UDA DAN DARA

Usman Awang
(Diindonesiakan dan diberi anotasi oleh Maman S. Mahayana)

Bulan baru mengambang.

Awan larat menabiri langit dengan bentuk-bentuk yang berupa manusia, binatang kuda, pulau-pulau dan gunung-gunung, sangatlah indah kelihatannya. Malah bertambah indah bila cahaya perak menyapu sekeliling bulan yang begitu rupawan tersenyum melimpahkan sinarnya itu.

Di sebuah halaman kelihatan ramai anak-anak muda sedang belajar ilmu silat, seni pusaka yang tak usang-usang, tari pahlawan kebanggaan nenek moyang. Dari rumah-rumah di kampung yang damai bahagia itu kelihatanlah cahaya dari pelita dan lampu yang keluar mencuri-curi menembus dinding dan pintu yang masih terbuka.

Angin bernyanyi dengan lagu sunyinya dan daun-daun yang dibelainya melenggak-lenggok mengeluarkan desiran meningkah lagu malam. Dan sekali-sekali terdengarlah gelak berderai dari anak-anak muda yang sedang belajar ilmu silat manakala salah seorang dari mereka yang sedang mengadukan kemahiran dan kepintarannya itu dapat ditumbangkan atau jatuh terpelanting oleh tendangan yang bagaikan kilat cepatnya.

Seorang tua yang lampai, tetapi kelihatan segak, tenang dalam geraknya, berhati-hati dalam langkahnya, berdiri berpeluk tubuh memandang tingkah dan langkah anak-anak muda yang ramai itu. Itulah tuan guru silat mereka, putih sudah rambut di kepala, tetapi dari matanya terpancar kekuatan batin serta keteguhan hatinya.

“Sabas, Uda! Perkiraanku memang sesuai dengan gerak tanganmu; kau anak yang pantas cergas, arif lagi bijaksana,” demikian tuan guru itu berkata, ditujukan kepada Uda yang telah menjatuhkan lawannya.

“Terima kasih, Pak Guru. Bukan hamba yang pantas cergas, Pak Gurulah yang pintar mengajar kami,” ujar Uda pula, memulangkan pujian gurunya.

“Dengarlah anak-anakku sekalian, hampir selesai segala pengajaran. Falsafah silat selalu mengajarkan, anak-anakku harus menyimpan kesabaran. Ilmu silat bukan untuk menyerang, tetapi hanya untuk bertahan. Sekali musuh datang menyerang, sabarkan hati jangan menentang. Pertama kali kita diserang, dayakan juga menyabarkan hati lawan.”

Demikian tuan guru berkata, mengajarkan ilmu dan petuah, didengar oleh murid-muridnya dengan ragu dan duka, sebab apalah artinya ilmu yang dipelajari selama ini kalau diri mengelak-elak bila musuh datang menyerang. Guru yang sudah tua itu, banyak pengalaman dan akal bicara, arif dengan tingkah ini, lalu berkata:

“Tetapi anak-anakku, kalau sampai tiga kali lawan masih menyerang juga, bertahanlah! Belalah diri. Apa boleh buat, lawan tak hendak diajak damai. Pepatah kita mengatakan: musuh dicari jangan, berjumpa pantang dielakkan?”

Maka berserilah wajah anak-anak muda itu mendengar petuah guru, melawan musuh yang datang, bertahan bila diserang!

Uda yang semenjak tadi tenang mendengarkan, lalu bertanya memohon jawaban. “Pak Guru yang bijaksana, mohon juga saya bertanya: kalau lawan memegang senjata, senjata tajam yang dapat membunuh kita, tetap bertahan sajakah dengan tangan kosong?”

Tersenyum senang tuan guru mendengar perkataan Uda. Lalu dijawabnya: “Seorang pendekar kesatria, tidak mencoba bermain senjata. Hanya orang yang tidak yakin, belum percaya akan kekuatan diri sajalah yang memakai senjata.”

Bulan yang indah mulai dihalangi awan. Khawatir jika hujan, lagi pula malam sudah agak mulai larut, maka berkatalah tuan guru, “Malam sudah mulai larut anak-anakku. Pulanglah, esok kamu semua akan ke sawah.” Anak-anak muda itu mengucapkan terima kasih, lalu bergegaslah masing-masing pulang ke rumahnya.
***

“Engkau terus pulang, Uda? Mampirlah ke rumahku dulu,” demikian Malim berkata mengajak Uda. Tetapi pemuda yang sudah tergesa-gesa itu menolak, “Tidak usahlah Malim. Aku sudah berjanji, akan mampir di tebat ini.”

Malim tertawa. Ia memahami akan maksud sahabatnya itu.

“Hai, rupanya sudah berjanji? Dan setiap janji harus ditepati!”

Uda diam, langkahnya makin dipercepat. Tetapi Malim masih menggodanya.

“Boleh kutemani, Uda, ke langit biru kita bersama.”

“Ah, terima kasih, Malim. Dalam hal ini rasanya tak perlulah aku ditemani, bukan musuh yang akan kuhadapi, juga bukan bencana yang akan kulalui.”

Keduanya tertawa dan derainya mengoyak sepi malam.

Awan bergerak tidak lagi menabiri bulan yang sedang tersenyum. Oleh karena itu lepaslah cahayanya menyebar. Maka tebat yang terletak di persimpangan jalan ke sebuah kampung lain itu pun kelihatan tenang dan indah.

Belum sampai juga rupanya, demikian Uda berbisik kepada dirinya sendiri. Ia lalu mencari tempat duduk. Tetapi baru saja dia akan duduk terdengarlah suara berbisik halus, tertawa.

“Dara?”

“Ya, Bang Uda.”

“Ah, abang sangka adik belum datang.”

“Belum datang? Ah, tanyalah kepada bulan. Tanyalah kepada bintang. Sejak kapan saya di sini. Jika diibaratkan semak belukar, maka ia sudah menjadi hutan. Bang Uda malah yang lupa akan janjinya.”

“Ah, Dara, bukan abang sengaja begitu. Baru saja habis berguru. Lalu terus abang kemari. Saya sampai berlari-lari, jangan adik menanti-nanti.”

“Jika sesungguhnya begitu, salahlah dugaan saya. Yang sudah lelah duduk di sini, lalu membayangkanlah hal yang tidak-tidak, kabarnya Bang Uda sedang leka, hanya saya saja yang tergesa-gesa, terlalu cepat sampai.”

Uda tertawa. Dan Dara pun tertawa. Maka suara mereka pun mengalun dibawa angin malam ke sekitar air yang tenang di tebat itu.

“Bang Uda, ada apa gerangan berkeras agar kita bertemu? Ada persoalan apakah yang akan abang bicarakan?”

“Banyak hal yang akan dibicarakan, Dara. Itulah sebabnya adik diminta datang untuk berunding, mempertimbangkan kebaikan dan keburukannya, menghitung untung-ruginya, mengukur mujur-malangnya.”

“Ah, Bang Uda, pandai apa saya ini, sehingga diajak berunding? Kebaikan apa yang membuat saya diminta duduk berembuk?”

“Bukan begitu, adikku. Rundingan ini ada kaitannya dengan adik, maka itu adik diminta datang. Kalau pakar sudah bulat, kalau kata sudah seia, tidaklah sukar jalan ditempuh, tak beras antah digesek, tak air hujan ditampung, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”

Uda tidak meneruskan kata-katanya, sementara Dara hanya berdiam. Masing-masing sedang berpikir. Suara jangkrik sahut-bersahut, sedangkan pungguk merayu mendayu. Angin malam mengipasi dua remaja yang duduk berdekatan di atas sebuah bangku yang agak panjang, yang digunakan orang untuk melepaskan lelah, seolah-olah pengantin sedang bersanding, berkipas hembusan angin malam. Di hadapan mereka terbentang sawah yang luas, padinya sedang bunting menguning, hasil usaha penduduk-penduduk kampung yang rajin itu.

“Niat abang hendak meresmikan kasih kita berdua, mau meminang adik kepada ayah bunda. Bagaimana perasaan hatimu, Dara?”

Dara tunduk tidak menyahut. Perasaannya terharu, dadanya sesak dan matanya digenangi air. Maka berkatalah ia dengan hati yang tulus. “Bang Uda, abangku, sudah lama untung hamba kuserahkan kepada abang. Jika menurut timbangan abang, sudah sampai waktunya sirih dan tepak diantarkan, sudah saatnya hubungan keluarga disimpulkan; maka terserahlah kepada timbangan Bang Uda, berbuatlah mana yang baik; saya adikmu, menurut saja.”

Dengan segera Uda meraih tangan Dara. Digenggamnya tangan yang seperti terukir itu, lalu ditempelkannya ke bibirnya, dikecupinya dengan penuh kasih sayang dan terima kasih.

Jauh di sana terdengar suara pungguk. Suara yang mengiba-iba itu menimbulkan kesayuan. Dan bulan mulai muram walaupun bintang masih memagarinya. Tak lama kemudian dua kekasih itu pun bangunlah lalu berjalan pulang.

Dan tebat itu pun tinggallah sendiri kesunyian.
***

Musim panen tibalah sudah. Anak-anak muda dan gadis-gadis bersama orang tua dan sanak saudara bahu-membahu bekerja mengetam padi yang sudah menguning laksana emas. Mereka bergotong royong bekerja, dari sawah ke sawah, dengan hati bahagia, melihat jerih-payah mereka berbuah.

Sudah banyaklah padi dituai, banyak pula karung dan jelapang yang penuh berisi padi. Dan bila malam di sana-sini terdengar bunyi antan nyaring bertingkah: itulah tanda orang sedang menumbuk padi.

Di rumah Pak Long sudah menunggu Malim, Uteh, dan Diman. Mak Long sedang mengumpulkan ranting-ranting untuk kayu bakar. Sebuah tungku yang terbuat dari tiga bongkah batu besar sudah tersedia. Dan di sebelahnya terletak sebuah kuali yang tidak terlalu besar.

“Si Uda, masih belum juga datang,” Uteh merungut karena sudah lama menunggu.

“Kalau Uda tak datang, Dara juga tak sampai,” balas Diman yang juga telah gelisah menunggu.

“Ah, merpati dua sejoli, kalau terbang tentu sepasang,” Malim menimpali.

Mak Long yang mendengar obrolan anak-anak muda itu lalu berkata, “Begitulah adat hidup, ada tempat berpaut, seperti bambu dengan tebing, sandar-menyandar. Tetapi kalian semua masih juga belum punya kekasih ?”

“Ha, itu dia, mereka datang, Kak Salmah membawa andang, Dara tenang berlenggang, Mak Uda berjalan di belakang, dan, ah, kiranya Pak Long yang menemaninya,” demikianlah Malim bersorak riang.

Rombongan yang datang dan yang menunggu saling menyapa, tanya-bertanya mengapa lambat, halangan apa maka demikian. Dalam pada itu tidak kurang juga senda-gurau yang sekali-sekali diselingi gelak berderai-derai.

“Eh, Uda di mana tertinggalnya?” bertanya Diman setelah sadar Uda tak ada.

“Barangkali sakit kepala,” Pak Long bersuara mulai menggoda Dara.

“Ah, sayang, tak ada orang di sampingnya yang sudi memijitinya, untuk menghilangkan sakit kepalanya,” demikian Uteh menambahkan karena ia tahu, ke mana maksud perkataan Pak Long itu.

Malim tidak mau ketinggalan. Segera ia berpantun:

“Di mana tuah akan dicari,
Kalau tidak mendera diri,
Ke mana kasih hendak dicari,
Kalau tidak di Dara sendiri?”

Maka dijawab pula oleh Diman:

“Kalau boleh saya menyampuk,
Cari saja siapa berani,
Kalau boleh saya menekuk,
Hati Dara tak ada di sini.”

Lalu tertawa pun pecahlah berderai, sedangkan Dara diam saja. Hanya tangannya saja yang memainkan padi di ambung.

“Nah, giliran siapa menumbuk, padi sudah siap ditumbuk,” demikian Mak Long bertanya sambil memindahkan padi yang sudah siap ditumbuk dan mengangkatinya dari dalam kuali itu ke nyiru lalu memasukkan ke lesung yang tampak ternganga.

“Mari Diman, kita beradu tingkah,” kata Pak Long sambil mengambil antan yang tersandar di pohon kelapa. Kemudian bunyi antan saling bertingkah diselingi bunyi padi yang pecah dan bergerak-gerak seperti berloncatan.

Tiba-tiba Malin berseru penuh kegirangan:

“Ha, itu dia anak muda kita, dengan lenggang datang berandang.”

Maka riuhlah suara menyapa Uda yang terlambat tiba, ada yang menggoda, ada yang menyindir sambil mengajuk-ajuk hati Dara yang kelihatan berseri melihat kekasihnya.

“Sekarang lengkaplah jumlah kita, tak ada yang kurang dan tertinggal,” kata Pak Long bersenang hati.

“Ah, sudah banyak kiranya yang datang. Saya juga yang terlambat,” Uda tersenyum dan melihat-lihat sekeliling mencari Dara.

“Agaknya tersesat di tengah tebat,” sahut Malim sambil mengerling kepada Dara.

“Saya singgah mencari kawan, kawan hilang entah ke mana,” balas Uda membela diri.

Pak Long yang menunggu kesempatan hendak menggoda, lalu berkata:

“Ada elang menyambar ikan,
Dibawa terbang hinggap di sini,
Ada orang mengambil kawan,
Dibawa berjalan sampai ke mari.”

Maka Diman pun menimpali sambil tertawa:

“Siapa cepat siapa dapat, siapa lambat siapa tak dapat.”

Uda tidak mau mengalah dalam hal ini. Segera disambutnya kata-kata itu.

“Bukan saya sengaja terlambat,
Lambat karena halangan di jalan
Bukan saya takut tak dapat
Saya takut hilang di jalan.”

Tiba-tiba Dara yang semenjak tadi berdiam diri segera menyahut dan menyindir Uda.

“Elang terbang di Langkapuri
Berbunyi guruh bersahut-sahut
Yang hilang harus dicari
Yang jauh patut diturut
Demikian ibaratnya kalau hati mau, orang hendak seribu daya, jika tak mau seribu upaya.”

Semuanya tertawa gembira melihat Dara menyindir Uda, sementara Uda tersenyum saja, merasa bersalah, lalu berpura-pura mengambil antan mengajak Malim mengadu tingkah.

Mereka mengemping sampai jauh malam. Sambil makan emping bersantan, mereka bersenda-gurau sambil tertawa-tawa. Demikianlah kegembiraan mereka setelah padi naik ke rumah dalam musim panen yang menyenangkan.
***

Didesak oleh kemaunan anaknya, walaupun dengan hati yang berat, Ibu Uda pun mengirimkan orang merisik-risik Dara. Ibu itu tahu keadaan keluarga Dara, yang cukup berada, tidak kekurangan apa pun juga; sementara diri sendiri miskin melarat, mana bisa sejajar untuk berbesan dengan orang berharta.

Untuk melaksanakan keinginan itu, Mak Longlah yang dipandang layak, bukan hanya karena tuanya, tetapi juga karena baik budi bahasanya, sehingga ia disegani orang, segala bicaranya semua didengar, segala nasihatnya semua diturut. Lagi pula Mak Long memang bersimpatik pada Uda dan menyayangi Dara: karena dalam pandangannya, si Uda dan si Dara itu sama-sama tampan dan cantik, sepadan, ibarat pinang di belah dua.

Pada suatu hari yang baik berkunjunglah Mak Long bersama Kak Saodah, seorang tetangganya, ke rumah Ibu Dara. Kedatangan mereka disambut baik, dipelawa menurut patutnya serta dilayani menurut adatnya. Sambil bersimpuh menghadapi tepak sirih, maka tetamu dan tuan rumah pun mengobrol ke sana ke mari dengan riangnya.

Setelah melihat tuan rumah tampak bergembira, Mak Long pun mulailah merisik-risik. Sambil mengapur selembar sirih, bertanyalah ia akan bunga yang sedang mekar di jambangan, sudahkah ditandai orang atau belum.

“Besar rupanya keinginan Kak Long, maka disebut bunga yang hanya sekuntum itu,” demikian kata Ibu Dara sambil tertawa seakan-akan menampakkan bahwa ia sedang bergurau.

“Memang besar harapan kami datang ke mari, datang hanya membawa mulut, maksud bergantung di ujung rambut,” demikian balas Mak Long menyatakan maksud kedatangannya dengan sungguh-sungguh hati, tidak lagi bersenda-gurau seperti tadi.

“Ah, jika harapan memang besar, kami menerima tiadalah tawar, mengapa pula, Kak Long, maka digantungkan hajat di rambut? Jika berlayar ke tengah laut, tak akan ada tempat yang surut,” sambut Ibu Dara yang sengaja menarik-narik pembicaraan biar menjadi teka-teki.

Mak Long yang sudah mengenal kilat ikan di air, tahulah ke mana maksud Ibu Dara. Lalu berkatalah ia, “Kak Long datang membawa pesan, pesan orang harus disampaikan, pesan dari Ibu si Uda: katanya, lama sudah ia melihat bunga melati di rumah ini, bunga melati yang harum baunya ke mana-mana, semerbak di seluruh kampung, tak ada tara dan bandingannya. Jika melati ini belum berpunya, belum ada yang menandainya, inginlah Ibu si Uda membelainya, akan dijadikannya dengan anaknya, Uda.”

Ibu Dara tunduk seketika, untuk mencari kata menjawab, menjawab risik yang dibisikkan, dijawab dengan tepat padat, biar yang bertanya tak mendesak-desak. Sejurus berlalu, maka menjawablah ia:

“Jika itu maksud Kak Long, besar benar hati kami. Itu tandanya diri tak terbuang. Hanya, Kak Long, menurut hemat tilik kami, yang mengenal anak dikandung, dari kecil dua jari tapak kaki, si Dara ini masih kecil amat, menumbuk lada belum lumat, menanak nasi mentah selalu. Lagi pula bukan Kak Long tak tahu, Dara ini anak kurang kodrat, ke sawah tak biasa, ke ladang hanya bersuka-suka.”

Sudah terasa di hati Mak Long apa yang terkandung dalam kata-kata ibu si Dara. Namun demikian berkata jua ia:

“Si Uda itu besar benar permintaannya, keinginannya mau menghambakan diri kepada ibu Dara, entahkan untuk menampal pematang yang runtuh, entahkan untuk mengemudi kerbau di sawah.”

Ibu Dara tersenyum mendengar Uda ingin menghambakan diri kepadanya, bukan main besar hatinya. Tetapi mengenang hal Uda yang miskin lara, sawah hanya selebar kangkang kera, maka ia pun berdalihlah:

“Itulah sayangnya si Dara ini belumlah datang waktunya untuk dijodohkan, malu kami kalau anak sekecil ini dipersuamikan, kelak disangka orang, kami ingin benar hendak bermenantu berbesan. Kalau si Uda sudah benar-benar hendak berteman, rundingkanlah dengan yang lain. Bukanlah hamba memandang rupa, hanya anak yang seorang ini biarlah penuh manjanya dulu baru kelak akan bersuami.”

Perkataan menyuruh ‘rundingkan dengan yang lain’ dirasakan benar tajamnya oleh Mak Long. Tahulah sudah ia bahwa Ibu Dara memandang Uda bukan layak bagi anaknya, bukan taraf mereka dijodohkan, si Dara enggang, si Uda pipit. Karena rundingan sudah buntu, orang berdalih mengelakkan diri, Mak Long tak dapat berlama-lama lagi; kilat cermin sudah ke muka, kias kata sudah terasa. Setelah sirih diulang sekapur, berkatalah Mak Long, “Jika sudah demikian rundingannya, mohonlah kami berbalik dulu, menyampaikan kabar kepada yang berpesan.”

Maka bersalam-salamanlah mereka, lalu pulanglah Mak Long dan Kak Saodah dengan hati yang sedih, sedih karena keinginan tak kesampaian, ditambah pula dengan sindiran-sindiran.
***

Seminggu lamanya Uda bermuram durja, pedih benar hatinya disindir-sindir orang, orang yang memandangnya rendah, tak sebanding dengan Dara. Terpikirlah dalam hatinya hendak merantau, mengadu untung nasib di negeri orang, mencari emas dan ringgit.

Maka disampaikannya keinginan hatinya itu kepada ibunya, meminta izin dan berkah. Ibu yang pengasih penyayang yang hanya hidup bersama putra yang seorang itu, merayu agar Uda mengurungkan niatnya, dibujuknya untuk mencari pengganti Dara. Tetapi Uda berkeras hati, karena hatinya hati laki-laki.

“Jadi sudah tetaplah niatmu ini, Nak?” tanya Ibu Uda dengan perasaan cemas melihat tingkah anaknya itu.

“Sudah tetap Ibu, kalau ikan emas itu ringgit umpannya, dengan ringgit jugalah kita mengumpaninya. Kalau tulangku kuat, kalau kodratku ada, akan tercarilah ringgit dan bolehlah Ibu persembahkan ke kaki Ibu Dara. Kalau tidak, biarlah saya melupakan semuanya.”

“Itulah, Nak. Dulu sudah Ibu katakan, kita pipit jangan juga mendekati enggang, tak bisa terbang bersama. Tetapi niatmu kuat benar, maka dicoba tuahnya. Balasannya, sindir juga yang kita terima,” kata Ibu Uda bersedih hati.

“Emasku memang sesaga, sawah hanya sekangkang kera, tetapi saya telah seia-sekata dengan Dara, tak emas bungkal diasah, tak beras antah digesek. Tetapi karena kita ini ibarat besi berkarat, tepak tidak diterima orang. Hamba berjanji, Ibu, malu ini akan kutebus, kucarikan ringgit dan emas, kudirikan istana untuk Dara ?”

“Hai anak, burung terbang jangan dipipiskan lada, ikan di air jangan ditentukan gulainya; kelak awak kempunan sendiri. Ingatlah pesan ayahmu dulu: anakku hanya seorang, itulah teruna, itulah bujang, katanya berkota, pandangannya pandangan bermakna. Maka janganlah anak berkata begitu, kalau barang belum tentu, janganlah ditimbang dulu.”

Uda segera menjawab:

“Karena kasih kepada Daralah maka hamba berkata demikian. Biar tulangku pecah berkecai, biar darahku cucur berderai, Dara tak akan hamba lepaskan. Hanya kematianlah yang memutuskan perhubungan kami? inilah janji, inilah kata hati, hati laki-laki.”

Ibu yang tua itu tidak hendak membantah kehendak anaknya. Uda bukan seorang perempuan yang hanya menyimpan kasih sayang, tetapi ia anak lelaki, keras hatinya seperti besi. Setelah ditimbang-timbangnya, berkatalah ibunya:

“Jika memang itu kehendakmu, tunaikanlah, anakku. Anak ibu hanya seorang, anak bujang memang bertualang, anak dara menyimpan kasih sayang. Hanya pesan ibu, jika sudah dirantau orang, carilah tempat menumpang sayang, jangan segan membanting tulang. Dan, kenang-kenangkanlah ibu yang tinggal seorang ?”

Ia tidak melanjutkan tuturnya, malah yang terdengar hanyalah sedunya.

Uda yang merasa terharu oleh sedu-sedan bundanya, segera berkata:

“Insya Allah, ibu, tak hamba lupakan pesan, tak hamba lalaikan syarat, doa ibu semoga berkat.”

Sebelum berangkat ke kota, Uda mengadakan pertemuan dengan Dara. Dengan susah payah dua kekasih itu berusaha, pada akhirnya barulah mereka dapat bertemu.

“Memang berat hati abang meninggalkan engkau, Dara. Tetapi barangkali ada tuah kita. Siapa tahu kalau nasibku ada, tuahku baik di negeri orang, murahlah rezekiku. Sebab itu doakanlah kepergianku,” demikian Uda berkata membujuk Dara yang berduka.

“Memang hamba tahu hati ibu, pada emas dan ringgit pandangannya tertuju,” Dara membalas di antara isak-tangisnya, seolah-olah hendak memberi tahu Uda, siapakah yang bersalah maka mereka bernasib demikian.

“Karena itulah, adik harus ikhlas abang pergi. Barangkali tuah di rantau orang lebih cemerlang. Di kota, banyak lapangan pekerjaannya, Dara. Keadaan abang cukup untuk mengumpulkan uang. Kalau kelak abang pulang, membawa apa yang diharapkan, bolehlah diulangi lagi perundingan kita, tak akan tertolak lagi lamaranku.”

“Tetapi hamba bimbang, Bang Uda. Bagaimana jika saat itu datang malapetaka, akan kecewalah kita, kecewa selama-lamanya, Bang Uda.”

“Ah, jika hati mencari bimbang, bimbanglah datangnya. Tak usahlah memikirkan hal yang buruk-buruk, Dara. Tak akan lama abang di sana, cukup saja untuk bekal abang tidak gagal lagi. Lagi pula, tidak ada gunanya kalau abang tetap tinggal di sini. Kita juga tidak akan dapat bertemu, segala gerak-gerik kita selalu akan diawasi dan dijaga.”

“Entahlah, Bang Uda. Mengapa hatiku begini, bimbang benar rasanya, seperti ada yang membisikkan, kita akan menghadapi kekecewaan. Kalau malam senantiasa panjang, biarlah kita salamanya di sini, biarlah tebat yang bertuah ini jangan sunyi. Ah, Bang Uda?”

Dara menangis tersedu-sedu. Dibenamkan wajahnya ke pangkuan Uda. Hatinya benar-benar tersayat, tersayat oleh kekecewaannya. Sambil mengusap-usap rambut dara yang ikal itu, mata Uda merenung jauh memandang sawah yang kering oleh musim kemarau. Bulan belum muncul, tetapi bintang sudah berkelip-kelip tidak terhitung banyaknya.

“Sudahlah, Dara, sedu-sedanmu mengusik hatiku. Jika abang sudah jauh kelak, sedu-sedanmu itu kubawa dalam kenangan, biarlah ia menjadi lagu kita, lagu kasih yang tak pernah habis.”

Dara menengadahkan mukanya lalu berkata di antara sedu-sedannya, “Ah, adakah permintaanku yang buruk, atau Ibu yang salah mengandung?”

Maka jawab Uda, “Bukan, Dara, bukan permintaanmu yang buruk, bukan ibu yang salah mengandung, tetapi karena ringgit yang berkuasa, berkuasa menentukan nasib kita, berkuasa menentukan nasib manusia. Maka, karena itulah, Dara, kau akan abang tinggalkan, abang akan mencari ringgit, menggalinya di mana saja dengan seluruh tenaga.”

Keduanya diam sebentar. Cuaca mulai suram. Mendung sudah pula berarak dan sebentar kemudian rintik-rintik air yang halus mulai turun.

“Rupanya hari hujan, Dara. Pada malam perpisahan ini, kau menangis dan hari pun menangis. Entah mujur entah malang nasib kita.”

Dara duduk kembali sambil mengusap linangan air matanya. Setelah itu berkatalah ia dengan suara yang sayu.

“Mengapa malam ini tak ada pungguk seperti malam-malam sebelumnya?”

Uda pun menjawab, “Karena bulan tidak ada, adikku. Dan karena kita akan berpisah.”

“Untuk selama-lamanya?” balas Dara.

“Untuk sementara, Dara. Ya, hanya untuk sementara,” jawab Uda dengan suara bergetar, karena hatinya juga belum yakin.

Dara duduk memandang bumi, bumi Tanah Air yang dikasihi. Setelah janji diperteguh lagi, sumpah setia terpaku dalam hati, pulanglah mereka meninggalkan tebat yang sepi sendiri.
***

Di kota tidak ada sawah, tidak ada padi, tak terdengar jangkrik bernyanyi, ke sanalah Uda pergi membanting tulang yang empat kerat, siang berpanas, malam berembun, makan sedikit, hidup berhemat, mengumpulkan uang bekal pulang.

Kasih sayang Dara yang dibawanya menyebabkan ia merasa kuat dan tabah menempuh segala susah, menanggung segala lelah.

Kepergian Uda dirasakan benar beratnya oleh ibunya. Kini ia sendiri harus membanting tulang di sawah yang selebar kangkang kera itu. Maka seperti kebiasaan sebagian petani yang miskin di kampung itu apabila sampai musim turun ke sawah, Ibu Uda pun datanglah ke rumah besar Tuan Haji Alang memohon pinjaman uang untuk biaya turun ke sawah dan biaya sementara sebelum panen. Adapun Tuan Haji Alang ini ialah kedai pajak, tempat mengadukan berbagai kesulitan, tempat menggadaikan barang apa pun yang masih ada untuk mendapatkan sedikit kepercayaan meminjam uang.

Berbulan-bulan mereka bertungkus lumus mengerjakan sawah, ada yang mengerjakan sendiri, ada yang saling membantu, tetapi musibah juga yang menimpa mereka: musim kemarau telah tiba, sawah kering tak berair, maka sawah pun tidak menghasilkan padi seperti tahun-tahun sebelumnya. Ramailah para petani yang miskin itu datang ke rumah Tuan Haji Alang mengabarkan hal kesulitan mereka itu sambil memohon agar padi yang hanya sedikit itu jangan juga disita sebagai ganti utang yang belum langsai. Memang mereka akan sangat kesulitan, jika padi yang sedikit itu disita juga, sementara yang ada saja masih belum mencukupi untuk dimakan seisi rumah. Ibu Uda ikut pula memohon, tetapi Tuan Haji Alang yang berhati batu itu, berkata:

“Saya tidak dapat menangguhkan lagi, tahun lalu masih tersisa utang, utang tahun ini jadinya bertambah banyak.”

Maka dijawab Ibu Uda dengan air mata ibanya:

“Minta agar bisa ditangguhkan dahulu, Tuan Haji. Uda, anak hamba, masih belum pulang; jika kelak ia pulang akan terbayarlah semuanya.”

Segera pula Haji Alang menyergah:

“Kerugian saya sangat besar tahun ini, banyak uang dikeluarkan untuk menolong orang-orang sekampung, tetapi kembalinya tidak seberapa, karena itu segala padi yang diperoleh tahun ini akan saya ambil juga, supaya saya jangan terlalu menderita kerugian.”

Ibu Uda masih memohon, karena padi yang diperolehnya tahun ini sangat sedikit, dan itu berarti nyawa bagi hidupnya. Katanya, “Kami miskin, Tuan Haji. Jika bagian ini diambil juga, apa yang akan kami makan. Kasihanilah hamba yang tua ini, Tuan Haji.”

Tetapi batu tak akan cair dengan kata-kata itu.

“Kalau semua orang kampung ini tidak makan, mengapa saya yang harus memberi makan? Mengapa saya yang harus mengalami kerugian karena itu? Tetapi saya dapat menolong, hanya jika ada jaminan,” kata Haji Alang memancing sawah dan gubuk buruk milik Ibu Uda.

“Gubuk buruk hamba dengan sawah selebar kangkang kera, itulah harta yang ada pada hamba, peninggalan pusaka ayah si Uda, tetapi?”

“Ah, mengapa juga memakai tetapi? Saya ingin menolong orang dan bagian kakak tak akan tersentuh barang sedikit pun apabila kakak mau menggadaikan sawah kepada saya,” balas Haji Alang.

Apalah daya diri seorang perempuan yang sudah tua ini, tempat pergantungan tak ada, si Uda jauh sudah ke kota, maka dengan keluhan yang berat serta linangan air mata dari lubuk jiwa yang terkoyak digadaikannyalah sawah pusaka yang sangat dicintainya itu kepada Haji Alang. Itulah dayanya sebagai seorang ibu tua yang miskin dalam menghadapi hidup sekelilingnya yang kejam lagi bengis itu.
***

Karena terlalu banyak menderita mengorbankan tenaga dan tidak mengukur waktu dan keadaan, sementara makan tidak menentu, tidak memikirkan dan menjaga kesehatan sendiri, maka jatuh sakitlah Uda. Sakit itu dirasakannya semakin hari semakin payah. Awalnya, ketika ia mulai merasa sakit, tidak sedikit pun ia mengindahkannya. Ia terus bekerja membanting tulang menambah bekal kelak pulang. Sakitnya menjadi-jadi disertai dengan batuk dan lelah. Tidak ada orang yang dapat mengenal jika melihat Uda yang dalam keadaan sakit itu. Mungkin juga orang akan sulit diyakinkan, karena Uda yang setahun dulu segak dan tegap sebagai seorang pendekar silat yang terkenal, kini lemah lumpuh tidak berdaya barang sedikit pun. Tetapi dalam keadaan yang sepayah itu dipaksakan juga ia pulang kampung. Hatinya memang lelaki, patah sayap bertongkat paruh, namun kehendak diteruskan juga.

Menangislah ibunya melihat keadaan putranya yang dulu segar-bugar, tangkas dalam silat, gagah dalam gerak, kini kurus-kering sebagai rangka.

“Mengapa begini benar kau, anakku? Kau pergi melangkah muda, kau kembali melangkah tua. Orang mengikut kata hati, beginilah jadinya. Kau menyiksa dirimu sendiri, kau menyia-nyiakan hidupmu, anakku, seperti dunia ini kecil benar, seperti tidak ada jodoh yang lain.”

Setelah itu dipeluklah anaknya itu dengan ratap tangisnya.

“Berat kupikul, sakit kutanggung, ibu, tetapi Dara hanyalah satu-tak dapat ditukar ganti oleh yang lain, tak dapat dijualbelikan. Jika memang begini penanggunganku karena Dara, maka relalah hamba menerimanya,” jawab Uda dengan suara yang lemah tetapi penuh keyakinan.

Seminggu lamanya Uda telentang di pembaringan di rumahnya. Penyakitnya semakin berat juga. Keinginannya untuk bertemu dengan Dara kian mendalam. Akhirnya berkatalah ia kepada bundanya:

“Ibuku, ada permintaan hamba, permintaan terakhir pula kiranya.”

“Sebutkanlah, Nak! Katakanlah, kalau tangan ibu sampai menjangkaunya, permintaanmu tidak akan ibu kecewakan.”

“Hamba ingin bertemu dengan Dara, jemputlah ia ke mari sebentar.”

“Ya Allah, berat benar permintaanmu, anakku. Dara sudah bertunangan, ditunangkan dengan seorang hartawan, sama berharta sama berberlian, meskipun cantiknya tidak sepadan, luas kebun banyak gudang, lebar sawah banyak emasnya. Bagaimanalah jadinya kalau Dara dijemput ke mari, kita dapat diperkarakan, kita mentimun, mereka durian.”

“Inilah permintaanku yang terakhir, ibu. Sebelum hamba pergi. Dara harus hamba temui. Usahakanlah ibu, Dara tidak akan menolak, tidak akan secepat itu hatinya berubah, biarlah hamba menduga sendiri; beralih kain ke balik rumah, beralih cakap ke balik lidah ?”

“Hai anakku ?” Ibu Uda menangis lagi. Sedu-sedan dan isyak-tangisnya terdengar perlahan keluar dari lubang-lubang bilik gubuk usangnya.

Sudah menjadi satu pepatah: rezeki, jodoh pertemuan dan maut di tangan Tuhan, karena Tuhan berkuasa atas segala-galanya. Kita hanya merancang, Tuhanlah yang menentukan.

Kedatangan Dara terlambat sesaat, karena ketika bulan mengambang sayu, langit mendung, pungguk merayu, deru angin mendayu-dayu, waktu itulah Uda menghembuskan napasnya yang terakhir dengan mata setengah terbuka, tanda penasaran tidak sempat melihat Dara, kekasihnya yang sudah berjanji sumpah-setia.

Dara menyungkurkan dirinya ke tubuh Uda yang sudah kaku, air matanya berhamburan sebagai mutiara-mutiara kecil membasahi muka Uda yang sudah menjadi mayat itu. Sampai jauh malam sedu-sedan Dara masih membelah sunyi, ratapan seorang gadis yang kehilangan tempat mencurahkan kasih sayang dan cinta sejati.

Keesokkan harinya setelah datang waktu dzuhur, kelihatanlah orang membawa usungan ke pemakaman. Diman, Uteh, Malim, Pak Long serta kawan-kawan lainnya yang sepermainan dengan Uda kelihatan memikul usungan jenazah Uda. Pak Guru silatnya mengikuti di belakang berjalan menundukkan kepalanya dengan sedih hati: ia kehilangan seorang bekas murid yang pantas cergas.

Setelah jenazah dimakamkan, setelah air mawar di kendi disiramkan, pulanglah orang membawa usungan yang kosong. Dan pada saat itulah Dara secara sembunyi-sembunyi datang ke kuburan. Di tanah yang masih basah dan merah itu, menyembahlah ia menangis tersedu-sedu menggoncang bahu.

Kembalilah kenangan lamanya, datanglah segala peristiwa dulu, semuanya bermain dalam hatinya, tergambar di ruang matanya.

Ketika matahari telah memancarkan sinarnya ke bumi, Dara bangkit perlahan-lahan dengan matanya bengkak oleh tangis. Dipandangnya nisan kayu yang tegak itu, dilihatnya pohon puding yang ditanamkan orang. Setelah semua dilihatnya dengan seksama, dengan hati yang berdamba bergetar, maka melangkahlah ia perlahan-lahan menahan deburan ombak di lubuk hatinya. Setelah berjalan beberapa langkah ia berpaling kembali, barangkali melihat untuk yang penghabisan kalinya. Ketika itu setangkai kembang kemboja kelihatan gugur perlahan. Maka senja pun perlahan-lahan merangkak datang menutup daerah pekuburan yang sudah kesepian.
***

Sudah semusimlah Uda pergi meninggalkan dunia membawa kekecewaannya.

Dara semakin susut badannya. Cantik wajahnya sudah berkurang oleh pucat dan cengkungnya. Maka berdukacitalah ibunya. Puas sudah orang pintar dan dukun mengobatinya, namun penyakit tak kunjung sembuh, malah makin mendalam rupanya.

Pada suatu hari bertanyalah ibunya:

“Dara anakku, mengapakah kau bermuram benar? Apa yang dipikirkan, sehingga tingkah anakku jadi begini? Apakah yang kurang padamu? Dukuhmu hilang, gelangmu kurang, anting-antingmu ringan, emasmu susut? Katakanlah, katakan yang sebenarnya pada ibu, akan ibu carikan gantinya, akan ibu adakan semuanya.”

Dara tunduk termenung, sedang matanya dilinangi air. Setelah lama barulah ia menjawab:

“Semua cukup, ibu. Emasku berlebih, gelangku bersusun, anting-antingku berat, dukuhku banyak, tak kurang suatu apa pun jua, tak ada yang tak cukup, malah berlebih, sangat berlebih ?”

“Kau terlalu menurutkan perasaanmu, anakku. Dengarlah kata ibu: turunan kita darah bangsawan, duduk kita duduk bertempat, sampai semua orang sekampung menaruh hormat, tak ada orang yang lebih bermartabat. Mengapa anak buta mata, memilih anak turunan gembala, anak desa emas sesaga, sawah selebar kangkang kera? Apalah yang dirisaukan; kalau ganti Uda itu tak ada, bolehlah dicarikan, tetapi tunanganmu tak ada sesuatu yang kurang.”

Dara mengeringkan air matanya, matanya merah seperti saga, hatinya marah bernyala-nyala, lalu ia pun berkata:

“Ibu, ibu terlalu besar, maka ibu membenarkan diri; ibu terlalu tinggi, maka ibu menjadi bagini; ibu terlalu kaya, maka ibu merasa mulia, mulia daripada orang yang sawahnya selebar kangkang kera, mulia dari semua orang karena ibu berharta benda. Ibu tak tahu akan kasih hati, ibu tak arif menimbang rasa; hati apa hati ibu, pikiran apa pikiran ibu, maka ibu mendera kami, kasih ada jalan tiada ?”

Dara tak dapat meneruskan kata-katanya lagi; perasaannya terlalu meluap bercampur baur, lalu menangislah ia tersedu-sedu menelungkupkan mukanya ke bantal guling berkerawang buatan tangannya sendiri.

Dengan penuh keyakinan pula ibu Dara berkata:

“Dara, anakku, tiada ibu hendak menyiksa, tidak pula ibu mendera-dera, kasih ibu tiada batasnya mengharapkan anak penuh kebahagiaan. Dengarlah, anakku, dengarkan baik-baik kata ibu. Ketika ibu seperti anakanda dulu, demikian pulalah halnya ibu, disuruh kawin dengan orang yang dipilih oleh ibu dan bapa. Tak tahu ibu hendak menerima atau menolak, ibu tidak mengenal lelaki pilihan ibu-bapa. Maka setelah sampai saatnya, menikahlah ibu, dan tiadalah ibu membantah apa-apa diarahkan orang tua. Berkat taat khidmat ibu, maka sampai kini ibu selamat sempurna, tak kurang suatu apa pun, meski ayahmu sudah lama meninggal dunia.” Ibu Dara berdiam diri seketika lamanya. Dan sesudah itu, karena Dara tidak juga bersuara, disambungkanlah ceritanya:

“Memang ada ibu dengar orang muda berkasih-kasihan, saling mencinta, tetapi semua itu hanyalah menurut hati muda belaka: belum yakin ibu kepada cinta, karena cinta, menurut pertimbangan ibu, hanyalah permainan anak-anak muda, khayalan sebelum kita terlena saja. Oleh karena itu, ibu yakin bahwa anakku akan sadar juga dan bila telah menikah dengan tunanganmu, kelak engkau akan hidup bahagia, bahagia dan bertuah seperti hidup ibu dengan ayahmu dulu. Hanya ibu mohon, supaya anakku janganlah hanya menurutkan perasaanmu saja, lupakanlah perasaan cinta itu, karena dengan begitu ingatan kepada Uda pun akan turut terhapus.”

Dara tidak menjawab, tangisnya sudah berkurang. Dalam hatinya, tahulah ia bahwa ibunya memandang kecil benar kepada cinta kasihnya yang sudah tertanam pada diri Uda.

Hari perkawinan dengan tunangannya yang tak dicintainya dan yang kaya raya itu, semakin dekat waktunya. Tetapi tubuh badan Dara semakin susut-kurus, setiap hari berendam air mata, setiap hari menumpahkan cintanya pada Uda. Banyak sudah uang yang dikeluarkan untuk dukun dan pawang; ayam putih dan hitam, kambing tua dan muda sudah banyak dikorbankan, namun penyakit jangankan sembuh, malah bertambah parah saja.

Akhirnya pada suatu malam waktu dinihari, sepekan sebelum datang hari perkawinan, ketika pungguk mendayu-rayu, ketika angin sepoi membelai, Dara pun menutup mata, terpejam untuk selama-lamanya, pergi menurutkan kekasihnya, Uda.

Tak berkeputusan penyesalan dalam hati ibu Dara, tetapi apalah artinya sesal yang kemudian itu. Dan dengan permintaannya sendiri pula maka jenazah Dara dikebumikan di samping kuburan Uda. Maka nisan mereka bergandenglah di bawah naungan pohom kemboja yang selalu menguntum bunga-bunganya menghiasi tanah pekuburan itu.

Makam itu selalu dikunjungi oleh sahabat-sahabat mereka yang tinggal dan nama mereka berdua “Uda dan Dara” selalu disebut-sebut sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni.
***

[Terbit pertama kali tahun 1952 di suratkabar Utusan Melayu. Diterbitkan kembali dalam antologi cerpen Megar dan Segar: Bunga Rampai Cherita2 Pendek Angkatan Baru (di-pileh dan di-bicharakan oleh Asraf), Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1959, hlm. 132-154. Diindonesiakan dan diberi antotasi untuk kepentingan pengajaran di Department of Malay-Indonesian, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul (2009)].

Usman Awang, Sasterawan Negara Malaysia, lahir di Kuala Sedili, Kota Tinggi, Johor, tahun 1929. Dikenal juga dengan nama samaran Tongkat Warrant, Atma Jiwa, Adi Jaya, Manis, Seribudi, Zaini, dan sekitar 10-an nama pena yang lain.
***

Larat: bergerak.
Rupawan: cantik, molek.
Lampai: tinggi-ramping.
Segak: gagah, segar, sehat, baik sikapnya.
Sabas: ucapan selamat; tahniah, selamat.
Cergas: tangkas, gesit, cekatan.
Kesatria: orang yang gagah berani, pemberani, tidak licik, dan bertanggung jawab pada segala perbuatannya.
Tebat: tambak, kolam ikan.
Leka: lalai karena sedang tertarik sesuatu.

Mempertimbangkan kebaikan dan keburukan, menghitung untung-rugi, mengukur mujur-malang: ungkapan yang lazim digunakan dalam kebudayaan Melayu untuk menunjukkan segala hal perbuatan harus dipertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan yang terbaik.

Kalau pakar sudah bulat, kalau kata sudah seia, tidaklah sukar jalan ditempuh (peribahasa): Jika semua pihak sudah menyetujui dan mufakat, maka tidak ada lagi halangan untuk mewujudkannya.

Tak beras antah digesek, tak air hujan ditampung, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah (peribahasa): segala apa pun akan dilakukan, asalkan maksud tercapai.

Jangkrik: binatang serangga biasa hidup di sawah biasa mengeluarkan bunyi krik-krik ?

Pungguk: burung elang malam (burung hantu) yang suka memandang bulan (ninox sentulata malaccensis).

Bunting: hamil; analogi padi yang padat berisi, bernas.

Sirih dan tepak diantarkan (idiom, ungkapan): melamar, meminang seseorang untuk dijadikan istri.

Mengetam: memotong (padi) dengan menggunakan ani-ani, alat pemotong padi.

Jelapang: tempat menyimpan padi; lumbung.

Antan: Kayu berbentuk bulat panjang yang digunakan untuk penumbuk padi; alu.

Merungut: bersungut-sungut, mengomel, menggerutu.

Dua sejoli: sepasang; jantan-betina, laki-laki-perepuan, pria-wanita.

Tebing: perbukitan yang agak curam dan berjurang.

Andang: obor yang dibuat dari daun nyiur atau daun kelapa: suluh.

Ambung: keranjang atau karung tempat menggendong padi atau barang-barang lain.

Nyiru: nampan untuk menganyak padi agar bersih dari sisa jerami atau batang padi.

Lesung: balok kayu yang dibuat berlubang tempat padi ditumbuk.

Beradu tingkah: pasangan penumbuk padi.

Berandang: berendeng; berderet ke samping, berurutan.

Mengemping: membuat makanan emping.

Emping: penganan yang terbuat dari padi yang belum masak benar atau dari biji-bijian (ditumbuk lalu disangrai atau digoreng tanpa minyak)

Merisik-risik: menyuruh orang menyampaikan pinangan.

Ibarat pinang dibelah dua (Peribahasa): artinya kedua orang itu wajahnya mirip sekali, hampir serupa.

Dipelawa: dihormati.

Bersimpuh: duduk dalam posisi kaki ditekuk.

Tepak sirih: seperangkat peralatan untuk menyirih, yaitu mengunyah dauh sirih yang dicampur dengan kapur sirih, jambe, dan sedikit tembakau. Menyirih adalah kebiasaan perempuan Melayu untuk memerahkan bibir dan memperkuat gigi.

Mengapur selembar sirih: membuat siri dengan mengolesi daun sirih dengan kapur.

Jambangan: tempat bunga biasanya terbuat dari tanah liat.

Kilat ikan di air (idiom, peribahasa): orang yang bijaksana dan berpengalaman biasanya dapat mengetahui atau menangkap isyarat atau maksud perkataan seseorang.

Menumbuk lada belum lumat, menanak nasi mentah selalu (peribahasa): masih sangat muda, belum berpengalaman dan masih harus banyak belajar.

Menampal pematang yang runtuh (memperbaiki pematang sawah), mengemudi kerbau di sawah (membajak sawah dengan tenaga kerbau); Ungkapan ini untuk menunjukkan kesungguhan, bahwa apa pun bisa dikerjakan.

Berdalih: menyampaikan alasan.

Si Dara enggang, si Uda pipit: perbandingan untuk menjukkan perbedaan status sosial. Yang kaya dengan yang kaya, yang miskin dengan yang miskin. Enggang (bucerotidae): burung besar pemakan kadal, cecak, ular tikus. Pipit: burung kecil.

Kilat cermin sudah ke muka, kias kata sudah terasa (peribahasa); orang yang bijaksana dan berpengalaman biasanya dapat mengetahui atau menangkap isyarat atau maksud perkataan seseorang.

Hati laki-laki (ungkapan): keras hati, teguh pendiriannya, kerasa kemauannya.

Sesaga: sebiji saga (abrus precatorius): tanaman merambat yang bijinya kecil berwarna merah mengkilap dengan bercak hitam.

Sekangkang kera (idiom): seselangkangan kaki monyet, artinya sempit atau kecil sekali.

Tak emas bungkal diasah, tak beras antah digesek (peribahasa): segala apa pun akan dilakukan, asalkan maksud tercapai.

Membanting tulang (idiom): artinya bekerja keras.

Berkat: mendapat kebaikan dari Tuhan.

Tuah: nasib baik, keberuntungan. Bertuah: memberi kebaikan, keberuntungan.

Kelak: suatu saat; nanti.

Pangkuan: di atas kedua paha.

Empat kerat: maksudnya empat potong; dua kaki, dua tangan.

Musim turun ke sawah: saatnya para petani mulai menanam padi.

Kedai pajak: tempat peminjaman uang tidak resmi; semacam rentenir.

Menggadaikan: meminjam uang dengan menyimpan barang tertentu sebagai jaminan pembayaran. Jika si peminjam tidak dapat melunasi utangnya, maka barang itu akan menjadi milik orang yang meminjamkan uang itu.

Bertungkus lumus (idiom): bekerja keras.

Disita: dirampas atau diambil secara paksa karena tidak dapat membayar utang.

Langsai: lunas, impas.

Berhati batu: tidak mudah merasa kasihan atau iba; tega.

Patah sayap bertongkat paruh, namun kehendak diteruskan juga (peribahasa): meskipun sudah tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan apa-apa, semangatnya masih menyala-nyala.

Luas kebun banyak gudang, lebar sawah banyak emasnya (peribahasa): sangat kaya; kaya raya.

Kita mentimun, mereka durian: ungkapan untuk menunjukkan status sosial antara miskin dan kaya.

Beralih kain ke balik rumah, beralih cakap ke balik lidah (peribahasa): orang dapat dengan mudah berpindah rumah, tetapi kepercayaan dan nama baik hanya dapat dipertahankan jika orang tidak ingkar janji atau berkhianat.

Pantas cergas: cakap dan gesit.

Dukuhmu hilang, gelangmu kurang, anting-antingmu ringan, emasmu susut (ungkapan): segalanya mengalami kemunduran.

Duduk kita duduk bertempat (peribahasa): mempunyai rumah dan tempat tinggal yang pantas.

Dukun dan pawang; ayam putih dan hitam, kambing tua dan muda sudah banyak dikorbankan (ungkapan): berbagai cara pengobatan telah dilakukan.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *