TANDA ATAU KATA? (Studi Tentang Puisi)

Nu?man ?Zeuz? Anggara*
http://terpelanting.wordpress.com/

Membaca puisi adalah memahami bukan membahasakannya. Memahami berarti meleburkan makna menjadi luluh mencair ke dalam lapisan yang lebih dalam dari ego seorang pembaca, menegaskan imaji-imaji menjadi substansi dengan aspek privat. Narasi yang mengabsorbsi dan penolakan ditiadakan, konsekwensi arus kesadaran yang bekerja saat logika dan pheneumenon bertukar tempat, arus resiprokal penafsiran dengan aspek imanen teks tetap terjaga keberdiriannya. Membahasakan berarti menggumpalkan makna ke dalam aras leksikal lewat pengandaian-pengandaian fungsi komunikatif dan segala tuntutan yang mungkin. Membariskan makna ke dalam logika diagramatis lalu mencari kesesuaian pragmatika kontekstual, sistem, dan analogi. Dengan kata lain; memahami adalah ilusi, sedangkan membahasakan adalah konspirasi. Lalu di mana kebenaran puitik?

Menjumbuhkan makna pada kata sama dengan mengasingkannya. Tetapi itu tak terhindarkan dalam kesibukan-kesibukan sastrawi. Strukturalisme Levi-Strauss mengatakan, hanya musik dan mitos yang mempunyai substansi murni. Lalu Oktavio Paz mengasosiasikan puisi dengan musik, dan langkah selanjutnya bahasa dengan mitos. Menyusun kembali indeks-indeks substantif kebudayaan sesuai dengan perkembangan mitologi yang lebih kontemporer dan adaptif terhadap variasi teoritik.

Tetapi puisi dalam kondisi di luar garis lingkaran mitos pembacaannya berbeda sekali, terlebih jika puisi mengada pada situasi yang lebih aktual. Disinilah konvergensi tanda atau konsistensi bahasa menjadi pilihan, karena yang satu berurusan dengan lingkup positivistik (bukan dalam pemahaman epistemologis tetapi ontologis) dan yang lain mengandaikan sejarah. Yang satu berada pada ruang-waktu intrinsik dalam dirinya dan satunya lagi memiliki perwujudan yang bergantung pada rentetan teks. Perbedaan partikularitas dengan kesenyawaan.

Dalam pengertian semiotik mungkin tidak menjadi masalah jika melihat tanda sebagai entitas yang tersusun dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Tetapi tanda dalam lingkar puitik, faktorisasi tanda menjadi semacam diagram makna yang linear bisa merontokkan arti penting puisi. Tanda dalam llingkar puitik, untuk menghindari term lingkar hermeneutik, mewujud hanya pada durasi sang pembaca. Dengan kondisi ini, hampir dipastikan kritik sastra adalah tidak mungkin. Tetapi kritik sastra ada, sehingga muncul pertanyaan: dari manakah tanda itu dapat disublimasikan menjadi logika pembacaan?

Inilah kontradiksi yang selalu ada dalam filsafat analitik model permainan bahasa. Fungsi makna yang ingin dikomunikasikan sejatinya tidak menggambarkan citra obyek seperti dibayangkan penutur namun memiliki nilai pragmatis. Di sini perbedaan puisi dengan bentuk komunikasi lainnya, karena ia hanya dapat dipahami namun tak dapat dibahasakan. Menjadi wajar jika ia dipararelkan dengan musik dan mitos.

Kata, merupakan elemen bahasa dengan kelenturan noetik dalam sajak tidak cukup mampu membendung kontradiksi-kontradiksi ini. Kata tidak memiliki lubang hitam seperti tanda untuk melenyapkan makna, karena ia bergantung pada medan semantik yang menjadi sandarannya. Sifatnya yang selalu menjadi simpulan dari obyek membutuhkan petak sesuai dengan sisi praktis yang terkandung dalam kapasitas pemaknaannya. Ketergantungannya mutlak. Setiap gerakannya dikendalikan tekstur komposisi tanpa bisa memecahkan hubungan yang selalu melengkapinya. Kelenturan yang diciptakan oleh struktur senyampang dengan takdir bahasa an sich. Ketetapan kosmologis yang menjadi jaringnya tidak mengizinkan lepas dari orbit pemaknaannya dimana kata beredar. Subordinasi tanda atas kata, atau dapat kita katakan universalitas hipotetik tanda, setidak-tidaknya merepresentasikan bahwa tanda memiliki jangkauan yang lebih prismatik dan menyebar jauh melebihi kata. Studi ilmiah tentang tanda cenderung mengeliminasi fungsi tanda sebagai bentuk yang kurang mengejawantah, memiliki tendensi untuk mereposisikan tanda menjadi semacam representasi kongkrit seperti kata, bunyi, virtualiatas dan berbagai konstruk semiotis lain. Tanda lebih bermakna bebas melampaui sistematisasi yang dipermudah untuk pengamatan-pengamatan determinisme-silogistik. Klasifikasi yang diberikan analisis semiotik menghanguskan arti dasar (mise au pase) tanda sebagai transfigurasi perennial yang mengasalkan keberadaannya dari cerukk keserbamungkinan semesta. Fantasi keinginan yang khas tentang ?asal-usul benda? berdasarkan filologi dongengan (Malcolm Bowie, 2004).

Kita disini sedang membatasi pada masalah kebenaran puitik, antara kata dan tanda. Konsentrasi penyair terhadap kata menjadi sesuatu yang berbahaya dan merendahkan kapasitas mitos sebagai inti puisi. Puisi-puisi besar tidak muncul dari sekedar permainan semantik atas realitas lewat kesenggangan, kadang kesederhanaan (parsimoni) yang muncul dari konstruk puisi-puisi epik dan tragedi namun menyiratkan sesuatu yang melompati sekaligus menghidupkan masanya. Ini semacam penggunaan mitos dan semangat zaman yang dipadatkan menjadi sebaran tanda yang penuangannya pada kata hanya instrumental dan arbritrer. Puisi bukan simulasi linguistik saat hasrat bermain-main leksikon yang hanya cocok untuk mengisi teka-teki untuk pembelajaran pada awal fase verbal individu. Jika titik berat jiwa puisi adalah kata dan pencitraan fantasi maka kebaruan kreasi puitik sejatinya tidak ada disana. Karena kata dan pencitraan berbeda dengan kemunculan puisi yang merupakan penguraian tanda menjadi rangkaian ilusi kongkrit karena tanda di sana membentuk keyakinan baru akan adanya lapisan makna paling samar, mendekati ketiadaan makna. Bukan keliaran yang menggusur kesadaran yang dibarukan dan menggantikannya dengan negasi yang tertuang melalui kegenitan spekulasi cara bertutur, yang jika dilihat kembali lebih mirip gejala aphasia daripada ketajaman melihat makna yang-Ada (Erfragte).

Kecurigaan berlebihan terhadap peran filsafat dalam memunculkan diskursus di ruang-ruang persepsi bisa dipahami sebagai lunturnya tradisi refleksi dalam kesusastraan. Usaha mengeksplorasi tanda telah diambil posisinya oleh produksi kata yang tidak bermakna apa-apa. Hanya sentilan-sentilan kecil emosi yang didapat jika puisi meninggalkan kebutuhan kontemplasi atas radikalitas tanda. Kompromi atas pembedaan antara aspek eskatologis dan kecarut-marutan fantasi akan menghancurkan iluminasi puitik yang saat ini makin meredup.

Mengembalikan pemahaman akan tanda dalam metode-metode arkhaik sebagaimana dipraktekkan dalam simbol-simbol pagan lebih bisa dibayangkan mampu menghidupkan aura tanda dibanding konstruk narasi penyair yang membariskan kata untuk pemaknaan yang sia-sia. Perlunya untuk mengambil kembali ide yang oleh Heidegger dirumuskan sebagai: ?analisis tematik secara ontologis dari alam (Gemut)?. Tentu saja puisi tidak cukup untuk bersikap seperti itu, melainkan mencari kematiannya yang krusial kemudian membangkitkannya berkali-kali.

*) Seorang gitaris handal. Saat ini terlibat dalam pengasuhan sebuah pondok pesantren di Jombang.

Leave a Reply

Bahasa ยป