M.D. Atmaja
Sepulang kerja, Dhimas Gathuk telah menemui Kangmas-nya yang sering berpetualang tidak jelas arah. Saudara tua yang sangat jarang sekali dapat dia temui walau mereka berada di satu rumah. Ini karena Kangmas Gothak lebih sering menjelajah kehidupan dan menemukan pemahaman ketimbang duduk manis di tempat enak dan menikmati dunia. Kangmas Gothak telah menjadi pengembara semenjak mereka masih kecil, semenjak kedua orang tuanya masih ada. Diketika dia menjadi Bapak, Ibu, dan juga seorang Kakang, Kangmas Gothak menyembunyikan hasrat untuk berjelajah. Dia merawat adiknya, sampai dirasa cukup mampu mengurus diri lalu pergi. Yah, seperti sekarang, ketika adiknya sudah mampu menjadi lelaki dewasa, mereka berdua jarang dapat bertemu dalam tatapan mata
Di sore ini, pukul empat ketika Dhimas Gathuk sehabis pulang kerja setelah mengais nafkah di STS Sinar Terang, anak dari PMPN dia menemukan saudara tua sedang berada di pinggi kolam ikan sambil merokok dan makan telo godhok, ketela rebus. Dhimas Gathuk langsung menghampiri dengan mata berbinar yang telah dipenuhi kerinduan. Secepat kilat sampai berada di belakang Kakangnya, lalu berdiam sebentar memasang tabir yang sewajarnya.
?Bawa pulang apa, Kang?? tanya Dhimas Gathuk dengan biasa, hanya senyuman kecil yang dia suguhkan.
?Lha, kalau pulang apa pernah bawa-bawa untukmu, Dhi??
?Punya Kakang seorang pengelana setidaknya setiap kali pulang, membawa oleh-oleh untuk Dhimas, Kang.?
Kangmas Gothak menggelengkan kepala dalam senyuman. Dia membelai rambut adiknya. Wajah yang dahulu begitu polos dan jenaka telah berubah seiring dengan waktu yang berlalu. Kangmas Gothak menyaksikan kalau adiknya bukan lagi lelaki kecil manja. Akantetapi telah menjadi lelaki dewasa yang siap menempuhi hidup. Dia sangat mengenal bagaimana selama ini Dhimas Gathuk menggembleng diri, menyepuhkan jiwa dengan renungan akan rasa kalbu yang dalam. ?Laku hidup perihatin itu telah terjalani dengan baik.? Ucap Kangmas Gothak di dalam hati.
?Bagaimana pekerjaanmu, Dhi?? tanya Kangmas Gothak menghadirkan kasih sayang yang dalam.
?Biasa saja, Kang. Rutinitas yang masih tak jalani dengan tanggung jawabku dan niat untuk berbakti pada masyarakat.?
?Bapak dan Simbok pasti bangga, Dhi.?
Dhimas Gathuk tersenyum kecut sambil melayangkan pandangan ke permukaan kolam yang keruh. Dia memandangi perjalanan hidup yang telah ditempuhi dengan sebaik-baiknya. Setidaknya, sebaik-baik penempuhan dalam ukuran Dhimas Gathuk.
?Hidupmu sudah mapan, Dhi. Kapan kamu berniat untuk menjalankan sunnah yang lain??
?Ah, sunnah apa, Kang??
?Membangun keluargamu sendiri. Menjadi seorang lelaki yang benar-benar utuh, Dhi.?
?Lha, Ya Kakang dulu yang menikah baru nanti Dhimas menyusul.?
?Aku belum memiliki niat, Dhi.? Sahut Kangmas Gothak dalam senyuman kecil dengan masih membelai rambut adiknya yang bukan kanak-kanak lagi.
Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Belaian Kangmas Gathok melembutkan hati yang semenjak tadi siang menyimpan batu yang setiap menitnya bertambah panas. Batu itu perlahan-lahan meleleh seperti bongkahan es yang terpancari kehangatan.
?Kang!? panggil Dhimas gathuk menahan sesak di dalam dada yang mendesak bulir air mata bening namun tidak tertumpah. ?Tadi, di tempatku bekerja, aku mendapatkan teguran, Kang. Gara-gara aku merokok bersama orang-orang. Di dapur. Tempat biasa merokok. Aku didakwa tidak pernah berdoa, Kang. Aku sakit hati!?
?Nah, kenapa bisa begitu, Dhi??
?Hanya karena merokok itu. Orang yang sebenarnya bukan pimpinanku, mendakwaku bengis. Seolah dia menjadi manusia terbaik di sana. Menjalankan sendi-sendi agama dengan baik.?
?Itu bukaan dakwaan, Dhi! Coba untuk melihat dari sisi yang lain. Bahwa Gusti Pangeran itu masih mencintaimu, Dhi. Melalui tangan orang lain yang menegurmu untuk lebih baik lagi dalam menjalankan agama. Menjalankan sendi-sendirnya agar agama yang ada di dalam batin dan hidupmu dapat terjaga dan menjagamu.? Ucap Kangmas Gothak dengan tetap membelai rambut adiknya. ?Jangan berprasangka buruk pada orang lain. Apalagi masalah agama. Itu hanya akan merugikan dirimu sendiri, Dhi. Ingat wejangan Bapak dahulu, kalau kelapangan dada dalam menerima setiap babak kehidupan memberikan manfaat yang lebih banyak daripada menyempitkan diri.?
?Adikmu ini masih ingat, Kang!?
?Nah, lalu kenapa kamu mempermasalahkan rasa cinta Gusti Pangeran yang melalui perantara orang lain itu??
?Caranya, Kang! Caranya memberikan masukan dan mengingatkan yang tidak aku senangi. Aku hanya merokok, didakwa berbuat madat. Bukan kah Nabi tidak pernah melarang seseorang untuk merokok, Kang. Agama tidak mengharamkan itu!?
?Owalah, Dhi. Kadang, Gusti Pangeran mengingatkan kita dengan cara yang tidak berkenan. Ya, tetap musti kita terima dengan dada yang lapang. Cinta itu kompleks, Dhi. Berwujud apa pun yang hakekatnya membawa pada kebaikan. Seperti dahulu yang pernah Bapak lakukan, aku masih ingat bagaimana Bapak memaki dengan asu, kirik, bajingan, saat aku berbuat salah. Itu bukan karena Bapak tidak mencintaiku. Justru, karena cinta yang membuat Bapak melakukan itu.?
?Berbeda, Kang,?
?Yah, pasti berbeda, Dhi!? sahut Kangmas Gothak sampai adiknya tidak bisa menyelesaikan perkataannya. ?Hanya saja kadangkala, di dunia kita yang sungguh masih muda ini, Dhi, banyak orang yang sudah merasa dirinya baik. Merasa di jalan yang benar, lalu merasa dirinya telah mampu menjadi wakil Gusti Pangeran. Merasa dirinya benar itu sudah suatu kesalahan.?
?Mungkin karena dia, Pak La-Nang itu sudah menjalankan sendir agama dengan sebaik-baiknya, Kang. Bahwa amal ibadahnya sudah cukup banyak.?
Kangmas Gothak tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. ?Semakin orang memahami, semakin orang akan mengerti dan berendah diri. Amal ibadah tidak sama dengan kekayaan yang bisa dihitung-gitung, Dhi.?
?Kan mungkin saja seperti itu, Kang!?
?keutamaan dalam menjalani kehidupan ada pada ketulusan niat. Itu ada di dalam hati, sedangkan Gusti Pangeran begitu pandai membolak-balikkan hati manusia.?
?Ah, kamu, Kang!? sahut Dhimas Gathuk yang kemudian menyandarkan kepala di atas bahu Kakangnya.
?Niat dan pengertian itu hal yang menjadi utama, Dhi. Aku menjadi teringat wejangan Bapak dahulu, Dhi, bahwa Gusti Pangeran berfirman: Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan*. Jangan pernah menghitung-hitung amal kebaikan kita. Langkah yang paling baik, seperti yang Bapak pernah wejangkan dahulu, bahwa kita musti menggelar dada selebar-lebarnya, entar untuk tumpahnya darah atau untuk harum bunga yang selalu ingin kamu cium.?
?Kang, ajak aku pergi!?
?Kamu musti ada di sini, Dhi!?
?Aku ingin bersamamu, Kang!?
?Kamu harus ada di sini.?
?Ya sudah kalau begitu, Kang. Aku akan tetap tinggal di rumah. Menjaga sawah. Menjaga halaman. Menantikanmu, Kang, membawa pengertian yang lain.? Dhimas Gathuk mengangkat kepalanya. ?Sekalian menegakkan Tiang agama dalam sujudnya yang semakin rendah. Agar tidak didakwa lagi. Masalah sujud. Masalah shalat untuk manfaat!?
Kangmas Gotak tersenyum, lalu dia melafalkan sebuah bait-bait yang seirama: ?Orang2 yang mengaku telah mencapai ma?rifat; ternyata mudah melaknat; tanpa lebih dulu melihat; atau memberikan kesempatan pendosa untuk bertobat; ternyata mereka belum menggapai hakekat; kalau urusan shalat; sebenarnya pribadi di dalam sifat; untuk mencapai manfaat?? Kangmas Gothak melanjutkan, ?Mereka yang berpura-pura telah ma?rifat; di dalam shalat; ria diri dan akhirnya terlambat; sadar bahwa shalat mereka demi martabat; untuk bisa menjabat; di dalam sempitnya nikmat; seperti onani yang memuaskan syahwat; yang akhirnya tersesat; di jalan lurus yang tak mereka lihat? Kangmas Gothak menarik nafas dan kembali melanjutkan, ?semalam Kakang Semar di dalam hening menitip nasehat; bahwa rasa shalat diikhlaskan di dalam niat; sebelum dijalankan dalam rakaat; untuk Gusti Allah yang maha melihat; hati manusia yang dibolak-balikkan tanpa terlihat; agar, penegakkan dari shalat; tulus sujud untuk Sang Hakekat.?
*) QS. Al Furqan: 23
Bantul ? Studio Semangat Desa Sejahtera
Kamis, 22 Juli 2010