Saut Poltak Tambunan
suarakarya-online.com
TIBA-TIBA elang itu muncul setelah berbulan-bulan menghilang. Menjelang siang ia tampak melayang tinggi dan berputar mengitari bukit pekuburan. Lengking suaranya ngilu hingga ke kampung. Elang pengabar atau lali parboa, dipercaya menebar jou-jou na holom atau panggilan kematian kepada ruh sesiapa yang hendak dijemputnya.
Orang sekampung geger dan segera membuat spekulasi dalam takut yang mencekam. Suara kematian kali ini pertanda untuk siapa? Ama ni Huta memang sakit, tapi sudah membaik. Kemarin sudah duduk-duduk di atas lesung batu depan rumahnya. Si Martahan yang bulan lalu kecelakaan sepeda motor dan patah kakinya, sudah pulang dari rumah sakit. Si Butet Riris, bayi perempuan Nan Suhut yang sejak lahir sakit-sakitan itu sudah meninggal dua minggu lalu.
“Tidak mungkin tentang si Butet. Umurnya hanya sempat lima bulan dan sudah meninggal. Lali parboa ini terbang tinggi, pasti boa-boa untuk orang tua,” kata Ama Luhut mengingatkan pengalaman yang sudah-sudah. Boa-boa atau kabar, sepatah kata ini tiba-tiba jadi menakutkan.
“Bah, tak ada orang tua yang sakit di kampung ini,” sergah Ompu Sunggu gusar. Ia termasuk jajaran usia lanjut.
Tengah hari orang-orang yang bekerja di sawah dekat pekuburan pulang untuk makan siang. Mereka bilang melihat elang tadi melayang-layang tepat di atas pekuburan milik keluargaku.
“Lama dia berputar-putar dan sesekali menjerit di situ,” kata Nai Margaretha sambil melirik padaku. Brrt! Sukmaku seakan tercerabut. Kenapa harus melirik ke arahku?
Elang ini kami sebut lali, elang bondol yang dahulu sangat banyak di daerah kami. Saking banyaknya, pada pelajaran menggambar kami selalu melukis kombinasi gunung, danau, sawah, matahari serta membaringkan beberapa angka 3 untuk melukiskan burung elang ini. Belakangan jumlahnya makin surut karena terus menerus diburu. Sekarang sangat jarang kelihatan, sehingga kemunculannya kini selalu dikaitkan dengan kematian. Tak jelas sejak kapan ia menjelma menjadi lali pengabar.
Sorenya di lapo tuak si Mian buung lali pengabar itu kembali menjadi pembicaraan hangat. Rencana rapat untuk menyerempakkan musim tanam tak disinggung sama sekali. Terlanjur diyakini bahwa elang itu menebar jou-jou kegelapan, mengantarkan boa-boa bahwa akan ada kematian baru yang akan menambah penghuni bukit pekuburan itu.
“Nggak usah kuatir kau!” senggak Ama Luhut ke arah si Pariang yang sejak tadi terjongong diam. Si Pariang – tukang kayu anak buah Ama Luhut ini hanya bisa cengar-cengir. Wajahnya pucat.
“Umurmu belum tiga puluh. Kawin pun belum. Ini belum giliranmu. Firasat saya, ini orang usia tua. Makanya terbangnya tinggi,” tambah Ama Luhut sambil melirik kepadaku. Aku terkesiap.
“Belum tentu, muda pun bisa juga duluan dijemput,” sambung si Mula dari ujung meja.
“Kalau si Pariang yang mau mati, terlalu tinggilah pangkatnya kalau sampai lali pengabar itu yang datang. Cukup birik-birik,” jawab Ama Luhut tertawa. Birik-birik itu burung prenjak kerdil yang biasa mencari anak cacing di pematang sawah. Ama Luhut memang selalu melecehkan anak buahnya itu di hadapan orang banyak.
Selain bertani Ama Luhut punya pekerjaan membuat peti mati. Biasanya ia terima pesanan dari keluarga yang berduka. Ia punya team kerja, termasuk si Pariang. Dalam beberapa jam saja mereka bisa menyelesaikan dua tiga buah peti mati.
Anehnya, kadangkala Ama Luhut sudah membuat peti mati sebelum ada yang meninggal. Nanti beberapa waktu berselang akan ada yang meninggal. Peti matinya laku.
Sejak muda Ama Luhut ini suka berlagak tahu segala misteri. Apalagi jika dua-tiga gelas tuak sudah ditenggaknya, makin lancar dia bicara. Seakan dia sendiri datang dari alam misteri itu. Beberapa memang terbukti. Tapi walau lebih sering keliru, orang tetap saja mau mendengar ramalan-ramalannya.
Siang tadi Nai Margaretha melirik ke arahku ketika membicarakan burung itu.
Sekarang Ama Luhut yang menatapku dengan cara yang sama. Aku jengah. Apa maksudnya? Tapi aku tidak berani bertanya.
“Aku rasa tidak seperti itu,” kata Ompu Halasan tiba-tiba. Orang tua ini sebaya Ompu Sunggu. Ia gusar juga mendengar pergunjingan ini. “Kalau benar ini boa-boa, tidak ada bedanya tua atau muda.”
“Pengalaman yang bicara, Bapa Uda,” Ama Luhut tak suka ramalannya disanggah, kendati oleh Ompu Halasan yang jauh lebih tua. “Waktu Ompu Miduk meninggal? Juga waktu Ompu Jonggi? Dia terbang tinggi ‘kan?”
“Bagaimana tidak terbang tinggi? Kalau terbang rendah sudah dibedil anak-anak,” balas Ompu Halasan ketus.
“Ini bukan burung biasa,” sambar si Pariang. “Ia tahu bahaya. Jika ia terbang rendah, anak-anak kampung akan mengetapel. Atau mengikuti sampai tahu di mana sarangnya. Telur dan anaknya diambil. Dijual.”
“Benar juga,” kataku cepat. “Dulu lali banyak terlihat di mana-mana. Di atas danau, di sawah atau berputar-putar mengintai anak ayam di atas kampung. Sekarang hampir punah.” Malam lebih cepat menyergap dari biasanya. Munculnya burung elang langka itu benar-benar menebar teror. Lengkingnya tadi siang masih menyisakan pusaran ngilu yang menghisap nyali orang sekampung. Ibu-ibu mengunci anak-anak di dalam rumah, tak membiarkannya bermain di luar. Suara tv atau vcd karaoke yang biasanya bertalu-talu adu keras, sekarang senyap. Sangat mencekam. Hanya di lapo tuak si Mian yang tampak sedikit ramai, itu pun setengah berbisik. Tidak ada yang bernyanyi setengah mabuk seperti biasanya.
Aku putuskan pulang lebih awal dari lapo si Mian. Tidak kuat berada di antara orang se-lapo yang seakan meneror aku hanya karena elang itu melayang-layang di atas pekuburan leluhurku. Aku ingin protes, tapi bulu kudukku sendiri merinding.
Kuburan kakek leluhurku itu terbuat dari bangunan tembok tanpa jendela. Hanya ada sedikit lobang angin, lalu pintu besi. Ruangan di dalamnya lumayan besar. Ada bangku kayu panjang yang cukup longgar untuk duduk sepuluh orang peziarah. Di sisi kanan pintu masuk tersusun rak-rak beton.
Di situlah peti mati keluarga besar kakekku disemayamkan. Tidak dikubur di dalam tanah.
Amang bapakku terdiri dari tiga laki-laki bersaudara. Untuk mereka dengan masing-masing Inang tersedia delapan ruang di rak itu, termasuk untuk sepasang ompung-ku. Tujuh sudah terisi. Tinggal satu untuk Inang Tua, isteri dari Amang Tua nomor dua. Umurnya sudah lebih dari delapan puluh dan masih sehat. Namboru – saudara perempuan Amang tentu tidak akan dimakamkan di sini, mereka ikut suami masing-masing.
“Ini dia sebabnya Ama Luhut melirik ke aku terus tadi,” ceritaku pada isteriku. “Mulutnya saja yang tidak berani bilang Inang Tuaku akan mati.”
“Jangan kau perdulikan dia. Macam tak tahu saja kau mulut besarnya. Dia itu jualan peti mati. Maunya kita semua lekas mati biar peti matinya laku!” isteriku sewot. “Dia sudah menghitung-hitung. Dia tahu anak-anak Inang Tua itu kaya-kaya.
Mereka pasti mau beli mahal.”
“Lho, nggak mungkinlah, mereka KMatskan tinggal di kota. Masa’ pesan peti mati ke kampung sini?” sanggahku.
“Bah, kau ini macam orang bodoh saja. Hepeng do mangatur sude,” sergah isteriku. “Kalau ada uang apa susahnya mengirim peti mati ke kota?”
Aku terdiam. Isteriku benar juga. Mungkin saja jenazahnya dari kota cukup pakai pakai peti mati sederhana. Atau tidak pakai peti mati sama sekali. Nanti di sini baru masuk peti mati yang sebenarnya.
Apalagi untuk masuk peti mati harus ada upacara adat tersendiri. Besoknya ada orang meninggal di kampung sebelah. Keluarganya pesan peti mati ke Ama Luhut. Sejenak ada rasa lega, mungkin kematian orang dari kampung sebelah itu sudah menjawab misteri munculnya burung itu. Tetapi Ama Luhut bilang, ini belum. Karena itu ia tidak mau memberi kayunya yang terbaik.
“Ini kayu bagus. Hanya cukup untuk satu peti mati, saya siapkan hanya untuk orang sekampung sendiri,” kata Ama Luhut lalu menggunakan kayu biasa.
“Kalau Amang yakin, kenapa kita tidak buat saja peti matinya sekarang?” si Pariang – anak buahnya bertanya.
“Ini barang spesial. Harganya cocok dulu baru kita tukangi,” sahut Ama Luhut menyeringai.
Ya, sudah. Aku mau berdoa saja dan berserah diri pada Tuhan, lalu lupakan saja. Tapi mana bisa? Ama Robert kemarin sore titip pesan lewat Ito Sannur bahwa kerbau besar ‘gajah Toba’-nya sudah dua kali ditawar orang dan ia tidak mau menjualnya. Alasannya sama seperti Ama Luhut, untuk perhelatan orang sekampung. Kendati tersamar, bagiku maksud mereka jelas benar.
Ah. rasanya aku sudah gila di kampung ini. Siang tadi berpapasan dengan si Bintang Terang – pengusaha persewaan tenda-kursi dan pengeras suara itu, aku rasakan senyum dan sapanya berlebihan dari biasa. Begitu juga si Ahong peternak babi yang tahu-tahu menelepon sekedar ‘apa kabar’….
Aku jadi curiga pada semua orang. Dalam pandanganku, seluruh kampung ini seakan berkemas menyambut kematian saur matua anggota keluargaku. Biasanya pesta bisa tujuh hari tujuh malam.
Memang jika hitungan alam berlaku, tentu buah yang lebih dulu masaklah yang sebaiknya pupus duluan dari tangkainya.
Aku penasaran, malam-malam kutelepon ke Medan. Aku minta bicara langsung dengan Inang Tua. Ah, orang tua ini sehat-sehat saja, bahkan pendengarannya lebih jelas dari sebelumnya. Keluargaku yang lain pun sehat semua. Puji Tuhan.
Menjelang tengah malam, Bang Tagor menelepon dari Jakarta. Ini telepon biasa sekedar mengobrol saja. Dari delapan abangku Bang Tagor ini yang paling dekat dengan aku dan paling sering menelepon. Kepada Bang Tagor kuceritakan semua tentang kelakuan Ama Luhut serta geger lali yang muncul dua hari lalu.
“Jangan percaya itu,” Bang Tagor tertawa, lagi-lagi berpendapat sama dengan isteriku. “Ama Luhut itu mengada-ada. Sekeluarga itu pembual sudah turunan dari kakeknya.”
Pagi yang dingin masih enggan menanggalkan subuh. Aku masih bergelung di bawah selimut ketika HP-ku berbunyi. Aku terbingkas bangun.
“Apa …… apa ……?
Bang Tagor kenapa ……”Aku menjerit. Meraung-raung. Dari delapan abangku, Bang Tagor yang paling sayang padaku. Jantungnya berhenti tadi subuh usai mandi dan bersiap hendak berangkat ke kantor.
“Bang Tagor!? Bah, tadi malam ‘kan masih menelepon!?” teriak isteriku lalu meratap menggerung-gerung tak percaya.
“Iya, setahuku dia tidak pernah mengeluh sakit …….!”
Tiga hari kemudian aku lunglai berdiri di ujung gundukan tanah basah. Jenazah Bang Tagor dalam peti mati dibawa pulang dari Jakarta dan dimakamkan di sini, masih dalam satu pagar di belakang kuburan tembok besar leluhurku.
“Selamat jalan, Bang ……!” bisikku tercekat.”Baru sekarang aku bisa ucapkan ini, setelah pergimu terlanjur jauh ……!”
Tiba-tiba kudengar suara melengking dari langit. Aku menengadah dan kulihat lagi elang itu muncul, berputar-putar di atas pekuburan. Terbangnya tidak tinggi sehingga aku bisa menangkap sorot matanya yang tajam ke arahku.
“Selamat jalan, Bang,” kataku sambil melambai ke arah burung itu. Tak perduli apakah kata-kataku punya makna. Kubayangkan abangku ada bersama burung itu.***
Catatan:
Jou-jou na holom : undangan dari kegelapan
Boa-boa : pemberitahuan
Saur matua : kematian seseorang yang secara adat dipandang paripurna
karena sudah punya keturunan hingga cicit-buyut
Hepeng do mangatur sude: Uang yang mengatur semuanya.