Hawe Setiawan *
cetak.kompas.com
Ratapan penutur bahasa Sunda cenderung menggeser tema kerusakan ke kepunahan bahasa. Tema murung itu memang sejalan dengan kecenderungan menyusutnya bianglala bahasa di dunia. Namun, hal terpenting ialah cara merealisasikan hak orang Sunda atas bahasa ibunya seraya memastikan peran sosial bahasa itu kelak. Dalam hal ini adaptasi atas prinsip ekologi ke dalam bidang linguistik kiranya layak dilirik.
Bertahun-tahun orang Sunda yang risau akan kelangsungan hidup bahasa ibunya cenderung merumuskan keluhannya melalui tema kerusakan bahasa. Pada akhir abad ke-19, misalnya, Moehamad Moesa, tokoh yang turut merintis sastra Sunda modern, merisaukan gejala terkontaminasinya bahasa Sunda oleh kata-kata dari bahasa Jawa, Melayu, dan Arab.
Orang banyak pun sering menggunakan istilah kamalayon, yang berasal dari kata dasar malayu (Melayu), untuk melukiskan penggunaan bahasa Sunda yang kosakata atau struktur kalimatnya terpengaruh bahasa asing. Penggunaan bahasa Sunda yang disebut kamalayon sudah pasti dianggap buruk.
Di balik kerisauan itu bersemayam anggapan perihal kemurnian bahasa. Agaknya orang membayangkan bahasa Sunda yang bersih bin murni alias tanpa cacat. Merasuknya kata-kata dari bahasa asing dianggap mengurangi kemurnian itu.
Namun, purisme itu sukar bertahan. Gagasan tentang kemurnian bahasa mengabaikan kenyataan bahwa bahasa Sunda, sebagaimana bahasa lain, justru tumbuh dan berkembang dalam interaksinya dengan beragam bahasa lain. Dalam kamus-kamus bahasa Sunda, dari kamus Jonathan Rigg hingga kamus Hardjadibrata, mudah sekali kita temukan kata-kata yang diserap dari bahasa asing.
Gagasan tersebut juga terbentur pada kenyataan bahwa setiap bahasa pada dasarnya selalu berubah secara alamiah, baik dalam kosakata maupun strukturnya. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata typewriter (mesin ketik) dahulu kala dipakai dalam arti juru ketik alias sekretaris. Jika kenyataan demikian diabaikan, bahasa baku bisa menjadi bahasa beku. Pengaruh gagasan Crystal
Belakangan publikasi isu yang terpaut pada konservasi bahasa Sunda tampak beringsut dari gagasan tentang kemurnian bahasa ke kepunahan bahasa. Gagasan yang disebutkan belakangan memang membayangkan keadaan yang jauh lebih fatal, tetapi bukannya tanpa rujukan faktual.
Dalam hal ini gagasan ahli bahasa David Crystal, terutama dalam bukunya, Language Death (Cambridge University Press, 2003), bergema juga di Jawa Barat.
“Sebuah bahasa dikatakan mati manakala tiada lagi seorang pun yang menuturkannya. Tentu saja bahasa itu bisa terus ada dalam bentuk rekaman, yang secara tradisional berupa tulisan dan yang secara mutakhir berupa arsip suara atau video (dan dalam hal ini memang bisa disebut ‘hidup’). Tapi, kecuali jika masih ada para penuturnya yang fasih, orang tidak akan menyebutnya ‘bahasa yang hidup’,” tulis David Crystal dalam buku itu.
Memang Crystal sendiri menyadari sukarnya mendapatkan data akurat mengenai jumlah bahasa dan penuturnya di seantero jagat. Ia pun tampaknya belum mengetahui adanya bahasa Sunda di dunia ini.
Betapapun, ia berupaya mengantisipasi gejala berkurangnya bianglala bahasa. Dia mencatat bahwa di antara bahasa-bahasa di dunia hanya 4 persen yang dituturkan oleh 98 persen penduduk dunia. Artinya, 96 persen bahasa di dunia hanya dituturkan oleh 4 persen penduduk dunia.
“Perhitungan moderat akan mendapatkan angka kepunahan 50 persen dalam 100 tahun. Sebanyak 50 persen itu mencakup 3.000 bahasa. Adapun 100 tahun terdiri atas 1.200 bulan. Dengan demikian, sedikitnya rata-rata satu bahasa niscaya punah setiap dua minggu. Perhitungan ini tidak mungkin terlalu jauh dari kenyataan,” tulis Crystal dalam buku yang pertama kali terbit tahun 2000 itu.
Sejauh yang kami ketahui, belum ada survei independen atas penutur bahasa Sunda kini. Kalaupun ada data mengenai jumlah penutur bahasa Sunda kini, data itu biasanya merupakan hasil penafsiran dari data lain, misalnya data penduduk Jawa Barat yang pada 2007 sekitar 41,48 juta jiwa.
Meski demikian, pengamatan David Crystal tampaknya cukup efektif bagi khalayak dunia, tak terkecuali orang Sunda yang risau akan kelangsungan hidup bahasa ibunya.
Ekologi bahasa Sunda
Dari Crystal sebetulnya orang tidak hanya dapat memetik gagasan tentang kematian bahasa. Ada pula hal yang kiranya lebih penting, yakni sarannya agar konservasi bahasa mengadaptasi prinsip-prinsip ekologi ke dalam bidang linguistik.
Saran demikian didasari pengamatan bahwa advokasi untuk keragaman hayati telah menggugah kesadaran sejagat akan krusialnya ancaman terhadap keragaman itu. Ada baiknya jika para ahli dan penutur bahasa belajar kepada para ahli dan aktivis lingkungan.
Gagasan tentang pentingnya keragaman hayati itu sendiri bertopang pada pengertian tentang ekosistem. Dalam hal ini orang menyadari bahwa hidup terselenggara berkat jejaring hubungan di antara beragam organisme, tumbuhan, hewan, bakteri, dan sebagainya. Jika salah satu elemen rusak, seluruh sistem bakal menanggung akibatnya.
“Jika keragaman merupakan prasyarat bagi kemanusiaan yang berjaya, pemeliharaan keragaman linguistik jadi hakiki. Sebab, bahasa mendasari apa yang dimaksud dengan hidup manusia itu sendiri. Jika perkembangan pusparagam budaya begitu penting, peran bahasa menjadi amat mendasar. Sebab, beragam budaya terutama ditransmisikan melalui bahasa lisan dan tertulis,” papar Crystal.
Argumen tentang pentingnya keragaman bahasa hanya satu di antara lima argumen yang diajukan Crystal dalam hal ini. Argumen selebihnya menekankan pentingnya bahasa sebagai wahana identitas budaya, sejarah masyarakat, pengetahuan lokal, serta gejala kemanusiaan itu sendiri. Tentu argumen seperti itu dapat dijadikan masukan tak ternilai bagi masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat sejagat umumnya. Hal itu penting dalam upaya merealisasikan hak masyarakat akan bahasa ibunya dan memastikan peran sosial bahasa itu di kemudian hari.
Ayo, orang Sunda, jangan murung dan marah melulu. Lebih baik kita singsingkan lengan baju. Mari kita buat penghijauan bahasa. Sayang sekali jika bahasa Sunda dibiarkan menua, uzur, lantas mati. Lebih baik bahasa Sunda dihijaukan atau diremajakan lagi dalam semesta tatanan multikultural sejagat.
***
*) HAWE SETIAWAN Penulis Lepas, Mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung.