Edi Faisol
http://www.tempointeraktif.com/
Mata Husin telah memerah, tapi ia tak berhenti membaca. Satu demi satu kertas puisi yang dipegangnya dia baca. Setumpuk kertas lainnya telah menunggu giliran di hadapannya.
Sesekali pria 35 tahun ini mengalihkan pandangan ke arah jalan raya di depan restoran Pring Sewu, Tegal. Seakan ia berharap, arus lalu lintas Pantura yang padat membantunya mengurangi rasa kantuk. “Ini memasuki hari kedua,” kata Rosyad K.H., penyelenggara acara baca puisi empat hari empat malam, Ahad lalu.
Menurut Rosyad, pembacaan puisi yang dilakukan Husin, selain sebagai uji kemampuan untuk masuk dalam catatan Museum Rekor-Dunia Indonesia, adalah bentuk sosialisasi khazanah puisi nasional.
Rosyad juga menjelaskan, dalam aksi baca puisi ini, Husin membaca lebih dari 450 puisi, 300 di antaranya adalah karyanya sendiri dan karya sastrawan nasional, sedangkan 150 lainnya sumbangan sastrawan Tegal.
Agar tidak melelahkan, sebagian puisi karya sastrawan nasional diterjemahkan dalam bahasa Jawa “Tegalan”, seperti puisi Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra.
Setiap jam, Husin beristirahat lima menit. Saat ditemui Tempo, Husin mengaku ingin merealisasi obsesinya. Ia pernah tercatat di Muri dengan berjalan kaki sejauh 1.548 kilometer yang diawali dari Merak menuju Banten hingga Banyuwangi dalam waktu 23 hari.
Husin mengaku tidak melakukan persiapan khusus, hanya berlatih membaca puisi dalam satu setengah hari. “Hanya latihan bahasa ‘Tegalan’ yang sulit,” akunya.
Rasa kantuk merupakan tantangan terberat. Senjatanya, kopi.
Aksi Husin mendapat dukungan dari kelompok seniman dan sastrawan Tegal. Selain menyumbang karya, banyak dari mereka yang menunggui. Menurut Dwi Eri Santoso, aksi Husin setidaknya memberikan semangat kepada masyarakat untuk kembali menghargai seni. “Selama ini, aksi rekor Muri menampilkan sesuatu secara fisik dan besar. Kalau ini, juga memperkenalkan karya puisi,” kata Dwi. Asalkan kopinya juga terus.