Maman S. Mahayana *
Selama ini, pembicaraan mengenai sastrawan Angkatan 45 selalu terfokus pada diri Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Ketiga penyair inilah yang kita kenal lewat antologi puisinya, Tiga Menguak Takdir (1948). Mereka pula yang menyatakan sikap berkeseniannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam majalah Siasat, 23 Oktober 1950. Sastrawan Angkatan 45 lainnya, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Achdiat Karta Mihardja, Idrus, M. Balfas, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Usmar Ismail, El Hakim, Rosihan Anwar, dan Utuy Tatang Sontani. Lalu, di manakah Bahrum Rangkuti? Apakah ia termasuk sastrawan Angkatan 45 atau bukan? Atau, ia hanyalah sastrawan biasa yang tidak istimewa, dan oleh karena itu, tidak perlu dibicarakan!
Itulah sikap tidak adil para pengamat sastra kita yang cenderung terpukau oleh nama-nama besar. Akibatnya, sastrawan lain yang sesungguhnya punya peranan “betapa-pun kecil peranannya” dilupakan begitu saja. Pada gilirannya, banyak nama yang diteng-gelamkan tanpa kita pernah menengok karyanya sama sekali. Jika keadaan ini terus saja dibiarkan, maka lebih banyak lagi nama lain yang mengalami nasib yang sama; terkubur bukan karena tidak punya peranan, melainkan karena karya-karyanya tidak pernah dite-ngok atau dibicarakan sama sekali. Ini pula yang terjadi pada diri Bahrum Rangkuti!
H.B. Jassin dalam bukunya Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Balai Pustaka, 1949), memasukkan empat buah puisi Bahrum Rangkuti yang pernah dimuat majalah Pantja Raja, No. 24, I, 1946, yaitu Doa makam, Hampa, dan Insaf. Sedangkan satu puisi lagi, Miradj menurut Jassin, belum pernah dipublikasikan. Di dalam “Pendahuluan” buku itu Jassin menyatakan: “Sesudah perang hanya Rangkuti yang jelas sumber keislamannya, terutama dalam esai dan sajaknya. Satu usaha dari padanya untuk membikin sejarah Nabi Muhammad sesuatu yang hidup dengan sandiwara radionya Sinar Memancar dari Jabal Annur mendapat tantangan yang hebat dari masyarakat Islam Indonesia.” Dalam Gema Tanah Air edisi kedua (Jilid I) (1969), Jassin memasukkan lagi sebuah cerpennya yang berjudul “Laut, Perempuan, dan Tuhan”.
Sementara itu, dalam buku Sastra Baru Indonesia 1, kritikus kondang A. Teeuw menyatakan: “Tokoh yang mewakili pendekatan cara Islam dalam Angkatan 45 ialah Bahrum Rangkuti yang menganggap Mohammad Iqbal, penulis dan ahli filsafat kebudayaan Pakistan itu sebagai tokoh besar yang sempurna dalam lapangan kebudayaan.” Di bagian lain (Sastra Indonesia Modern II) pengamat sastra Indonesia asal Belanda itu juga menyatakan: “Menurut Bahrum Rangkuti, pendidikan agama di Indonesia secara keseluruhan hampir tidak menaruh perhatian terhadap kesenian pada umumnya dan terhadap penulisan kreatif khususnya.”
Ada dua hal yang dapat kita tangkap dari pernyataan Teeuw itu. Pertama, pende-katan cara Islam yang dilakukan Bahrum. Meskipun dalam Angkatan 45 itu ada El Hakim yang karya-karyanya sarat bernuansa Islam, setidak-tidaknya Bahrum juga telah melakukan hal yang sama. Dan memang hal itu kelihatan dalam karya-karyanya. Kedua, kritik Bahrum atas pendidikan agama di Indonesia yang kurang memberi tempat pada kesenian, khususnya penulisan kreatif. Dan inilah yang terjadi dalam pendidikan agama, khususnya yang terjadi di pesantren-pesantren. Jika kini banyak sastrawan Indonesia yang berlatar belakang pendidikan pesantren, itu merupakan satu bukti, bahwa banyak potensi yang dapat dikembangkan dalam dunia pendidikan pesantren kita. Dan Bahrum justru sudah sejak lama melihat adanya potensi itu.
***
Kiprah kepengarangan Bahrum Rangkuti sendiri, boleh jadi lantaran sangat dipengaruhi oleh faktor keagamaan yang ditanamkan kedua orang tuanya. Ayahnya, M. Tosib Rangkuti dikenal sebagai seorang pengikut salah satu aliran tarekat. Ibunya, Siti Hanifah Siregar, juga dikenal sebagai orang yang taat beribadah, bahkan menyenangi tasawuf. Kedekatan dengan ibunya itulah yang banyak mempengaruhi Bahrum dalam soal-soal keagamaan. Wajarlah jika kemudian kehidupan Bahrum tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan, termasuk juga yang tercermin dalam sejumlah karyanya.
Mencermati proses perkembangan kepengarangan Bahrum Rangkuti, memang tampak jelas adanya dua pengaruh kuat yang melekat pada karya-karyanya. Pertama, pengaruh pendidikan keagamaan yang ia serap secara langsung dari kedua orang tuanya dan kemudian tentu saja dari bacaan yang dapat memperluas wawasan pengetahuannya tentang Islam. Yang kedua pengaruh karya-karya Mohammad Iqbal, baik karya fiksinya, Javid Namah, maupun karya filsafatnya, khususnya buku The Reconstruction of Religious in Islam (1934).
Menurut Anita K. Rustapa (1997) yang meneliti karya-karya Bahrum Rangkuti, lengkap dengan berbagai aspek kehidupannya, keterpesonaan Rangkuti atas karya Iqbal itu bermula dari munculnya reaksi kalangan Islam atas sandiwara radio “Sinar Memancar dari Jabal Annur”. Sebelumnya, naskah sandiwara radio itu, dimuat dalam majalah Indonesia, No. 6, I, 1949. Namun, tidak ada tanggapan apa-apa terhadap naskah sandiwara itu.
Belakangan, sandiwara yang mengisahkan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad sejak menerima wahyu pertama di Gua Hira sampai kedatangan Nabi pertama kali ke Medinah itu, ternyata diterima oleh sebagian golongan Islam secara hitam putih dan sempit. Memang, dalam sandiwara itu ada dialog Nabi yang disampaikan kepada para sahabatnya. Boleh jadi, lantaran adanya perkataan Nabi itulah, yang diprotes oleh sebagian umat Islam. Tetapi sandiwara itu semata-mata karya sastra. Ia dibangun berdasarkan imajinasi pengarangnya. Jadi, sebenarnya sah-sah saja Rangkuti menggambarkan hal yang demikian, sejauh tidak bertentangan dengan citra Nabi yang sesungguhnya. Dan Rangkuti justru berhasil menggambarkannya dengan sangat bagus. Penggambaran seperti itu, juga banyak dilakukan para sastrawan Islam, seperti Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung atau Iqbal dalam Javid Namah.
Demikianlah, peristiwa inilah yang membuat Rangkuti berkesimpulan bahwa pemahaman Islam masyarakat Indonesia sebagian lebih banyak didasarkan pada ajaran fikih, sementara aspek pemikiran dan kebudayaan, kurang diperhatikan. Hal itu juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih terbiasa dengan budaya dengar daripada budaya baca.
Ketika reaksi keras itu muncul, Bahrum Rangkuti sendiri belum dapat menjelaskan duduk persoalannya secara meyakinkan. Inilah sebabnya, ia kemudian membaca sumber-sumber lain untuk menyampaikan argumentasinya. Sampailah ia kemudian pada buku karya Iqbal itu. Berulang kali ia mencermati dan mendalami pekimikiran filosofis Iqbal. Kenyataan memang filsof asal Pakistan ini dianggap oleh banyak ilmuwan sebagai salah seorang pemikir Islam progresif. Bahrum Rangkuti juga kemudian sampai pada kesimpulan itu. Maka, karya Iqbal itupun menjadi salah satu buku pegangannya yang penting.
***
Dalam perjalanan kepengarangan Bahrum Rangkuti yang kemudian, tampak bahwa nafas dan moral Islami secara konsisten diselusupkan dalam karya-karyanya. Tidaklah berlebihan jika A. Teeuw mengatakan, bahwa Bahrum Rangkuti merupakan tokoh yang mewakili pendekatan cara Islam dalam Angkatan 45. Penelitian Anita K. Rustapa juga menyebutkan bahwa sebagian karya Rangkuti memperlihatkan sikap religius pengarangnya. Dan memang sejumlah puisinya sarat menggambarkan suasana nafas keagamaan yang seperti itu. Jadi, wajar pula jika kita menempatkan nama Bahrum Rangkuti secara proporsional dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, sebagai salah seorang tokoh sastrawan Angkatan 45 yang mewakili pendekatan Islam.
Apabila kemudian muncul pertanyaan: Pantaskah predikat itu dilekatkan kepadanya mengingat banyak di antara kita yang tidak mengetahui karya-karyanya? Apakah predikat itu tidak berlebihan? Peran kesastrawanan Bahrum Rangkuti memang tidak begitu menonjol dibandingkan profesinya sebagai penerjemah atau sebagai perwira ALRI atau sebagai Sekjen Departemen Agama. Meskipun demikian, sebagai sastrawan, ia telah menghasilkan empat naskah drama, yaitu Laila dan Majnun (dimuat dalam majalah Gema Suasana, No. 5, II, 1949), Sinar Memancar dari Jabal Annur (Indonesia, No. 6, I, 1949), Asmara Dahana (Indonesia, No. 8, I, 1949), dan Arjuna Wiwaha (Indonesia, No. 2, II, 1950), lima buah cerpen, dan sekitar 40-an puisi yang sudah dipublikasikan, serta 22 buah puisi yang belum dipublikasikan, lima puisi di antaranya merupakan puisi panjang (naratif). Selain itu, ia juga sedikitnya telah menghasilkan sebelas karya terjemahan dari karya Sophokles, Alexandre Pushkin, Mohammad Iqbal (enam buah), Lorca, Paul van Ostoyeen, dan Jawaharlal Nehru.
Demikianlah sekilas gambaran sastrawan Bahrum Rangkuti, sosok sastrawan Angkatan 45 yang nyaris dilupakan. Untuk memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai kepengarangan Bahrum Rangkuti, periksalah buku karya Anita K. Rustapa, berjudul Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya (Balai Pustaka, 1997); sebuah buku yang cukup lengkap mengangkat sosok pribadi Bahrum Rangkuti.
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).