Donny Anggoro *
nasional.kompas.com
Dalam lingkup pergaulan metropolis yang riuh tiba-tiba ada “kesepakatan” bahwa tema sebagian besar karya sastra baru jadi memusat dalam setting yang nyaris sama, yaitu kota sehingga ia tak penting lagi berasal dari suatu negara. Imam Muhtarom dalam esainya Kasus Sastra Amerika Latin (Kompas, 9 April 2006) menulis Amerika Latin, negeri yang menjadi komoditas budaya lewat karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Carlos Fuentes, dan lain-lain (termasuk ke Indonesia) tak lagi booming realisme magis. Imam lalu mengemukakan pernyataan: jika arus global tak terbendung dengan menjadi serba metropolis, bisakah muncul estetika baru atau hanya sampah?
Kasus sastra Amerika Latin yang kini juga menjadi sastra kota sesungguhnya relevan pula pada perkembangan sastra di mana pun, juga di Indonesia. Booming chick-lit dan teen-lit, misalnya, juga tema sastra seks dan Islami yang menggejala setelah diawali dengan estetika sastra koran yang mengetengahkan tema-tema sosial seperti kemiskinan adalah ciri sastra kota Indonesia seperti halnya di Amerika Latin, Jepang, India, juga Indonesia yang sudah tak lagi membicarakan penindasan yang terhimpit dalam budaya tradisinya.
Sastra adalah dunia imajinasi. Tak ada karya sastra paling imajiner yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, bahkan tiada sangkut pautnya dengan individu atau kalangan tertentu seperti perkataan Adolfo Sanchez Vasquez “sastra lahir dalam ke-kini-an dan ke-di sini-an yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973). Memang Vasquez dalam buku tersebut menuliskan pandangannya dari kacamata Marxisme. Tapi dari pendapat Vasquez ada satu hal yang sulit ditolak: karya sastra tak mungkin lahir dari ruang kosong.
Tantangan kreatif yang dilontarkan Imam Muhtarom sejatinya bisa hadir dalam bentuk lain, tentu saja dengan kegelisahan sesuai konteksnya, sehingga latar cerita yaitu kota sebenarnya bukan masalah. Bukankah cerita tetap ditulis selama manusia masih hidup? Masalahnya, ketika sastra kita tengah bergerak menyesuaikan dengan tanda zaman dalam pergaulan metropolis, kebanyakan baru merekam gejala dan problem sosial pada permukaan.
Amerika sendiri yang menjadi pusat globalisasi ternyata masih cukup banyak melahirkan karya kuat dalam keriuhan metropolis seperti novel Chuck Palahniuk, esai-esai David Sedaris, atau kegamangan budaya Indian-Amerika dalam cerita Sherman Alexie. Karya Palahniuk seperti Fight Club adalah sisi gelap seorang manusia kota yang terasing sehingga menanggalkan kemanusiaannya sendiri. Dari generasi tertua ada J.D. Sallinger yang menampilkan kegundahan remaja Holden Caulfield. Sedangkan karena Amerika sudah menjadi melting pot-meleburnya berbagai budaya- “gegar budaya” menjadi topik menarik dalam sastranya. Misalnya karya Sherman Alexie yang mengetengahkan pergulatan manusia Indian di kota besar dengan kompleksitas sosialnya. Sedangkan dari chick-lit-nya mampu menyentuh ke dalam sisi pergaulan metropolis yang kadang “memaksa” orang untuk bertindak bukan sebagai dirinya sendiri seperti terbaca dalam karya Sophie Kinsella.
Sebenarnya karya sastra Indonesia dengan setting metropolis cukup banyak ‘menemukan kemungkinan tak dikatakan’ -meminjam istilah Raman Selden. Ketika seks menjadi booming, perdebatan yang muncul rata-rata karena bahasa yang vulgar. Tapi ini sulit ditampik lantaran karena sudah terlalu lama seks masih dianggap tabu, hanya bahasan seks yang vulgar saja kebanyakan dilakukan penulisnya. Sastra kota sendiri menjadi sulit mendapat perhatian karena tak mengangkat tema lokal-kedaerahan (kurang membumi) atau karena temanya kebanyakan melulu tentang jatuh cinta dari khasanah novel fiksi pop.
Begitu pula aspek religi dalam novel Islami kebanyakan menjadi dakwah, pun cerpen-novel penulis “sastra koran” yang kurang menawarkan kedalaman sehingga baru berhasil pada tataran ide yang melorot dalam penyelesaian. Tapi ini bukan sepenuhnya salah mereka. Karena ruang cerpen koran lebih menjanjikan, penulis dari kalangan ini konsentrasinya terpusat pada estetika cerpen koran, bukan novel yang lebih banyak memberi ruang.
Akibatnya bagi tipe pembaca yang teliti selain mendapatkan kepuasan dari karya asing atau terjemahan, untuk karya lokal terpaksa kembali pada karya pengarang lama macam Umar Kayam dalam Secangkir Kopi dan Sepotong Donat atau Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Umar Nur Zain dengan Rissa (setelah sebelumnya diawali dengan serial Ny.Cemplon sebagai sketsa sosial), Iwan Simatupang dengan Kooong, Seno Gumira Adjidarma dengan Jazz, Parfum, dan Insiden, dan lain-lain. Jangan lupa, Pramoedya Ananta Toer juga pernah menulis sastra kota Jakarta dalam novel tipisnya, Korupsi (1957). Begitu pula beberapa cerpen Martin Aleida atau T.I. Thamrin yang galibnya bukan nama baru setelah bisa muncul belakangan akibat peristiwa politik yang sekian lama mengekangnya. Sedangkan dari khasanah Islami yang beranjak pada sufistik, lagi-lagi kita masih dipuaskan oleh karya Kuntowijoyo atau Danarto.
Setelah perdebatan vulgar tidaknya karya sastra seks, didukung dengan malasnya para pemawas sastra kita (untuk mencoba mencari kekuatan teks atau baru tergerak jika ada karya sastra yang temanya kedaerahan), jadi hanya sosok biografis pengarang saja lebih banyak diangkat. Sosok pengarang malah jadi “hebat” karena atributnya (salah satunya dari kalangan selebritas) sehingga banyak pula karya sastra kota terluputkan. Akibatnya, meski tidak salah selebritas menulis, mereka sudah mendapat cibiran sinis terlebih dulu lantaran publikasi di media massa cukup besar.
Tapi, di kota besar ranah fantasi nampaknya memberi sinyal akan tumbuh setelah chick-lit dan teen-lit yang mulai jenuh. Teknologi informasi dengan banyak diterbitkannya karya fantasi impor juga demam blogger- menulis jurnal di Internet dengan blogspot- sadar tak sadar memengaruhi dunia literer kita yang pada masa kini sedikit menjadi ciri sastra kota. Memang kota tak lagi menjadi tema, namun karya-karya fantasi itu ditulis orang-orang kota. Semisal diterbitkannya Pinissi Mama Piyo, Ledgard WD Yoga atau The Corruptor karya Stanley Timotius Kurnia (yang ditulis dengan bahasa Inggris), dan lainnya karya penulis belia yang justru lepas dari sejarah lama sastra kita.
Sastra kota di Indonesia juga di negara lain walau jadi terpusat dalam setting yang seragam sebenarnya masih menyisakan banyak tempat. Keberagaman daerah Indonesia dengan menjadikan sosok manusia urban di kota adalah potensi besar yang masih bisa digali. Jakarta seperti halnya New York dan kota metropolitan lainnya juga adalah melting pot. Sayang, tempat itu lebih banyak diisi oleh karya kualitas “potret bergaya Polaroid” atau karya yang klise sehingga masalah yang dikemukakan adalah problem jatuh cinta.
Karya sastra kota kita sendiri akan sulit bernyali (jangankan nyali internasional akibat kendala bahasa selain hanya sedikit yang menerjemahkan sastra kita ke bahasa Inggris) jika alur, kedalaman, dan permenungan saja nyatanya masih menjadi problem kebanyakan dalam penulisan sastra kita.
Rawamangun, April 2006
*) Eseis, tinggal di Jakarta.