Ismael, Penjahit Hati

Ucu Agustin
http://suaramerdeka.com/

Kekasihku bilang padaku ia memerlukan aku. Maka kurawat baik-baik diriku. Dan aku berhati-hati ke mana saja pergi. Takut kalau-kalau setetes air hujan akan membunuhku.1

KARENA aku mau berpelukan selama sisa hidupku dengan orang yang kucintai, karena tak pernah kucintai seseorang sedalam itu, karena hatiku pernah teriris dan pecah, karena Ismael telah menikah dengan ombak, dan ribut angin laut tak bisa membawanya kembali ke pesisir pantai, mengirimkan lagi dalam bentuk buih yang menjelma menjadi seorang pria yang ke mana-mana selalu membawa benang halus yang terpintal tebal, benang berwarna putih pecah yang selalu digenggam dengan hati-hati di tangan kanan…turun-temurun para tetua bercerita tentang kisah itu. Ratusan anak-anak pantai yang suatu hari berangkat dewasa dan menjadi orang tua, memberi nama itu pada anak-cucu mereka; Ismael. Dan bila pun suatu hari kisah itu kelak dilupakan orang, asin garam dan desir angin pantai pasti tak akan diam. Mereka akan terus berbisik tentang kisah si penjahit hati di telinga para pengunjung pantai. Kisah yang kudengar jauh ketika aku masih kanak. Meluncur dari mulut paman, puluhan tahun silam.

Alkisah, kupu-kupu hitam robek sayap, bergetar menatap nanar mata Asunka yang terkatup. Lelaki-lelaki di dusun itu belum lagi berhasil kabur dari kabut pekat di tengah laut. Perempuan-perempuan pada bergelung memeluk anak-anaknya di gubuk mereka yang reyot. Dan konon katanya, hanya angin dini hari saja yang menjadi saksi ketika kupu-kupu robek sayap itu memberikan jarum perak berkilau ke tangan Asunka dan berbisik kalau ia akan memberikan hatinya juga untuk dia yang belum lagi lahir. Sebongkah hati mungil kupu-kupu yang lapang. Hati yang serupa galaksi yang akan mampu menampung berapa banyakpun makhluk yang bertumbuh di dalamnya.

Dan Asunka mengigit bibirnya, menahan sakit yang teramat. Napasnya bergerak naik turun. Paru-parunya kembang-kempis cepat seperti paru-paru buaya saat menghirup udara dan membuat gelembung di permukaan air rawa. Air ketubannya telah lama pecah, tetapi bayi itu tak kunjung bisa didorong keluar dari rahimnya. Maka jemari Asunka gemetar. Dan perempuan itu menjerit lemah saat menusukkan jarum perak berkilau pemberian kupu hitam, ke dalam perut yang buncit membukit.

Tak ada suara tangis. Tak ada lenguh sakit. Cuma perut itu perlahan terbelah, dari antara daerah sekitar pusar sampai bagian perut tepat di atas pinggul. Dan menurut hikayat, bayi itu keluar begitu saja dari sana tanpa seorang pun membantu persalinan.

Lantas kupu-kupu hitam robek sayap itu terbang terseok ke atas perut Asunka dan masuk ke dalamnya. Sesaat setelah itu, begitu saja perut itu menutup kembali dan tinggallah tangis Ismael merobek sisa dini hari yang dingin. Sisa dini hari di Dusun Day yang lengang, namun kelak pada kemudian hari akan menjadi begitu ramai.

Kau belum pernah mendengar kisah tentang seorang bayi yang menyusu dari pusar Ibu? Inilah saatnya kau menyimak cerita Ismael si penjahit hati. Ismael yang menyesap sari hati kupu-kupu yang jiwanya senantiasa beterbangan mengepak sayap, menumbuhkan akar kebebasan di hati dan kepala Ismael. Ismael yang tidak pernah mengisap darah melalui kelenjar susu melainkan menyesapnya langsung dari benjolan di pusar sang Ibu. Ismael yang dengan cara mengherankan selalu dikelilingi laba-laba dan dengan piawai menggunakan jari-jemari mungilnya merapikan jaring laba-laba menjadi pintalan benang lalu menjahitnya untuk menyembuhkan hati manusia yang luka, robek, pecah, atau terbelah.

Dan semuanya bermula dari sebuah sore pada suatu hari di Dusun Day. Suatu sore ketika lelaki-lelaki kemudian urung berlayar saat tiba malam. Ikan-ikan berkeriap pada gelap laut di antara lipatan ombak, bebas dari jaring nelayan. Dan bulan menatap jalang permukaan laut sekitar Dusun Day yang biasanya ramai oleh kerlip lampu perahu, namun saat itu tiba-tiba jadi janggal karena laut jadi begitu lengang.

Sore itu tubuh Hu menggantung di sebuah batang rasamala dekat lesung tak jauh dari tanjung. Kepala perempuan beranak dua itu seperti boneka yang sewaktu bermain, ditarik terlalu kencang oleh sepasang tangan mungil anak kecil. Kepala itu miring terkulai ke arah depan. Rambutnya yang tipis panjang, menjuntai menutupi wajah Hu. Kaki perempuan itu tirus dan pucat. Dan menurut cerita orang-orang, saat itu Imang menangis sangat kencang.

Sebelumnya, di dusun Day tak ada lelaki yang pernah menangis sekencang Imang. Lelaki-lelaki Dusun Day adalah para lelaki pantai yang dibesarkan berteman karang dan badai lautan. Sejak kanak bertarung dengan ikan-ikan ukuran raksasa dan air garam membuat kulit dan hati mereka menjadi seperti baja.

“Hati Imang pasti pecah,” begitu bisik-bisik mereka.

Konon menurut alkisah, empat tahun sudah kulit wajah dan tangan Hu, melepuh. Rambut Hu yang indah, rontok dan menipis. Kadang seluruh badan perempuan istri Imang yang dulunya amat cantik itu, bengkak. Dan keluhan sakit persendian di seluruh kaki, sakit kepala yang sangat, dan perasaan seperti ginjal dipukul-pukul godam, menjadi keluhan menahun yang tak kunjung berhenti. Dua anak Imang terabaikan. Berkali Hu melakukan percobaan untuk berpisah dengan hidup.

Hu menenggelamkan diri di laut. Hu memakan jelantang, sejenis daun beracun yang menimbulkan rasa amat gatal, dalam jumlah besar. Hu menyobek persendiannya dengan parang. Hu menggantung dirinya di kamar. Dan semua usaha yang dicoba hanya membawa Hu, Imang, anak-anak dan kerabatnya pada perasaan semakin menderita. Penyakit Hu, bukan kiriman orang. Begitu seorang dukun, bilang.

Imang jarang berlayar. Tiap hari menjagai istrinya yang frustasi. Tapi Imang tidak pernah belajar bahwa sekuat apapun dia mencoba melindungi orang terkasihnya, Hu bisa saja terluka suatu hari dan Imang akan mendapat luka yang sama karena hal tersebut.

Hu gantung diri. Perempuan itu akhirnya meninggal. Dan tangis kencang Imang hanya terjadi kurang dari tiga menit. Setelahnya Imang hanya mematung. Menatap kaku dengan mata nyalang dan berkaca, badan Hu yang menggantung di batang Rasamala. Tak ada lagi, bahkan suara isak terkecil pun, keluar dari mulut Imang. Kakinya terpancang kuat menjejak tanah tempatnya berpijak. Tak seorangpun mampu memindahkannya. Imang seperti berubah menjadi batu. Badannya menjadi begitu berat dan kaku. Ribuan kapinis melayang pulang, memenuhi langit sore yang tak biasa di Dusun Day.

Dan penjahit hati itu pun muncul.

Ismael yang masih kanak memeluk Imang. Imang bergeming. Ismael kecil mengusap dan menepuk-nepuk punggung belakang si lelaki malang. Kali ini, begitu saja suara tangis kecil tanpa airmata keluar pelan tertahan, dari mulut Imang. Namun tubuh itu tak juga kunjung melentur. Mata Imang tetap saja terbuka nyalang. Jasad Hu, telah dipindahkan orang-orang.

Sore telah menjelang malam, saat Ismael akhirnya menatap ke dalam mata Imang. Dan sebelum peristiwa yang membuat semua orang berdecak -dan kelak membuat terkenal nama Dusun Day, Ismael mengeluarkan pintalan benang halus dari saku bajunya. Benang berwarna putih pecah yang dibawanya serta menerobos ke dalam manik mata Imang. Benang yang digunakan Ismael untuk menjahit robekan hati Imang yang hancur berkeping.

Di dalam dada Imang, Ismael menyaksikan musik kesedihan dan lara berdentum penuh semangat. Berdebam, merontokkan kelenjar airmata yang berguguran mengalir di pipi Imang. Dan dalam dada yang gemetar itu, Ismael melihat aliran panjang kesedihan yang tengah bersuka cita. Mereka berbondong menuju hati Imang sambil membawa undangan pesta. Mereka minum dengan bahagia. Setiap tawa dari mabuk mereka, adalah sedih yang bergumpal dalam ukuran-ukuran besar. Tangis yang muncul dari inti sari kehilangan yang paling dalam.

Melalui mata Imang, Ismael menjahit luka hati lelaki itu dengan jarum kebebasan dari sedih yang melegakan milik kupu hitam robek sayap, dan benang dari pintalan ludah laba-laba yang di perutnya memiliki mantra penyembuh luka.

Beberapa hari kemudian, Imang telah mampu kembali berlayar.

Sejak peristiwa itu, cerita tentang Ismael penjahit hati menggema ke mana-mana. Orang-orang gunung yang murung, turun ke daerah pantai, mencari Dusun Day. Orang-orang dari seberang selat yang bersedih dan memiliki masalah hati, datang dengan kapal menanyakan tempat tinggal Ismael anak Asunka. Ismael yang tak berbapak.

Dan kisah si penjahit hati yang menyulam remuk redam perasaan menjadi kelegaan serta kemampuan untuk mampu menanggung banyak hal, termasuk penderitaan, membuat Dusun Day menjadi riuh dan terkenal. Pantai yang lengang jadi ramai.

Namun berpuluh tahun kemudian saat kisah Ismael makin populer, lelaki-lelaki pembawa benang bermunculan di bibir pantai. Beberapa dari mereka mengaku sebagai murid si penjahit hati. Semua penduduk Dusun Day tahu, Ismael tak pernah mengangkat seorang murid pun. Tapi tentu saja, mereka membiarkan saja satu, dua, bahkan ratusan pengunjung awam di pantai, terkecoh.

Setiap sore, dengan mudah bisa ditemukan para pelancong mengobrol dengan lelaki-lelaki pembawa benang yang menjual benangnya sebagai cenderamata dari guru mereka. Ismael penjahit hati.

Angin barat datang dan lewat. Angin timur menghembus dari darat. Pantai dikikis badai dan tahun-tahun terus saja berlarian. Kisah Ismael menjadi legenda Dusun Day yang perlahan berubah menjadi kota pesisir yang ramai. Dan tentang Ismael, orang-orang tua di daerah itu percaya, bahwa konon Ismael tak pernah bisa menjahit hatinya sendiri.

Ismael memutuskan menikah dengan laut ketika ibunya, Asunka, meninggal. Tak kuat menangung kehilangan, sewaktu menabur abu jenazah ibunya di lautan, Ismael membiarkan hatinya pecah. Dengan hati yang remuk di dalam tubuhnya, Ismael berlari menuju laut dan laut menyambutnya sebagai pengantin lelaki tersedih yang pernah ia sunting. Lelaki dengan luka dan robek hati terparah yang menyatukan kesedihannya dengan gemuruh ombak.

***

Kekasihku bilang padaku ia memerlukan aku. Maka kurawat baik-baik diriku. Dan aku berhati-hati ke mana saja pergi. Takut kalau-kalau setetes air hujan akan membunuhku.

Tapi ia mengecewakanku.

Telah kubilang padanya bahwa aku memerlukannya juga. Kenapa ia tidak mampu merawat baik-baik dirinya? Kenapa ia tidak berhati-hati ke mana saja pergi? Tidakkah ia memikirkanku? Tidakkah ia tahu bahwa hatiku akan remuk dan pecah bila tak lagi bisa melihatnya?

Orang-orang tua bilang, Hu meninggal pada sore menjelang minggu malam. Dan hari itu adalah memang sabtu menjelang minggu malam.2

Bukankah kita harusnya bertemu di pinggir jalan? Bukankah kau telah kularang untuk pergi ke bibir pantai? Siapa yang membutuhkan kelomang dan kerang untuk mengenang satu tahun pertemuan pertama kita di pesisir timur?

Ada beberapa ledakan bergemuruh kudengar waktu itu. Orang-orang berlarian dan jerit tangis seketika meriuhkan Jimbaran. Tapi aku tetap menunggumu di pinggir jalan. Setia memaku diri pada janji yang telah kita bikin setengah jam sebelumnya.

Malam ini kita tidak akan ke pantai. Tunggu aku di pinggir jalan.

Dan melalui pesan pendek mu, kau membalasku:

Aku datang agak telat. Mungkin kau yang harus bersabar menungguku sebentar. Ya, kita tidak akan ke pantai.

Tapi waktu terus berlalu dan aku bahkan tak perduli pada raungan suara ambulance dan sirene mobil polisi, lalu lalang orang terluka dan mereka yang panik membawa potongan tubuh keluarga mereka. Aku tetap menunggumu. Bukankah kau berjanji akan tiba agak telat?

“Tidak Daniel! Ilona telah pergi ke sana satu jam lalu! Kami tak berhasil menghubunginya! Bisakah kau mencarinya?!” suara tangis dalam nada histeris.

“Daniel! Daniel!” Aku mendengar suara di seberang telepon terus memanggil namaku, bercampur dengan suara-suara langkah kaki, jerit dan tangis yang melelehkan petang di Jimbaran dalam kuali kepedihan

“Daniel! Daniel! Kau masih di sana bukan?!” Suara di seberang terus saja memanggil namaku. Tapi aku tak bisa berucap. Tak bisa bergerak. Beginikah yang dirasakan Imang sewaktu melihat Hu tegantung di batang pohon, dekat tanjung?

Tapi kemana aku harus mencari Ismael? Padahal ada sesuatu yang begitu saja menoreh dan mengoyak sobek hatiku. Mencerai-beraikan keutuhannya dan membuatnya hancur berkeping. Membutuhkan penjahit hati untuk membuat segalanya

baik kembali. (35)

* Untuk seorang teman; Aku lega, kau tak jadi pergi malam itu…

01.02.2006

Catatan: 1)Dikutip dari puisi Bertolt Brecht “Pagi dan Malam Untuk Membaca. Diterjemahkan Goenawan Mohamad. 2) Peristiwa “Bom Bali II” yang terjadi pada 1 oktober 2005 terjadi pada Sabtu menjelang Minggu malam. Peristiwa itu berselang tiga tahun kurang 11 hari dari peristiwa bom Bali sebelumnya yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Pada peristiwa bom Bali II, tiga ledakan terjadi di tiga tempat yang berbeda; Kuta, Jimbaran dan Renon. Puluhan korban tewas dan ratusan orang luka-luka.

Leave a Reply

Bahasa ยป