nilai keluar, semua pelajaran lupa. Dengan menulis buku, proses pembelajaran akan dialihkan ke sebuah produk (tidak hanya nilai akhir saja). Dengan demikian, selama kuliah mahasiswa tidak hanya membanggakan nilai, tetapi ada kebanggan lain. Tidak saja berproses dalam menggali ilmu pengetahuan, tetapi juga mempublikasikannya dalam bentuk buku. Kampus, tentu perlu mendukung proses pembelajaran model begini.

Kedua, menggelitik dosen untuk menulis buku. Buku-buku karya mahasiswa, lepas dari kekurangannya akan menggelitik dan menohok –untuk tak menyebutkan mengolok-olok– dosen-dosen yang belum mempunyai buku. Ini tentu saja, jika mereka tergelitik. Namun akan tidak mempan pada dosen-dosen yang selalu menganggap sinis sebuah proses yang dilakukan di sekitarnya. Tidak menjadi soal jika dia bukan dari kalangan sivitas akademika.

Sekarang, jika saya ingin mendorong kolega dosen untuk menulis buku, saya cukup menyodorkan buku-buku karya mahasiswa tersebut. Saya tidak perlu lagi banyak berbicara macam-macam soal penulisan buku itu. Saya seolah menohok ke mereka, ”Yang penting jangan banyak bicara saja, buktikan.” Talk less do more (meminjam moto sebuah iklan rokok).

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya proses intelektual di kalangan mahasiswa jalan terus. Bagi saya, saya lebih menghargai proses daripada hasil. Perkara hasilnya bagus atau jelek, itu soal nanti. Yang penting proses jalan terus. Artinya, proses pergulatan pemikiran di kalangan mahasiswa untuk sampai ke produk sebuah buku harus tetap jalan. Sebagai pengampu mata kuliah, saya tidak mewajibkan mereka untuk mencetak secara luks buku-buku karyanya. Difoto-copy pun tidak masalah. Sekali lagi, yang penting proses jalan terus.

Tuliskan, Apa pun Hasilnya

Tentu saja, mendorong dan menggeluti dunia menulis bagi mahasiswa saat ini tidak gampang. Mengapa? Mahasiswa saat ini tengah berada dalam budaya massa yang instan. Televisi menciptakan budaya instan, sementara HP dan internet semakin memperkuat identitas itu. Pengalaman saya mengajar, jika mahasiswa ditugaskan untuk membuat makalah atau paper, mereka cukup pergi ke warnet, browsing, lalu copy paste, jadilah kompilasi tulisan yang diberi judul makalah atau paper. Cukup mudah bukan? Mereka jarang yang langsung pergi ke perpustakaan, mengkajinya, kemudian menuliskannya. Inilah salah satu gejala generasi instan.

Atmosfir menulis, apalagi menulis buku, di kalangan mahasiswa harus terus dipupuk. Di sini dibutuhkan good will dari banyak pihak. Tidak saja kampus, tetapi juga dosen-dosenya. Jadi, mahasiswa membuat makalah atau paper tidak lagi menjadi sebuah tumpukan kertas yang akhirnya dijual ke pasar loak.

Virus menulis, sekecil apa pun, perlu terus ditularkan. Gairah kepenulisan buku di kalangan mahasiswa jangan dibendung. Para dosen bisa terus menganjurkan mahasiswa menulis dan menerbitkan tulisan-tulisannya. Ini tentu bukan soal gagah-gagahan atau sok bisa. Tetapi ini sebuah proses pembelajaran baru yang lebih mencerdaskan mahasiswa.

Dalam posisi ini saya jadi ingat pendapat Pramoedya Ananta Toer (Pram), ”Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari masyarakat dan pusaran sejarah.” (*)

*) Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Leave a Reply

Bahasa ยป