Mencermati Sastra Pelajar Pekalongan

Adi Toha *
suaramerdeka.com

“CIKAL” adalah sebuah kumpulan cerita pendek dan puisi yang ditulis oleh para pelajar dan remaja di wilayah Kabupaten Pekalongan.

Buku itu diterbitkan atas kerja sama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pekalongan, Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Pekalongan, dan Komunitas Rumah Imaji pada April 2008.

Terdapat 12 cerpen dan 20 puisi dengan 32 pengarang yang berasal dari pelajar SMP, SMA, dan para remaja lainnya, dalam buku tersebut. Meskipun dari cerpen-cerpen dan puisi-puisi dalam buku itu tidak ada sesuatu yang baru, yang bisa ditawarkan oleh pengarang-pengarangnya, namun penerbitan bunga rampai sastra remaja tersebut merupakan langkah yang potensial untuk menumbuhkan minat menulis dan membaca sastra di kalangan siswa.

Pilihan tema yang disajikan oleh para pengarang muda itu masih berkutat di seputar kehidupan remaja dan sekolah, seputar cinta dan persahabatan, pemandangan alam, dan perasaan hati, meski juga ada beberapa yang sedikit menyinggung permasalahan sosial.

Pun bagaimana mengolah tema menjadi sebuah cerita atau puisi, masih biasa-biasa saja. Itu wajar, karena buku tersebut adalah bunga rampai sastra remaja dan pelajar, dan bisa jadi sebagian besar karya dalam buku itu adalah karya pertama para pengarangnya.

Seperti yang telah saya ungkapkan, membaca puisi-puisi di dalam bunga rampai tersebut tidak ada tawaran sesuatu yang baru dan menarik, sama dengan puisi-puisi remaja kebanyakan.

Tema-tema cinta, perasaan, dan pemandangan alam menjadi sesuatu yang diulang-ulang lewat reka kata-kata tanpa mengundang perenungan makna yang lebih mendalam.

Secara bentuk, sebagian besar puisi yang terdapat dalam buku itu masih terikat pada tradisi puisi lama. Pengarang menggunakan bentuk kuatrin ?empat baris dalam satu bait– dengan kepatuhan rima. Terhitung sebanyak enam dari delapan puisi yang ditulis oleh pengarang yang masih siswa SMP menggunakan bentuk tiga kuatrin dalam puisinya.

Bisa jadi. itu karena mereka sangat terpengaruh dengan oleh puisi yang didapat di sekolah, dan sama sekali buta dengan puisi-puisi lain di luar apa yang diajarkan di sekolah.

Hal itu mungkin saja terjadi karena keterbatasan akses terhadap buku-buku atau majalah sastra di sekolah-sekolah daerah, atau karena memang pengajaran di sekolah yang tidak merangsang siswa untuk membaca buku-buku di luar buku pelajaran.

Sangat Umum

Beberapa pengarang dari siswa SMA pun menggunakan bentuk yang sama dalam puisi mereka. Sebuah puisi yang ditulis oleh Eliza Ayu Febriani, siswi SMAN 1 Kedungwuni, berjudul “Kukirim Rindu”, memperlihatkan ekplorasi tema, pilihan kata, dan pencitraan yang biasa-biasa saja, bahkan sangat umum.

Barangkali yang menarik dalam puisi tersebut adalah akulirik yang menganggap rindu sebagai beban, sebagai utang kepada yang dirindu, sehingga harus dilunasi, meskipun lewat puisi. Akan tetapi, menjadi agak bertentangan dengan bait terakhir, yaitu persembahan atas nama Tuhan haruslah dengan penuh kerelaan tanpa beban, tanpa menganggapnya sebagai utang.

Sebagian besar puisi lain dalam buku itu memiliki aroma dan nuansa yang hampir sama dengan puisi tersebut. Puisi yang dalam pandangan saya agak berbeda dari kecenderungan puisi-puisi lain dalam buku itu adalah puisi berjudul “Bisikan Akhir Tahun” karya Siti Khuzaiyah.

Dalam puisi itu ada sebuah pembacaan kontekstual dengan kondisi negeri ini awal 2008 yang mendapat hadiah tahun baru berupa bencana banjir dan tanah longsor di Jakarta, Solo, Jateng, Jatim, dan provinsi lainnya. Belum lagi bencana lumpur panas Sidoarjo yang sejak semburan awal pada Mei 2006 belum juga usai sampai sekarang.

Ada harapan menuju sesuatu yang lebih baik, yang menyembul lewat pergantian tahun, dalam gegap gempita perayaan tahun baru. Namun di sisi lain ada kerendahhatian untuk menyadari keadaan sesama manusia yang tengah terkena bencana.

Puisi tersebut tidak lagi berpusat pada akulirik, sebagaimana kebanyakan puisi lain dalam bunga rampai itu; juga tidak berbicara tentang cinta dan perasaan hati, melainkan lebih berbicara tentang ironi negeri ini lewat bisikan seorang suami kepada istrinya di akhir tahun.

Sebagai sebuah buku bunga rampai sastra dari daerah tertentu, seharusnya juga membawa budaya dan ciri khas daerah tersebut yang diungkapkan lewat bahasa sastra. Akan tetapi, lewat Cikal, budaya dan ciri khas Pekalongan sama sekali tidak ditunjukkan, baik melalui latar cerita maupun idiom-idiom dalam cerita atau puisi.

Hal itu patut disayangkan. Jangan-jangan generasi muda Pekalongan sudah tidak mengenal budaya dan ciri khas kampung halamannya sendiri, karena sudah sedemikian hebatnya digempur oleh budaya modern dan budaya pop lewat tayangan-tayangan televisi dan media propaganda lainnya.

Secara umum, kehadiran Cikal, bunga rampai sastra remaja dan pelajar Kabupaten Pekalongan itu layak untuk disambut dengan baik sebagai awal untuk bertumbuhkembahnya penulisan dan geliat sastra di kabupaten tersebut. Kenyataan itu, setidaknya telah memberikan lampu hijau bagi perkembangan sastra di daerah tersebut.

Kabupaten Pekalongan, tinggal bagaimana para pegiat sastra di Kabupaten Pekalongan menyikapinya dengan kerja-kerja sastra ke depan. Jangan sampai penerbitan buku ini hanya dijadikan sebuah monumen sejarah sebagai jejak pernah adanya sastra remaja dan pelajar di Kabupaten Pekalongan, yang akhirnya mati sebelum berkembang.

*) Pengelola blog sastra dan buku jalaindra. wordpress. com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *