Nurel Javissyarqi
pustakapujangga.com
Bahasa ibu ibarat bakat tertanam. Sebagai pelukis menuangkan warna, penulis menyiratkan makna; kata-kata menghadirkan warna. Bagaimana penyair melukis kemerahan senja keindahan fajar, seolah purnanya kata yang sanggup mewakili pewarnaan bunyi menghasilkan imaji.
Semisal kata “mawar,” m di depan berasal imajinasi merekah, dan w di tengahnya menawan, ini sketsa yang kerap memasuki perasaan insani. Contoh kata “senja” berhasil menampakkan warna sesungguhnya, atas awalan s ditarik artian sementara atau hidup yang sementara. Kerapkali pandangan umum dikatakan senja berkaitan kematian. Dan kedekatan ajal, huruf j di tengahnya berdaya pantul jasadiah atau tubuh kefanaan.
Ini mengangkat ingatan sebelumnya dinyatakan, sehingga mendapati pengesahan magis. Tentu ada yang membantah hanya rangkaian semata, tapi aku katakan inilah kesepakatan universal yang dihasilkan pribadi tengah melampaui pembenaran.
Kata dalam bahasa Inggris “flower,” di mana imajinatifnya huruf f, hasil dari if atau andai, yang mana bunga sebagai pengandaian, hal ini dapatlah diteruskan. Olehnya vokal menjadi penentu warna saat ditekan maupun ditampilkan harumnya.
Ialah aku maksud kekuasaan kata menghipnotis pendengar, dan kelemahan yang sampai menghasilkan pemaknaan ganda. Seperti kata “bisa,” dapat diartikan dapat, atau mampu berpeluang, namun juga diartikan bisa dari ular, pun bisa kalajengking.
Ketimpangan ini berasal dari huruf b dan i yang menghadirkan bentuk kegagahan menunjuk ke dada, melahirkan bisa sebagai berkemampuan. Sedangkan huruf s dan a, menimbulkan desis di gigi dalam pengucapan, yang menciptakan bisa sebagai bisa ular. Begitu pula kata semi serta kata sayang &st.
Dan kenapa aku hadirkan kata ulang tidak umum dalam karya, seperti jejaring dari kata jaring-jaring, pepintu dari pintu-pintu &ll. Itu digunakan demi kemudahan penyingkatan serupa kelaziman kata kekepu dari kupu-kupu.
Hal ini tidak sekadar corak, tapi pewarnaan yang melahirkan persetujuan imaji pembaca. Yang dilain tempat bisa membentuk emosi tersendiri bagi penikmat. Dan dalam bidang sastra emosi diperlukan, sebab karya berangkat dari perasaan lebih.
Memang pengulangan sanggup menimbulkan daya hipnotis sesulapan. Marilah seimbangkan ini; bahwa pengulangan yang menghasilkan ketajaman warna tujuan kata, pula bunyi yang ditampilkan, takkan ada kalau tidak mengikuti ingatan awal.
Contoh melukis buah apel atau anggur beraliran realis, sang pelukis menyapu berulang-ulang dengan tambalan warna sampai melewati titik kering tertentu dan titik basah dalam detikan pula, lantas kembali dipoles. Ini pengulangan sewajarnya seperti rutinitas dalam kehidupan realis.
Andai pengulangan menjadikan baik, hasilnya mendapati persetujuan khalayak. Olehnya, percobaan pada karya demi mewujudkan yang terbaik, harus melewati pergulatan huruf. Ditambal sulam ditumpuk, diplintir demi sesuara yang mampu memuaskan nalar bathin penikmat dari corak imbuannya.
Seperti Rudolf Christoph Eucken (1846-1926) yang merevisi tulisannya, membuat tetap baru atas karya-karyanya sampai terdiri banyak edisi revisian. Dalam lukisan dapat menengok aliran kubisme Picasso (1881-1973), yang melahirkan aliran post-modern, atas pergulatan elemen realisme Da Vinci (1452-1519) dalam dunia modernis.
Campuran warna siku lukisan Picasso mewujudkan bentuk mengagumkan, corak yang belum dikenal, belum terdeteksi, meski lewat alat bantu elektronik. Pun kemampuan pecatur handal Kasparov yang mengalahkan kecanggihan komputer.
Sebab itu, pergulatan di kancah kemanusiaan ialah pewarnaan hipnotis sungguh luar biasa, sampai menghidangkan kepercayaan berbeda yang berhubungan gelombang suara diterima telinga, olehnya standarisasi penerimaan pula kerap menentukan.
Telinga sangat terkait lokalitas yang terpengaruh musim pun cuaca rindu. Semisal kepekaan pendengar mencermati penerimaan yang mampu mengimajinasi sampai memenuhi ketepatan. “Saya minta dinyalakan perapiannya” (sedangkan masa itu musim panas, maka secara reflek orang sekitarnya terheran menimbulkan tanya).
“Mengapa di musim panas meminta perapian”? Kata “mengapa” merupakan penutup sekaligus jawaban. Sebab “mengapa” tidak membutuhkan jawaban berbelit-belit. Jikalau menggunakan kalimah: “Bagaimana bisa meminta perapian, saat musim panas”? Kata “bagaimana” adalah awal persoalan yang menimbulkan banyak jawaban.
Seperti disebut di atas, huruf b ialah penghasil warna kebanggaan, kebesaran, keagungan. Dan persoalan ini membutuhkan jawaban membanggakan. Sedang jawaban membanggakan biasanya memakai banyak argumentasi demi penopang apologi sebelumnya, atau penekanan yang menginginkan diyakini.
Kalau ditarik dari jauh, kuasa bahasa dipengaruhi penglihatan aksara, suara pada pendengaran yang menarik imaji serta fikiran dirasai. Sudah sepantasnya ini diturunkan demi penglihatan yang kerap melihat tulisan meloncat-lompat. Mungkin sebab bayangan Van Gogh (1853 -1890) yang tidak menghirau karyanya melampaui jamannya atau tidak.
Namun bukan berharap sejalan pelukis Belanda itu yang merasa bersalah juga benar seluruh, hingga berani memotong telinganya sebagai kesaksian pendengaran dan ketulian jamannya. Atau Socrates yang gagah meminum racun penguasa, tiada di benaknya sebersit menolak, apalagi menarik pendapat demi pendapatan.
Karena telah menelan dunia benda, dunia ide yang menghasilkan citraan seolah dirinya berkata: “akulah ide sekaligus jasad perbendaan.” Pula menyimpulkan arti pada kesempurnaan kata melukiskan benda, sampai peroleh persetujuan universal.
Di sini sekadar menyemangati bahwa “warna” merayu para wanita dan “kata” dapat merayu kaum lelaki untuk ingin mendalaminya. Mungkin salah satu bukti kenapa para nabi lelaki dan perempuan itu obyek lukisan yang diburu pihak lelaki. Wanita berkesepian ingin pujaan atau dipuji lewat kata-kata.
Mungkin rahasia terungkap, bahwa warna yang tersaksikan di jagad raya, menawan insan berjiwa hidup, kata-kata bijak mengantarkan makna kehakikian, kebenaran ide. Atau tulisan selain firman itu asumsi, diasumsikan untuk pemaknaan, sebab dengan pijakan makna demi memaknai lainnya. Dan lemahnya pemaknaan awal serupa mitos, diterima sebagai mitologi seperti firasat tampil menjelma ilmu.
Dan kalimah ini; “Setiap kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya.” Menampilkan kekomplitan penulis dari dua bidang pelukis dan penulis, di samping kelengkapan alat diingini demi memaknai kehidupan. Kenapa setiap kata perjuangan? Sebab lewat kata, Averroes diusir, al-Hallaj di tiang gantung, Nietzsche dikucilkan. Dari kata pula, kata “jihat” menjelma ancaman juga “revolusi,” begitu genting bagi telinga.
Lalu kenapa warna menjadi nyawanya dengan menampilkan “warna,” semisal pengeboman WTC mendapat banyak sorotan. Inilah warna sodokan kata yang menghasilkan sebab mengagumkan, tidak terkirakan atau melebihi perkiraan. Dapat digaris bawahi, warna menghimpun gairah; senang, sedih, haru, asing & sebagainya.
Warna ialah hasil dari yang ditampilkan asal kata atau cat. Maka warna setelah kata merupakan pewarnaan. Atau kalimah; “Setiap kata ialah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya” merupakan kekomplitan, kebertemuan padu setubuh dari dua masalah.
Dari sini aku berharap pembaca tulisanku tidak terperosok dugaan jauh dari benang paparan, tetapi menyelidik berulang balik dan kembali. Ini sejenis kebocoran lapisan ozon pengertian, dan semoga terik menghadirkan penyadaran siang di keseluruan serta malam sewajar jaman.
2006 Lamongan, Java.