Pergulatan Identitas Jhumpa Lahiri

Feby Indirani
ruangbaca.com

“Dari mana asalmu?”
Jhumpa Lahiri selalu bingung bila beroleh pertanyaan serupa itu. Penanya biasanya takkan puas bila Lahiri menyatakan dirinya sebagai orang Rhodes Island, Amerika, tempat dia dibesarkan, atau London, Inggris, tempat dia dilahirkan. Pertanyaan biasanya berlanjut karena namanya yang “asing”, kulitnya yang coklat, dan ciri-ciri fisiknya yang khas kaukasoid. Tapi bila Lahiri menjawab dari India, ia sendiri merasa jawaban itu tak tepat.

Ia sering mengunjungi Calcutta kota kelahiran kedua orangtuanya, tapi lebih merasa sebagai turis ketimbang orang yang pulang. Singkatan American Born Confused Desi (ABCD)”desi berarti orang India” ini diciptakan oleh orang-orang yang tetap tinggal di India untuk orang-orang India generasi kedua yang tumbuh di Amerika. Itulah yang dialami Lahiri. Ayah dan ibunya menetap di Amerika sejak 1969, dua tahun sejak Lahiri lahir.

Namun ada kehendak kuat untuk selalu membentengi rumah itu agar infiltrasi budaya Amerika tak sampai masuk. Tumbuh dewasa, Lahiri selalu diingatkan untuk tidak “berperilaku” sebagai orang Amerika. Bahwa ia tak boleh lupa dirinya adalah seorang India. “Mengaku sebagai orang Amerika membuat saya merasa telah mengkhianati orang tua saya,” tuturnya. Padahal di saat yang sama lingkungan pergaulannya mengharapkannya menjadi Amerika.

Keresahan dan keterombang-ambingan Lahiri akan persoalan identitas inilah yang menjadi mata air inspirasi untuk sembilan cerpennya dalam antologi Interpreters of Maladies, 2000 (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penafsir Kepedihan oleh Akubaca, 2003). Buku pertamanya ini kemudian meraih penghargaan Pulitzer 2000, Pemenang PEN /Hemingway Award, dan pemenang New Yorker Prize untuk karya pertama terbaik.

New Yorker pun meletakkan Lahiri pada jajaran 20 penulis terbaik berusia di bawah 40 tahun. Lahiri adalah contoh penulis yang juga serius menekuni pendidikan formal. Setelah meraih gelar BA untuk Sastra Inggris dari Barnard College, ia meraih gelar Master of Art dari Boston University untuk tiga bidang: Bahasa Inggris, penulisan kreatif, dan studi perbandingan dalam kesusasteraan dan seni.

Di universitas yang sama ia meraih gelar Ph.D. untuk studi Renaissance. Setiap cerpennya memiliki kaitan dengan berbagai aspek India dengan satu atau lain cara. Beberapa di antaranya berlatar India, beberapa lagi mengangkat kehidupan orang India sebagai imigran di Amerika. Secara keseluruhan ceritanya selalu bertutur tentang generasi kedua India-Amerika, seperti dirinya. Lahiri adalah seorang pencerita yang cermat pada detail.

Dia tidak pernah memotret peristiwa-peristiwa besar, tapi memusatkan perhatiannya pada episode kecil dari kehidupan. “Mungkin karena begitulah cara saya mendekati kehidupan, dan berpikir tentang kehidupan,” katanya. Ia selalu mengangkat kisah-kisah keseharian dari orang-orang “biasa” namun dengan kepekaannya yang luar biasa. Pada cerpen Interpreter of Maladies :cerpen yang dijadikan judul sekaligus terpanjang dalam antologi ini” tokohnya adalah Mr Kaspia seorang supir untuk turis di kawasan Konarak, India.

Ia mempunyai pekerjaan lain, penerjemah bagi dokter di sebuah klinik. Sang dokter tak memahami bahasa Gujarat yang dipakai masyarakat setempat. Kaspia kemudian memaknai pekerjaannya “menerjemahkan berbagai keluhan yang diderita para pasien” sebagai menafsirkan kepedihan. Ketika Kaspia bertugas mengantar Tuan-Nyonya Das sekeluarga berdarmawisata, Kaspia dan Nyonya Das saling mengirim sinyal ketertarikan.

Cerpen lainnya, A Temporary Matters mengangkat kisah suami istri India yang hidup di Boston. Relasi Shukumar-Shoba sedang berada di titik nadir pasca kematian bayi mereka dalam persalinan. Mereka tak lagi bercakap-cakap sebagai pasangan yang saling mengasihi, semua hanya dilakukan sebagai rutinitas dua orang yang terlanjur tinggal bersama.

Sampai satu saat listrik di kawasan rumah mereka akan mati setiap satu jam sehari selama lima hari. Waktu satu jam dalam kegelapan inilah yang membawa mereka kembali berbincang, menuntun mereka saling membongkar berbagai rahasia dan akhirnya kembali bercinta dengan bergairah. Namun setelah masa mati lampu itu selesai, Shoba menyatakan kehendaknya untuk berpisah.

Dalam kegamangan, Shukumar kemudian mengungkapkan rahasia yang telah ditutupnya rapat dari sang istri, yaitu jenis kelamin anak mereka yang meninggal itu. Antologi ini diterjemahkan ke dalam 29 bahasa dan menjadi international best seller. Meskipun menerima banyak pujian dan penghargaan, Lahiri juga menerima banyak kritik, terutama dari negeri asalnya sendiri.

Ia misalnya dituduh sengaja menampilkan latar India semata-mata untuk menyuguhkan eksotika bagi dunia Barat. Menanggapi itu ia menyatakan dalam tulisan penutupnya pada Intrepreter of Maladies bahwa “Sayalah orang pertama yang akan mengakui bahwa pengetahuan saya tentang India sangat terbatas.”

Saya terbatasi tidak hanya oleh kurangnya kedekatan, namun juga oleh kenyataan bahwa kesan orang tua saya sebagai sumber utama saya ketika menulis tentang India -mandeg dalam waktu. Namun tetap saja terjemahan saya atas India telah membangkitkan bagi sejumlah pembaca hari ini, bayang-bayang tentang akulturasi kultural dan resonansi. Setelah debut pertamanya yang bertabur penghargaan, Lahiri kemudian menulis novel pertamanya The Namesake.

Novel ini tetap mengambil tema besar persoalan identitas. The Namesake mengisahkan pasangan asal Calcutta, India, yang pindah ke Cambrigde, Amerika. “Aku selalu memiliki persoalan menyandang nama yang tak biasa, aku mengalami bagaimana kesulitan seseorang tumbuh besar dengan nama yang dianggap asing bagi lingkungan sekitarnya,” demikian tutur Lahiri melalui wawancara mengenai bukunya.

Tapi kemudian ia mulai berpikir betapa nama kemudian berbicara banyak mengenai siapa diri kita dan sejarah asal usul kita. Perenungan akan gagasan itulah yang kemudian melahirkan The Namesake. Sambutan publik terhadap karya keduanya tak semeriah pada debutnya, meskipun buku ini sempat berada pada jajaran buku best seller di The New York Times selama beberapa minggu.

Namun hal ini tak terlalu mengganggunya. “Aku tidak pernah menulis untuk siapapun kecuali diriku sendiri,” begitu kata Lahiri. “Tak peduli yang orang-orang katakan atau harapkan, pada akhirnya mereka tak akan ikut menulis bersamaku.”
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *