?Max Havelaar? Menyoroti Masalah Kemiskinan

Stevani Elisabeth
http://www.sinarharapan.co.id/

Dalam rangka memperingati 150 tahun buku Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker, Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis mengadakan pertunjukan teater yang berjudul Max Havelaar.

Karya Douwes Dekker ini disutradarai Rahman Sabur dan dipentaskan oleh Teater Payung Hitam, di Jakarta, Senin (3/5) malam. Direktur Erasmus Huis Paul Peters mengatakan, Max Havelaar merupakan buku yang sangat penting di Belanda. Buku tersebut bukan hanya menceritakan soal sejarah saja, tetapi juga menyangkut masalah politik.

Teater Payung Hitam pernah berkolaborasi dalam pertunjukan BLACKMOON dengan teater Lunatics Belanda yang ditampilkan di Indonesia, Amsterdam, Utrech dan festival internasional Oerol di Belanda pada tahun 2005.

Kelompok teater yang berdiri di Bandung pada 9 Desember 1982 ini pernah membawakan pertunjukan KASPAR di Festival Art Summit International tahun 2001 dan membawakan KASPAR dalam Festival Teater Internasional di Laokoon Jerman pada tahun 2003.

Kelompok teater ini juga telah menerbitkan dua buku teater yakni Teater Payung Hitam Perspektif Teater Modern Indonesia dan Teater Payung Hitam Dialektika Antara Realitas dan Idealitas. Produksi lain yang ditulis oleh sutradara Rachman Sabur ini adalah KATAKITAMATI. Karya tersebut telah didokumentasikan dalam bentuk CD-ROM oleh Curriculum Corporation untuk digunakan sebagai media pendidikan seni di SMA di South Victoria, Australia.

Dalam pementasan teater Max Havelaar, Multatuli banyak menyoroti masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia khususnya di Bantam Kidul. Saat diangkat menjadi residen Lebak, dia langsung mengadakan pertemuan dengan Adipati, Bupati Bantam Kidul dan para raden Demang yang menjadi kepala distrik di daerah tersebut, Raden Jaksa yang bekerja menegakkan keadilan dan Raden Kliwon yang menjalankan kekuasaan di ibu kota.

Dalam pertemuan tersebut, dia menyoroti bahwa masyarakat Bantam Kidul memiliki banyak sawah, namun mereka tetap miskin. Hal tersebut disebabkan oleh kebijakan para pemangku kekuasaan yang salah dalam mengelola wilayahnya sehingga muncul ketidakadilan. Ketidakadilan inilah yang harus diberantas. Pementasan teater Max Havelaar ini memadukan antara unsur monolog dengan visual di mana dalam pertunjukan tersebut juga diperlihatkan gambar-gambar perjuangan rakyat Indonesia di tengah kemiskinan pada zaman penjajahan.

Namun, di akhir pementasan juga muncul masalah-masalah yang terjadi di Indonesia saat ini yang disajikan secara visual dalam layar lebar seperti demo buruh yang intinya menuntut keadilan dari pemerintah untuk memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera dan keluar dari kemiskinan.

Sejarah Indonesia

Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan Multatuli memang tidak terlepas dari sejarah Indonesia. Multatuli lahir di Amsterdan, Belanda pada 2 Maret 1820. Pada tahun 1838, dia hijrah ke Indonesia karena diterima bekerja di Gubernemen sebagai asisten residen di Jawa, Sumatera, Manado, dan Ambon.

Nama Multatuli ini juga tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Banten. Ia pernah menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Akibat perbedaan prinsip dengan atasannya, Multatuli memilih berhenti bekerja. Dia mengembara di Eropa dan hidup miskin.

Ia memang sempat menikah dengan Everdina van Wijnbergen (Tine) dan menikah kembali setelah istrinya meninggal dunia. Dalam perjalanan hidupnya, Multatuli sempat menulis beberapa karyanya seperti Max Havelaar (1860), Surat-Surat Cinta (Minnebrieven, tahun 1861), Pikiran-pikiran (Ideee?n, pada tahun 1862-1877) yang di dalamnya memuat tentang sekolah raja-raja, Seribu Satu Bab Mengenai Keahlian (Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialiteiten tahun 1871) dan Milionenstudien tahun 1873.

Penulis terkemuka di zaman Multatuli, Vosmaer mengatakan, Multatuli merupakan penulis terbesar yang luhur yang pernah dikenal bangsanya. Di Indonesia sendiri Multatuli diakui sangat berpengaruh terutama oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan.

Leave a Reply

Bahasa ยป