Judul Buku: Perempuan Terinspiratif dan Berprestasi di Jateng 2008
Penyunting: Tavifrudi Y
Penerbit: CV Mimbar Media Utama Semarang
Tahun Terbit: 2008
Tebal Buku: 177 halaman
Peresensi: Dwi Nur Hayati
http://suaramerdeka.com/
KESETARAAN gender, demikianlah agaknya substansi tematik yang membenangmerahi 23 biografi ringkas para perempuan tokoh dalam buku ini. Tersaji dengan narasi yang mengalir lincah dan terasa ramah menyapa pembaca.
Tanpa hidangan teori-teori gender yang berteriak lantang, tetapi langsung menusuk ke jantung deskripsi konkret tentang para perempuan yang menekuni hari-harinya dengan kesibukan luar biasa. Sementara itu, mereka tetap berupaya merawat ?takdir? sebagai perempuan. Mereka itu adalah pejuang keseteraan gender yang ?perkasa? dalam cakupan pengertian luas. Suatu lingkaran medan makna yang tak sebatas fisik namun lebih pada sikap, pendirian, dan prinsip.
Dra Asih Marlina atau yang karib disapa Djeng Asih misalnya, ?perkasa? dengan kearifan memandang kodrat keperempuanannya. Di tengah kesibukannya mengelola Rumah Sakit Mitra Bangsa dan Rumah Makan Sapto Renggo di Pati, peraih penghargaan tertinggi Raja Thailand Bhumiphool Aduljadev dalam pengembangan metafisika itu tetap berpagut pada konsep keseimbangan. Dengan rendah hati, spiritualis di Padepokan Metafisika itu pun mengakui, ?Menyeimbangkan antara kesetiaan dan pasangan, kesetiaan dengan anak-anak, dan kesetiaan dengan pekerjaan adalah tantangan yang sangat berat.? (halaman 3). Walau begitu, bukan berarti dia tidak bisa melakukannya.
Ada pula yang ?perkasa? secara religiositas. Hal itu tampak pada diri Heri Siswanti. Direktur Utama PT Srikandi Prima Perkasa yang berkantor di Gedung Menara Kadin Jalan HR Rasuna Said Jakarta ini memiliki Hasta Sila, delapan dasar watak utama, untuk pegangan hidupnya. Tiga di antaranya terkait dengan hablum minnallah, hubungan manusia dengan Allah SWT, yaitu sadar akan keberadaan-Nya, percaya akan keadilan Dia, dan taat pada segala perintah Yang Mahakuasa.
Lima lainnya bertalian dengan hablum minannas, hubungan manusia dengan sesama manusia, yakni rela, sabar, narima, jujur, dan budi luhur (halaman 61). Inilah prinsip yang dia pegang teguh dalam menjalankan roda bisnisnya.
Yang ?perkasa? dalam kearifan memandang realitas pahit kehidupan juga ada. Ini tampak pada sosok Direktur Utama PT Escalibur Tour and Travel Jakarta Natalia Soetrisna Tjahya. Perempuan kelahiran Semarang ini harus menerima kenyataan pahit kematian putri semata wayangnya, Maria Monique, pada 27 Maret 2006 di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, akibat bakteri berbahaya di katup jantung dan telah menggerogoti paru-paru dan otaknya.
Dari situlah pintu hatinya terketuk untuk mendirikan Yayasan Maria Monique Last Wish pada tahun meninggalnya sang anak. Pebisnis tulen yang kemudian juga menjadi pekerja sosial sejati itu menuturkan, ?Apabila seorang anak yang menurut dokter sudah tidak punya harapan hidup karena penyakitnya, mungkin mempunyai keinginan duniawi sebagai last wish. Yayasan kami siap mewujudkan keinginan terakhir itu serta memberikan penghiburan.? (halaman 89)
Hingga kini, yayasan tersebut telah mengabulkan permintaan terakhir tidak kurang dari 3.500 anak baik dari Indonesia maupun mancanegara, seperti Vietnam, Singapura, India, China, dan sejumlah negara di Afrika. Tahun 2008 lalu, Yayasan Maria Monique bahkan telah memberikan sumbangan kursi roda kepada anak-anak yang menderita lumpuh layu di seluruh Tanah Air.
Mencerdasi Tradisi
Keperkasaan itu, juga dapat tercermin pada kemampuan mencerdasi ajaran tradisi. Sinto Adiprasetyorini ST, istri Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip SH SE, memiliki jenis keperkasaan di bidang ini.
Ketua TP PKK Kota Semarang, Penasihat Darma Wanita Persatuan, Penasihat GOW Kota Semarang, Ketua Dekranasda Kota Semarang, dan Ketua Umum Pengda Persani Jateng ini mencerdasi ajaran Tri Ayuning Wanita, tiga hal tentang kecantikan perempuan, yang sarat balutan filosofi Jawa.
Katanya, yang pertama perempuan itu adalah rupi (wajah), mampu membawa diri, keluarga, dan masyarakatnya sehingga terlihat cantik dalam pranata kesantunan. Yang kedua, lati (ucapan), merujuk pada kemampuan perempuan menjaga perkataannya sehingga tetap berada dalam rel kesantunan dan kecerdasan. ?Apabila ibu selalu berpikiran positif dan berpengetahuan luas dari hasil banyak membaca, maka sang anak pun terbiasa dan mencontoh ucapan-ucapan dan pikiran positif juga.? (halaman 129-130)
Ketiga adalah ati (hati). Perempuan ketika berada dalam posisi peran apa pun, entah itu domestik ataupun saat berkiprah di ranah publik, seharusnya dapat menunaikannya dengan hati yang ikhlas. Hal itu antara lain terekspresikan dengan tidak banyak mengeluh sebagai barometer ketangguhan hati.
Itu sedikit bocoran dari buku ini. Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran berharga dari kelok liku pengalaman-pengalaman hidup para perempuan ?perkasa? itu.
Pendek kata, bagi perempuan, buku ini akan dapat lebih memperluas cakrawala pandang betapa kaum hawa pun bisa dibanggakan. Dan yang laki-laki bakal lebih bijaksana memahami perjuangan kesetaraan gender.