Mariana Amiruddin
sinarharapan.co.id
Sebelum membuat tulisan ini, saya sengaja bertemu langsung dengan pengarangnya, Chavchay Syaifullah. Dari namanya saya sudah menemukan kejanggalan. Dia yang pernah mengirim puisi di Jurnal Perempuan berjudul “Tubuh Perempuan”. Dalam puisinya saya menemukan keanggunan yang lain, yang biasanya saya temukan pada diri perempuan. Dia bicara tubuh perempuan bukan dalam bentuk materi seperti umumnya lelaki. Dia meletakkan tubuh perempuan yang multi, memberi kehidupan dengan segenap siksaan. Keindahan tubuh perempuan yang sebetulnya adalah penderitaan (Jurnal Perempuan, edisi 24). Bahwa keindahan pun adalah kesakitan, seperti yang direpresentasikan oleh Eka Kurniawan bahwa Cantik itu Luka dalam novelnya.
Sejak itu tak salah lagi, Chavchay adalah sosok yang kerap menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol kehidupan (bahkan kegilaan yang menghidupkan?). Seperti novel perdananya berjudul Payudara. Dalam sampul depannya judul tersebut dimasukkan dalam tanda kurung dan di atasnya tercantum tulisan “sebuah novel filsafat” serta komentar Mudji Sutrisno, seorang budayawan. Sebuah novel filsafat yang biasanya orang akan mengerutkan kening dan menganggapnya serius, tetapi disajikan oleh penerbit Melibas dengan gambar sampul depan seorang perempuan berbibir merah darah dan mengeluarkan taring merah seperti sinetron-sinetron sekarang yang sering menghadirkan hantu perempuan: cantik tapi seram, misterius lagi! Banyak reaksi pertama orang yang menganggap judul ini vulgar. Lagi-lagi organ tubuh seks atau reproduksi (apalagi perempuan) akan diberi reaksi yang negatif dan cenderung menjadi kontroversi.
Saya tidak terlalu curiga dengan novel ini awalnya. Sebab dalam pengantar, sebagai pintu masuknya novel, konotasi payudara sebagai sesuatu yang esensial tidak ada. Apalagi Mudji Sutrisno telah mengeluarkan pernyataan “memperebutkan perayaan payudara kehidupan”. Ini pasti novel yang berbicara lain tentang judulnya, demikian dalam hati saya.
Pertemuan dengan Chavchay semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa ini bagian dari proses pergulatan pengarang atas ke-diri-annya. Chavchay adalah pengarang yang mudah sekali masuk ke alam yang irasional dan dia membuatnya menjadi ekstase. Bahkan mistis. Berteriak histeris, bergetar-getar, atau diam sama sekali, mungkin itu ciri ekstase. Dan gejala itu ia tunjukkan tanpa malu-malu. Ketika diminta berbicara di depan umum untuk menutup peluncuran novelnya ini, Chavcay memamerkan ekstasenya. Suaranya menggelegar, keluar dalam dirinya entah yang mana. Kemudian ia membeberkan bahwa ia sempat menjadi seorang provokator dalam peristiwa Mei. Peristiwa kekerasan yang takkan kita lupakan, toko-toko sekitar Ciputat yang ia bakar, dan Cina-Cina yang ketakutan. Chavchay menangis. Ia adalah pemuda yang merantau ke Arab Saudi dalam waktu yang tidak sebentar, bahasa Arabnya cas-cis-cus. Dan kemudian menekuni dunia filsafat yang sebetulnya adalah misi untuk mencari jawaban-jawaban atas pikiran hidupnya.
Oleh karena itu saya langsung menyatakan bahwa tokoh Sakti dalam novel Payudara ini adalah identifikasi pengarang. Kegilaan yang sebetulnya bukan “sebuah penyakit”, melainkan potensi manusia yang terkubur, dan Sigmund Freud berhasil merumuskannya dengan satu kata: unconsciousness, yaitu alam bawah sadar. Dan bahwa semua manusia adalah neurosis, memiliki kegilaannya sendiri, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam gudang jiwa kita. Bahwa kegilaan sebetulnya adalah pengobatan jiwa itu sendiri. Kegilaan itu adalah kedahsyatan manusia di mana manusia tidak lagi diberi batas-batas. Ia lebih bebas dari imajinasi. Kegilaan adalah ketidaksadaran yang disadarkan dan kemudian menjadi sesuatu yang genius. Novel Payudara adalah ide yang berangkat dari kegeniusan, meskipun Chavchay tidak begitu berhasil dalam bahasa yang dibuatnya. Namun ada beberapa kalimat yang saya garis bawahi: ketika pengarang punya hak jawab atas karyanya, Chavchay mengatakan novel bertitel filsafat ini adalah bentuk yang disengaja. Buku Dunia Sophie yang kita kenal, adalah buku filsafat yang sastrais. Chavchay mencoba membalikkannya dalam Payudara, sebuah novel yang dibuat menjadi filosofis. Mungkin ini satu-satunya alasan Chavchay yang tidak gila.
Chavchay bahkan mengombinasikan kegilaan dengan imajinasi, halusinasi dan “sedikit” filsafat yang menentang habis-habisan rasionalitas. Seperti Pak Kubri, tokoh penjaga kuburan yang sesungguhnya tidak pernah ada, nadanya marah-marah pada tokoh Bayu, sahabat Sakti, mantan dokter jiwa, tentang rasionalitas yang dianggap sebagai kebenaran. Oh, jadi yang benar dan kreatif menurutmu adalah sesuatu yang masuk akal? Bayu menjawabnya bahwa itulah yang membedakannya dengan binatang. Lantas Pak Kubri begitu emosionalnya mengatakan, kenapa kamu selalu memandang perbedaan yang terdapat antara manusia dan binatang. Kenapa kamu sendiri tidak pernah mau melihat persamaan-persamaan yang terdapat antara manusia dan binatang, kenapa? Asal kamu tahu saja Bayu, antara menusia dan binatang, lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Tahu tidak?
Akhirnya cerita novel ini benar-benar tidak rasional. Liriklah energi tulisannya di halaman 25, ketika Sakti menebas kedua kakinya. Sakti membuat teks puisi Tardji menjadi tindakan, yaitu tentang kaki yang luka. Ia lukai kedua kakinya dengan cara yang paling ekstrem. Dan inilah sesungguhnya imajinasi paling ekstrem, imajinasi gila-gilaan. Orang gila tersebut, langsung menebas kedua kakinya. Dalam waktu sekejap, kedua kakinya buntung. Darahnya mengalir membasahi ruang tunggu pasien. Tidak itu saja, Chavchay mengalirkan energi sadistis ini menjadi energi yang romantis. Sebab darah yang muncrat itu kemudian melukis sendiri. Darah yang melukis wajah perempuan bernama Payudara. Perempuan yang datang dari luka dan darah. Yang nanti akan pulang dengan bekal yang sama: darah dan luka.
Novel Payudara ini sangat penuh dengan nuansa kematian. Bukan sesuatu yang tragis, melainkan lagi-lagi romantis. Hubungan Payudara dan Sakti yang tidak dalam situasi normal, sama sekali tidak sadar dan tidak rasional. The pleasure of death sangat tampak dalam gagasan-gagasan ceritanya. Chavchay bahkan membingkainya dengan latar kuburan berikut binatang-binatang yang akrab di dalamnya. Ia menjadikan cacing-cacing, belatung-belatung, mayat-mayat, setan yang tertua sekalipun sebagai penghias cerita novel ini. Dialog Sakti penuh dengan halusinasi. Semuanya serba halusinasi hingga pembaca sulit menemukan mana pikiran Sakti yang sesungguhnya. Semuanya sengaja dibuat tidak masuk akal. Tapi begitulah kegilaan. Jangan harap adanya alur yang jelas. Kecuali pada pembuka dan penutup yang menjelaskan bahwa 80 persen dari cerita novel ini adalah ciptaan Sakti yang sakit jiwa, yang nyata hanyalah Sakti sendiri dan Payudara sebagai dokter jiwa yang sesungguhnya.
Kenyataan, Halusinasi, dan Imajinasi
Sakti menderita skizofrenik (begitu umumnya para psikolog mengatakan), begitu banyak bayangan dan gambaran hasil ciptaannya sendiri. Semua seolah nyata. Halusinasi memang lebih kuat kehadirannya daripada imajinasi. Halusinasi Sakti hadir begitu saja tanpa direncanakan. Tapi cuma Sakti yang tahu, dan Chavchay, tentunya. Novel ini sangat bergulat dengan diri sendiri, yang menciptakan ceritanya sendiri. Sakti yang jatuh cinta pada tiga perempuan yang sebetulnya adalah orang yang sama. Payudara sebagai perempuan nyata yang berprofesi sebagai dokter jiwa, Payudara sebagai setan bernama Isabela, dan Payudara sebagai imajinasi yang bermukim di lautan dan bertengger di poster-poster kamarnya.
Lain lagi, obsesi sebagai “orang gerakan” atau aktivis terlihat sekali dalam hubungan internal tokoh yang diperankan. Perkawinan setan dan manusia, yaitu Isabela dan Bayu tidaklah ditunjukkan sekadar ritual yang aneh. Chavchay juga membuatnya menjadi sebuah “perkawinan politis” dengan misi supaya kaum setan dan manusia tidak saling curiga yang kemudian dikemas dalam jargon “Revolusi Kebudayaan”. Semangat ini menjadi lucu, sebab revolusi kebudayaan yang ditampilkan sama sekali tidak serius, apalagi rasional. Bayangkan, Bayu dan Sakti yang nyasar ke kuburan gara-gara kelaparan, ingin makan nasi goreng, bertemu seorang hantu perempuan bernama Isabela, yang tiba-tiba pula melindungi Bayu habis-habisan dari kepungan zombie-zombie. Isabela melindungi Bayu luar biasa bahkan Bayu diperintah untuk mengikuti segala gerak-gerik setan, berjalan melompat-lompat seperti film-film hantu Cina. Lantas ketika Bayu diantar pulang oleh setan Isabela, mereka bertemu orang-orang di pasar dan orang-orang tersebut mendesak Bayu dan Isabela untuk menikah. Tiba-tiba massa berdatangan dan seperti sebuah kampanye politik, dipilihlah presiden revolusi kebudayaan bernama Martin yang menjadi saksi pernikahan mereka. Lucu, memang. Semangat aktivis politik di sini terasa sekali, Chavchay menggambarkannya seperti suasana kampanye koalisi dua partai menjelang pemilu. Menjadi absurd, karena semua dilakukan tanpa benang merah, dan oleh setan dan manusia.
Bahkan semangat emansipasi perempuan juga ada di sini. Tokoh Isabela misalnya yang dibela betul oleh Sakti, bernuansa politik: Isabela itu perempuan hebat. Ia adalah setan-manusia perempuan yang sudah mantap menggunakan rasionya. Sakti ingin mengatakan bahwa perempuan tidak seluruhnya makhluk yang penuh dengan lautan perasaan, dan itu yang membuat perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Bahwa Isabela bukanlah ahistoris, ia sejarah Revolusi Kebudayaan itu sendiri, ia memberi inspirasi revolusi yang aneh, revolusi orang-orang gila. Hal unik lainnya adalah ketika Sakti kembali ke kuburan yang ternyata tidak ada orang bernama Pak Kubri, dan bahkan lokasi kuburan itu dijaga oleh cacing-cacing dan belatung-belatung, ada sebuah kuburan yang baru saja dibuat, dan sepertinya ada mayat baru di dalamnya yang memanggil-manggil Sakti. Di atas kuburan itu ada secarik puisi. Dialog yang lucu, Sakti mengatakan, Astaga! Apa benar yang mati itu Abdul Kubri? Lalu, siapa yang menguburnya? Apa mungkin yang menguburnya Sapardi Djoko Damono?? (Ha, ha, ha).
Ini ide kedua Chavchay yang membuat saya tertawa setelah Sakti menebas kedua kakinya gara-gara puisi Tardji. Dan ternyata, yang di dalam kubur tersebut adalah sahabatnya sendiri, Bayu. Bayu telah mati? Kapan? Tidak tahu, tidak ada waktu dan peristiwa yang menunjukkan, namanya juga kegilaan. Bayu bangkit dari kubur masih memakai seragam pocongnya, berikut kapas-kapas di wajahnya. Mereka malah diskusi dengan cair tentang siapa Isabela, siapa Kubri dan sebagainya. Mereka masih seperti sahabat walau kini sudah lain dunia.
Novel ini diakhiri dengan sangat baik dan membantu pembaca untuk menemukan jawaban hubungan antartokoh, setelah sebelumnya menebak-nebak. Saya kira novel ini adalah novel gila, bahkan “orang gila” sesungguhnya yang kita temukan di jalan-jalan raya. Melalui novel ini kita bisa masuk ke dunia si gila, apa yang ada dalam pikirannya dan apa kehendak mereka. Dan terutama adalah tentang ketiadaan yang ada, wah ini mungkin yang dimaksud Chavchay dengan filsafat. Dan tentu yang paling berkesan adalah novel ini berani menolak rasionalitas, tetapi yang bereksistensi. Sakti yang eksistensialis menjadi seorang tukang sapu di seantero Jakarta dengan kesembuhannya, dan Payudara yang menjadikan “ada” melalui cintanya.
***
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan.