Susie Evidia Y
http://republika.co.id/
Patung-patung di Istana Bogor mayoritas berbentuk perempuan bugil. Jika tamu-tamu negara datang, patung-patung itu didandani dengan pakaian anggun.
Istana negara menjadi simbol dari sebuah bangsa. Beruntung di Indonesia memiliki lebih dari satu istana kepresidenan yang tersebar di beberapa daerah. Pusatnya di Jakarta berupa Istana Negara dan Istana Merdeka yang menjadi kediaman sekaligus kantor presiden. Upacara kenegaraan juga diadakan di kompleks istana ini.
Sisanya, lima istana lain, yaitu Istana Bogor, Istana Cipanas (keduanya di Bogor), Istana Gedung Agung (di Yogyakarta), dan Istana Tampak Siring (di Bali). Dari masa pembangunan, hanya Istana Tampak Siring yang didirikan pemerintah Indonesia di masa Presiden Sukarno. Sedangkan istana yang lain, sisa-sisa peninggalan Hindia Belanda.
Menelusuri kawasan istana bagaikan punduk merindukan rembulan. Bangunan megah nan luas dengan penjagaan yang ketat pasukan berseragam tampaknya sulit ditembus. Kecuali karena ada undangan dari pihak istana, tipis harapan bisa masuk ke lingkungan istana. Mereka yang tidak berkepentingan hanya bisa melewat di depannya atau menonton melalui televisi. Ada apa gerangan di dalam istana?
Melalui buku Istana-istana Kepresidenan di Indonesia, Asti Kleinsteuber ingin membuka lebar-lebar gerbang keenam Istana Kepresidenan itu. Kesan istana-istana itu ketat, eksklusif, informasi yang terbatas, dan tersembunyi terpatahkan melalui buku ini. Karena dia mengemas dengan ramah, dengan bahasa yang informatif, dan lengkap dengan sejarahnya. Yang paling menarik, foto-foto yang disajikan menguasai hampir seluruh buku setebal 328 halaman ini.
Buku yang garap lebih dari tiga tahun ini mengupas satu per satu Istana Kepresidenan. Ia paparkan pula sisi interior, pajangan lukisan, benda seni, dan karya arsitektur berkualitas dunia yang ada di dalamnya. ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ karya Raden Saleh dan ‘Pergiwa-Pergiwati’ karya Basuki Abdullah adalah sebagian kecil dari lukisan koleksi yang dimiliki negara.
Asti pun membocorkan patung-patung yang ada di Istana Bogor, yang mayoritas berbentuk perempuan bugil. Jika tamu-tamu negara datang, patung-patung tersebut tampil sopan didandani, mengenakan pakaian anggun!
Asti menuangkan juga berbagai sejarah besar sejak zaman peradaban, kerajaan, hingga berdirinya Indonesia. Sekelumit kisah kehidupan keluarga presiden selama berada di istana, mulai dari presiden pertama hingga kini, disinggung pula di buku yang dicetak perdana sebanyak 2.000 eksemplar ini.
Yang menarik, perubahan bangunan dan geliat yang terjadi di Istana Merdeka, Asti ungkap juga dengan rinci di buku ini. Di zaman Sukarno, Istana Merdeka dibiarkan serba terbuka agar terkesan luas. Di masa pemerintahan Soeharto, kegemaran Ibu Negara Tien Soeharto terhadap ukiran kayu jepara mempengaruhi interior istana. Di luar bergaya Palladio, di dalam gaya Jepara.
Di masa Presiden Habibie nyaris tak ada perubahan. Presiden ketiga ini paling sering membawa tamunya mengunjungi Ruang Bendera Pusaka. Dulunya ruangan ini sebagai ruang tidur Ibu Fatmawati. Apa yang terjadi di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono? Asti juga mengupasnya di buku ini.
Pembuatan buku yang dikemas ala coffee table book ini penuh dengan kejutan. Awalnya Asti sempat ragu, mungkinkah berhasil menembus Istana dengan perizinan birokrasi yang sangat tebal? Maklum, belum ada orang luar istana yang membuat buku berkaitan dengan istana. Andaikan ada, selama ini dibuat oleh kalangan internal, untuk kalangan terbatas.
Begitu izin panjang itu keluar, Asti sumringah. Ia sangat berantusias membuat buku ini semenarik mungkin, mirip dengan buku-buku di luar negeri. ”Buku di buat luks penuh foto indah dibuat dua, bahasa Indonesia dan Inggris,” tutur Asti saat peluncuran Istana-istana Kepresidenan di Indonesia, di Museum Nasional Jakarta, Rabu (28/7).
Kejutan berikutnya, proses selama pembuatan buku ini. Syafri Munardi Maharadjo sebagai fotografer menemukan berbagai peristiwa menarik sekaligus tak masuk akal. Namanya juga bangunan-bangunan tua, ada saja ‘gangguannya’. Ketika memotret air mancur di Istana Bogor tiba-tiba muncul kucing hitam. Yang mengerikan lagi di Istana Yogyakarta, hasil foto-foto arca yang dikemas secantik mungkin entah mengapa terhapus semuanya. ”Foto semua hilang, kita jadi panik,” ujar pria yang akrab disapa Ardi ini.
Kendala ini mungkin hadir berkaitan dengan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang umum. Seperti membuka beberapa jendela yang ada di Istana Yogyakarta, abdi dalem saja tidak berani melakukannya. Namun, demi mendapatkan foto yang dahsyat, larangan tersebut ‘terpaksa dilanggar’. Jendela dibuka. Hasil jepretan Ardi bisa dinikmati di buku dengan kemasan hard cover ini.
Asti berharap melalui buku perdananya ini, semua pihak bahkan kalangan di luar negeri bisa mengetahui sampai akar-akarnya,, tentang keberadaan istana-istana kepresidenan di Indonesia. Edisi bahasa Inggris sengaja diperuntukkan bagi orang-orang asing agar tertarik mengetahui sejarah Indonesia. Karena, di luar sana, masih banyak yang belum mengetahui keberadaan Indonesia.
Namun, buku yang mengupas rahasia istana ini hanya bisa dimiliki kalangan berduit. Harganya tak mungkin terjangkau kalangan miskin: Rp 940 ribu. Harga yang sangat mahal ini diakui oleh Asti. Karena proses pembuatan, produksi, hingga pemasarannya membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Ibu tiga anak ini berharap, jika ada dukungan dana dari pihak lain akan dicetajk pula edisi massal untuk masyakara kebanyakan. Semua masyarakat Indonesia berhak mengetahui apa yang ada di dalam Istana Kepresidenan.
Buku berkelas ini sebagai jembatan bagi Asti untuk melanjutkan karya-karya berikut. Sedikitnya delapan buku berkaitan dengan keindahan nilai sejarah Indonesia sudah dipersiapkan istri dari Dr Fritz Kleinsteuber itu. Di antaranya, mengenai kelenteng-kelenteng tua yang masih tersebar di antero Nusantara. Asti pun tertarik menulis buku mengenai keindahan mutiara hasil lautan Indonesia.
Judul: Istana-istana Kepresidenan di Indonesia
Penulis: Asti Kleinsteuber