Akhir Musim

Sunlie Thomas Alexander
http://suaramerdeka.com/

Aku simpan janjimu dalam setiap pagiku, setiap malamku. Suatu saat nanti aku akan menagih dan kau tidak boleh kaget lantas bilang tidak.

SUNGGUH-SUNGGUHKAH aku berjanji? Atau hanya terlampau takut membuatmu kecewa? Gerimis akhir musim tiba-tiba membesar disertai deru angin yang menjadi liar serupa kelebat bayangmu dalam kepalaku. Aku urung beranjak dari teras warung tempat aku baru saja menghabiskan semangkok mie ayam sambil berbalas SMS denganmu. Kurapatkan jaketku sekadar mengurangi rasa dingin yang merasuki pori-pori. Tetapi, seolah ada yang lebih dingin lagi merayap dalam dadaku.

Suatu hari nanti aku akan mengunjungimu di kotamu. Sepuluh menit lalu balasan pesanku padamu itu muncul di layar ponselku sebagai huruf-huruf yang gemetar untuk menjawab pertanyaanmu kapan kita akan bertemu lagi setelah sekian lama. Larik-larik air yang jatuh dari atap warung membentuk semacam tirai di hadapanku, dan seorang gadis manis berlari menembusnya. Gadis itu merapat ke sisi kiriku dengan tubuh menggigil. Seluruh pakaiannya basah kuyup. Ada sisa parfum cukup tajam yang menguap dari tubuhnya yang sintal, dan lagi-lagi mengingatkanku padamu. Bukankah serupa benar dengan bau parfummu? Entahlah, segalanya seolah bersatu padu melekatkan bayangmu pada benakku. Segalanya: malam yang miris, hujan menderas, bau parfum, bahkan seekor nyamuk yang hinggap di pipi mulus gadis itu. Gerakannya menepis begitu mirip dengan gayamu mengusir nyamuk yang juga hinggap di pipimu ketika itu. Di pinggir Sungai Siak pada sore terakhir pertemuan kita setahun silam. Waktu itu juga hujan, dan kita berteduh di teras sebuah warung kopi di tepi sungai.

Kerinduan memang selalu datang begitu saja. Seperti hari ini, aku baru bangun dari tidur sore yang nyenyak ketika menemukan rintik-rintik gerimis di luar jendela. Dan seperti yang sering terjadi, tentunya aku segera teringat padamu. Aku merasa begitu kangen padamu, dan entahlah, tiba-tiba merasa ingin sekali makan mie ayam kesukaanmu. Aku pun buru-buru menyambar jaket dan berlari ke luar rumah, menerobos gerimis yang melebar, menuju warung di ujung jalan.

Ah, bukankah kamu begitu menyukai hujan? Kamu pernah membisikiku kalau kamu menganggap lelaki itu seperti hujan. Aku hanya tertawa waktu itu, walau tidak tahu apa dalihmu.

Aku merasa kamu seolah-olah ada di sisiku, dan kita berdua sedang termangu menatap hujan yang berkejaran di jalan. Bau parfummu yang khas lagi-lagi menyengat penciumanku. Aku menoleh ke samping. Gadis manis itu tampak gelisah, berkali-kali ia melirik jam tangannya. Apakah ia tengah menunggu seorang laki-laki yang berjanji padanya? Gadis itu tiba-tiba berpaling padaku. Mata kami bertemu. Ia tersenyum dan aku membalas dengan kikuk. Ia ternyata punya lesung pipit kiri-kanan sepertimu…

Mungkin seharusnya aku memang tidak berjanji. Tapi sambil makan, tanpa sadar aku meraih ponsel di kantong celana. Aku baru saja hendak mengetik pesan untukmu, ketika ponsel dalam genggamanku itu berdering nyaring. Dan aku terlonjak girang mendapati sebuah pesan darimu masuk: Apa kabar, Say? I miss U.

Hujan turun semakin deras. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Jalanan melengang. Aspal tampak berkilau di bawah siraman larik-larik hujan, memantulkan cahaya lelampuan toko-toko dan satu-dua mobil yang melintas mencipratkan air. Sejumlah orang mengeluh.

Ai, hujan tiba-tiba menjadi getir di mataku, suara curahannya terdengar seperti sebuah konser sedih.

***

TAK lama lagi aku menikah. Aku akan segera memasuki sebuah kehidupan yang lain, dan menemukan diri berada dalam sebuah kotak bersama orang lain, bukan dirimu. Barangkali kamu hanya akan menertawakan kecemasan yang tiba-tiba menyergapku, atau justru merasa bersedih untukku, pikirku menduga-duga sambil mulai mengetik sebuah pesan untukmu.

Tentu, aku hanya bisa menerka-nerka saja bagaimana perasaanmu bila hingga saat ini kamu belum juga membalas SMS terakhirku dua malam lalu. Adakah kamu marah lantaran cemburu, sebagaimana yang sering aku rasakan setiap kali kamu bercerita tentang seseorang itu, lelaki yang mengisi hidupmu dengan bunga-bunga dan membuahi rahimmu, atau tentang anak-anak buah rahimmu itu, yang begitu lucu dan manis. Mungkin kamu sengaja tidak membalas pesanku agar aku tahu kalau kamu marah. Tapi bisa jadi kamu cuma kehabisan pulsa. Ah…!

Hujan masih turun rintik-rintik di luar jendela kamarku. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang? Apakah kamu juga sedang termangu di depan jendela kamarmu dengan gorden yang bergerak-gerak dipermainkan angin, memandangi larik-larik hujan yang singgah di luar jendela itu sambil menggigit bibir? Kamu pernah mengatakan jika setiap kali hujan turun di kotamu, kamu selalu teringat padaku dan membayangkan aku ada di sampingmu. Karenanya, kamu selalu berlama-lama memandangi hujan tercurah dari langit. Terkadang kamu mengirimiku pesan: Apakah hujan juga sedang turun di kotamu? Dan sering kali aku berbohong kalau aku juga sedang menikmati hujan sepertimu, sekedar untuk menyenangkanmu (Atau mungkin menyenangkan hatiku sendiri? Entahlah). Aku merasa cemburu membayangkan kamu sedang dicumbui seseorang itu. Bukankah hujan adalah waktu yang teramat indah buat bercumbu?

Kau seperti hujan yang datang membasahi, membuat pepohonan dan rerumputan meruap segar di hatiku, dan ketika pergi meninggalkan aroma tanah yang gembur. Gerutumu suatu saat. Barangkali sejak itulah, aku mulai menyukai hujan dan betah menikmatinya berlama-lama. Sebab aku merasa menemukan dirimu… Ketika aku mengatakannya padamu, kamu terdengar begitu girang.

“Bagaimana kalau kita mendirikan Paguyuban Pecinta Hujan? Mungkin banyak orang yang juga mencintai hujan seperti kita dan mereka boleh bergabung,” olokku suatu hari yang membuatmu tertawa nyaring di ponsel.

***

HUJAN akhir musim turun lagi membasahi ingatanku padamu. Ingin sekali aku meraih ponselku dan mengirimkan sebuah pesan untukmu sebagaimana biasanya. Sekadar mengabarkan bahwa hujan lagi turun di kotaku dan aku rindu sekali padamu. Atau mengirimkan kalimat “Selamat Berbahagia” untukmu? Ah, justru pikiran untuk mengucapkan “selamat” inilah yang selalu saja mengurungku niatku untuk menghubungimu. Sekiranya saja kau tahu, kalau kabarmu sungguh-sungguh membuatku sakit. Betapa aku tak sanggup harus membayangkan akan segera ada seseorang yang setia di sampingmu. Sedang aku mungkin akan tinggal bayang-bayang yang jauh, seperti langit sering tampak jauh pada musim kemarau, yang akan datang sebentar lagi. Apakah nanti kita akan tetap saling berkirim pesan dan sesekali saling menelepon? Tentunya secara diam-diam, seperti yang selama ini selalu kulakukan.

Apakah saat ini kamu sedang menatap hujan sepertiku? Kau pasti kian gelisah karena tak juga mendapatkan balasan SMS-ku. Aku tahu, kalau kini kau mulai menyukai hujan juga seperti aku.

Andaikan saja kau tahu, kalau sebenarnya aku menyukai hujan semenjak bertemu denganmu pada malam acara sastra yang basah itu dan betapa dulu aku pernah begitu membenci hujan. Selama bertahun-tahun, kenanganku tentang hujan adalah kenangan seorang gadis cilik yang malang. Seorang gadis cilik dengan air mata melekat basah di kaca jendela yang tertutup rapat, seakan air mata itu hendak menyatu dengan hujan yang tercurah deras di halaman. Gadis cilik berkepang dua dengan sepasang mata bulat bening yang penuh rasa iri dan dengki menatap ke luar jendela, di mana anak-anak lain sedang bertelanjang bulat melonjak-lonjak kegirangan di bawah siraman hujan.

Ia anak yang manis, anak semata wayang. Dan anak manis harus bermain di rumah. Jangan keluyuran dan sembarang bergaul, apalagi bermain hujan-hujanan dengan anak-anak kampung yang dekil itu. Hujan membawa bibit penyakit, dan kalau sampai si anak manis sakit bagaimana? Tukas Mama.

Maka temannya hanya boneka-boneka, buku-buku komik dan dongeng. Ada Tin-Tin, Superman, Godam, Gundala, juga Cinderella, Bawang Merah-Bawang Putih, Ande-Ande Lumut, White Snow dan Tujuh Kurcaci, Sleeping Beauty, Peter Pan, Alice di Wonderland. Sepupu-sepupunya yang cerewet kadang datang merobek buku-buku kesayangannya itu. Sepupu-sepupu tak tahu diri yang suka berteriak-teriak dan bercerita tentang hujan. Sejak itu ia semakin membenci hujan, juga riuh-rendah suara anak-anak bermain di halaman.

Hanya bersama buku-bukunya ia bisa berpetualang, menjelajahi dunia di luar rumah yang terlarang. Papa jarang pulang, tapi setiap pulang selalu membawakan oleh-oleh buku baru untuknya. Buku-buku itu disusun dengan rapi di rak mungil berwarna ungu di sudut kamarnya. Sampai suatu saat ia merasa bosan pada cerita-cerita yang begitu-begitu saja. Ia ingin cerita yang lebih seru, lebih fantatis dan tak selalu berakhir dengan kebahagiaan puteri yang baik hati, tenggelamnya kapal bajak laut, ditangkapnya anak-anak yang tak penurut oleh nenek sihir jahat, atau hukuman Tuhan buat saudara tiri yang culas.

Ia tak ingat kapan persisnya ia mulai menulis ceritanya sendiri. Tokoh-tokoh utamanya adalah anak-anak yang dengan gembira membakar rumah, pangeran tampan yang dibunuh nenek sihir malang, atau puteri culas yang menemukan kebahagiaan dengan ksatria idamannya.

Ketika seseorang itu, lelaki pilihan Mama, datang meminangnya pada sebuah musim hujan, ia hanya meminta satu syarat saja, yaitu ia boleh terus menulis cerita-ceritanya.

***

AKU tak ingin musim hujan berlalu. Aku takut kehilangan bayangmu. Kalau saja kamu tahu, betapa cemasnya aku. Kadang aku berharap hujan akan melupakan musimnya dan turun sepanjang waktu seperti rinduku padamu. Agar jejak percintaan kita tak meranggas oleh kemarau yang bakal tiba tak lama lagi.

Apakah musim hujan yang akan segera pergi juga akan membawa pergi pesan-pesan, membawa pergi debar dada yang begitu nikmat setiap kali ponsel berdering nyaring. Sehingga barangkali aku akan lupa pernah berjanji padamu.

Terlebih pada musim kemarau kali ini, aku harus menyiapkan sebuah pesta besar, menyebarkan undangan-undangan, memilih ranjang dan lemari baru, tentunya juga mencarikan gaun pengantin untuk seseorang yang akan bersanding denganku di pelaminan merah beludru. Ah, pastinya aku tidak akan mencari gaun pengantin berwarna ungu seperti pintanya, sebab gaun ungu hanya akan menyakitkanku lantaran mengingatkan pada foto pengantinmu dengan lelaki itu pada sebuah musim hujan.

Seharusnya aku memang tak berjanji padamu. Sebab mungkin aku tak akan pernah menepatinya.

Belinyu, Maret 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *