Ipik Tanoyo
http://www.balipost.co.id/
LAGI-LAGI seorang perempuan Jawa mengalami nasib naas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sampai akhirnya harus bercerai dan menikah lagi dengan pria lain. Dalam novel memoar bertajuk Pendar Jingga di Langit Kabah karya Naimah Herawati Hizboel, dikisahkan seorang perempuan Jawa bernama Sazkia Rahmah yang menjadi tokoh utama, bertubuh tinggi dan berparas ayu. Bila bicara, matanya berbinar-binar memancarkan keramahan, optimisme, sekaligus kepasrahan.
Didikan orang tuanya yang ketat menanamkan adat Jawa, pada akhirnya menempatkan Sazkia pada banyak pilihan hidup yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dia yang sebelumnya pernah menikah dengan lelaki Jawa psikopat yang sering menyiksanya di luar batas kemanusiaan, belakangan menikah dengan seorang kiai yang berpengaruh, lengkap dengan seluruh keluarga besarnya.
Memang, duka nestapa Sazkia yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya seperti aktris Julia Roberts yang sering disakiti oleh suaminya yang dimainkan oleh Patrick Bergin di sebuah film tahun 1991. Di novel memoar ini, tidak terlalu detil diceritakan bagaimana sang suami telah membuatnya sakit lahir dan batin, namun tampak penderitaan itu membekas sebagai trauma. Pelajaran yang tak harus terjadi bagi seorang perempuan, makhluk lemah yang seharusnya dilindungi, telah membawa Sazkia pada hubungan intens antara dirinya dengan Sang Khalik. Mulai dari menggugat, mempertanyakan, sampai kemudian menyerahkan diri seutuhnya kepada kehendak-Nya.
Mungkin berkat kepasrahannya yang tulus kepada Yang Maha Mencipta atau barangkali karena perjuangannya yang keras tak kenal lelah, akhirnya Sazkia mencapai posisinya saat ini. Ketika ia menggugat cerai, itu pun tidak mudah. Banyak liku yang harus dijalani, namun karena memoar ini ingin lebih fokus pada temuan rasa cinta hakiki kepada Tuhan YME tidak diceritakan secara rinci. Singkat cerita, perceraian itu berhasil diselesaikan dengan hak perwalian terhadap anak-anak jatuh pada Sazkia.
Satu hal selesai, namun masalah lain menanti. Dari mana Sazkia dapat hidup dan menghidupi keluarga sebagai single parent? Nah, disinilah sebuah mujizat datang dan awal cerita dari novel memoar ini pun baru dimulai. Saat itu, jawaban Tuhan datang. Sazkia seperti melihat ada malaikat dimana-mana, yang kemudian menolongnya bangkit. Persahabatan menunjukkan makna yang terindah. Rezeki datang dari berbagai arah, sehingga yang ajaib, anak-anak bisa sekolah dengan baik. Keindahan pendar jingga telah menghiasi langit kehidupan Sazkia.
Sazkia ingin menikah lagi? Jelas keinginan itu ada dan Sazkia merasakan pada pernikahan yang kedua ini merupakan campur tangan Tuhan. Pada perkawinan ini, banyak yang harus ditinggalkan dari hobi Sazkia sehari-hari ketika memasuki keluarga yang baru. Pengorbanan Sazkia benar-benar terjadi.
Tanah Suci
Seluruh yang dibutuhkan secara materi tercapai kini, apa lagi yang masih tersisa dari harapannya? Sebagai perempuan beriman, Sazkia merindukan tanah yang jauh, yaitu Mekkah. Namun, selama hatinya masih memiliki rasa dendam, egoisme dan nafsu bersaing, perkenan Tuhan tak kunjung datang. Uang yang ditabung sudah memenuhi kecukupan biaya perjalanan rohani dialihkan untuk membangun sebuah rumah sesuai khayalannya. Kerinduannya menuju Kabah muncul lagi, tetapi pintu belum terbuka, karena suaminya keberatan. Lagi-lagi hidayah datang, niat berhaji disederhanakan dengan berumrah lebih dulu.
Tapi, benar inikah Tanah Arab itu, tanya Sazkia dalam hati (bab 9 Menjejak Bumi Impian halaman 49). Sazkia masih tak percaya telah menjejakkan kaki di sana, di bandar udara King Abdul Azis, Arab Saudi, meski masih berjarak ratusan kilo dari Mekkah dan Madinah. Apalagi bahasa yang digunakan oleh petugas penyambut rombongan itu adalah bahasa yang cukup akrab di telinga Sazkia: bahasa Indonesia. Dia baru benar-benar sadar telah berada di negeri Arab ketika melihat banyak sekali laki-laki berwajah Arab mengenakan jubah putih panjang.
Akhirnya, Sazkia sampai juga di tanah suci. Cinta kepada Allah bukan karena ingin tinggal di surga atau takut neraka, namun lebih pada hakikat cinta itu sendiri yang berarti menyerahkan jiwa rasa sepasrah-pasrahnya. Perjalanan spiritual Sazkia di novel ini sebenarnya tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan pengalaman orang lain yang begitu hebat misalnya pada buku Orang Jawa Naik Haji karya pengarang Danarto. Namun, walau sederhana, langkah yang dilakukan Sazkia merupakan keajaiban kecil yang membuat perubahan besar bagi jiwa dirinya.
Di atas Masjidil Haram, Sazkia menemukan warna langit jingga yang demikian indah pada salah satu kesempatan salat. Seolah menyampaikan keindahan iman seseorang yang telah saling berpeluk dengan Tuhan. Benar, Sazkia tidak lagi memandang masa lalunya sebagai monster yang menakutkan, melainkan sebuah pelajaran untuk menuju kebaikan. Dari titik itulah, Sazkia sadar bahwa ibadah haji dan umrah merupakan ibadah yang sarat dengan makna simbolik. Baginya, haji dan umrah tak sebatas pada pemahaman yang bersifat ritual teknis sebagaimana rukun dan syaratnya. Memahami makna sufistik di balik simbol-simbol yang terkandung di dalam pakaian ihram, miqat, tawaf, sai dan lain-lain akan menentukan mabrur atau makbul tidaknya haji maupun umrah seseorang.
Pada diri Sazkia kini muncul kesadaran baru terhadap hidup dan semua yang dimilikinya. Berbagai hal yang meliputi hidup (pangkat, jabatan, pasangan hidup, anak dan harta benda) baginya tak lain adalah mandat Allah yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Hidup bukanlah sebuah buku yang mudah diterka dan diketahui hasil akhirnya. Hidup hanya harus dijalani dengan keimanan dan budi pekerti, sebagaimana halnya tawaf dalam berhaji atau berumrah. Itulah yang dikisahkan dalam buku setebal 170 halaman ini: pergulatan hidup seorang perempuan Sazkia dan liku-likunya menggapai impian menuju tanah yang jauh, Mekkah yang penuh berkah.
Satu hal yang patut dicontoh dari Sazkia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, dia tak henti memperjuangkan diri, hati dan keimanannya dengan caranya dan ikhlas menerima dan menjalani takdir kehidupan yang disodorkan Tuhan untuknya. Cekak aos: buku ini merupakan pengakuan paling jujur dari seorang perempuan, seorang isteri kiai, yang notabene juga merupakan memoar dari seorang penulis dan wartawati yang penulis kenal, yaitu Naimah Herawati Hizboel.
Peresensi: Ipik Tanoyo
Judul buku : Pendar Jingga di Langit Kabah
Penulis : Naimah Herawati Hizboel
Penerbit : Langit Kata
Tebal : 170 halaman
Cetakan I : April, 2010