Wadah penulis muda jini dijuluki sebagai pabrik buku cerita
Burhanuddin Bella
http://www.infoanda.com/Republika
Sepuluh buku baru karya 10 penulis Forum Lingkar Pena (FLP), 24 Maret 2007 lalu, diluncurkan dan didiskusikan secara sekaligus di Library @ Senayan, Komplek Depdiknas, Jakarta.
Keberadaan FLP memang tidak terpisah dari buku, terutama buku-buku fiksi Islami, yang jumlahnya kini mencapai ratusan. Jumlah 10 buku itu ‘menandai’ usia FLP, yang pada 22 Februari 2007, genap 10 tahun, dan pada hari itu diperingati secara besar-besaran.
Buku-buku yang diluncurkan itu, adalah Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman el Shirazy (Republika dan Basmala, 2007), Pitaloka karya Tasaro (Syaamil Cipta Media, 2007), Beautiful Days karya Bella (DAR! Mizan, 2007), The Lost Prince karya Sinta Yudisia (Gema Insani Press, 2007), dan Iori: Terperangkap di Dunia Mimpi karya Lian Kagura (Lingkar Pena Publishing House, 2007).
Juga buku Kutemukan Engkau dalam Setiap Tahajudku karya Dessy Puspitasari (Bentang Pustaka, 2007), Dreams karya Leyla Imtichanah (Cinta Publishing, 2007), Perjalanan yang Bulan karya M Irfan Hidayatullah (Pustaka Latifa, 2007), The Way of Love karya Haekal Siregar (Zikrul Hakim, 2007), Moderan Nggak Mesti Kayak Bule karya Jonru (Zabit Mobile Book, 2007).
Enam pembicara — Yudhistira ANM Massardi, Agus R Sarjono, Joni Ariadinata, Fahri Asiza, Pipiet Senja, dan Herry Nurdi — ditampilkan untuk mengupas buku-buku tersebut, dengan moderator Boim Lebon dan Ali Muakhir.
Dimotori oleh tiga penulis muda — Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Maimon Herawati — FLP didirikan pada 22 Februari 1997 di kampus UI Depok. Didasari rasa keprihatinan atas besarnya kebutuhan membaca generasi muda terhadap karya-karya yang mencerahkan. Di sisi lain, banyak penulis muda berbakat namun tidak memiliki media, akses, dan komunitas untuk mengembangkan karya dan kemampuannya.
Gayung pun bersambut. Pendirian FLP mendapat sambutan luar biasa dari seluruh Indonesia. Setahun berselang, berdiri cabang pertama di Bontang, Kalimantan Timur. Seiring perjalanan waktu, komunitas ini berkembang di lebih dari 125 kota di Indonesia dan mancanegara. ”Tak kurang dari 500 di antaranya telah menjadi penulis dan menerbitkan lebih dari 500 judul buku,” kata Ketua Umum FLP M Irfan Hidayatullah.
Ribuan kader penulis kini telah dilahirkan oleh FLP melalui diklat-diklat penulisan dan ‘pergaulan kreatif’. Mereka tersebar dari Aceh hingga Makassar, Padang hingga Bima, Mesir hingga Jepang, Amerika hingga Hong Kong. Uniknya, sebagian besar buku yang dihasilkan oleh para penulis FLP adalah buku cerita (fiksi), sehingga ada yang menjuluki FLP sebagai ‘pabrik penulis cerita’.
Paskah julukan itu? Kenyataannya, tidak semua buku FLP lahir untuk sekadar memenuhi kebutuhan bacaan yang mencerahkan, juga tidak hanya menjadikan sastra sebagai karya seni. Mereka juga menjadikan sastra sebagai media aksi sosial-budaya, misalnya untuk menghimpun dana kemanusiaan, mendanai kampanye membaca dan menulis, dan pendirian Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya) di berbagai daerah.
Apapun yang telah disumbangkan FLP bagi bangsa ini, usia 10 tahun memang layak disyukuri dan dirayakan. Karena itu, bekerja sama dengan Library @ Senayan, FLP menyelenggarakan berbagai kegiatan selama tiga hari di Kompleks Depdiknas, Jakarta.
Diawali bazaar buku dan pameran kegiatan FLP pada 22-24 Februari, kemudian dipuncaki acara besar sehari penuh pada 24 Februari. Selain peluncuran 10 buku yang dimeriahkan pentas musikalisasi puisi oleh Kapak Ibrahim, juga digelar diskusi Puisi Populer dan Mempopulerkan Puisi pada pagi hari, dengan pembicara Kurnia Effendi, Gratia Gusti Chanaya Rompas, Epri Tsaqib, dan Dino F Umahuk.
Malamnya, digekar diskusi sastra bertajuk Sepuluh Forum Lingkar Pena dalam Sastra Indonesia, dengan pembicara Maman S Mahayana, Prof Melani Budianta PhD, dan Muhammad Irfan Hidayatullah, dengan moderator Asma Nadia. Acara ini diawali Pidato 10 Tahun FLP oleh Helvy Tiana Rosa. Sementara, Ahmadun Yosi Herfanda, yang dijadwalkan menjadi pembicara, berhalangan hadir.
Dengan semboyan Berkarya dan Berarti, FLP tidak hanya menjadi wadah penulis dan calon penulis. Juga bukan sekadar untuk bersastra ria. Sastra, bagi FLP, bukan sekadar untuk sastra. ”Sastra haruslah memiliki manfaat maksimal bagi pengembangan budaya bangsa dan penegak moral bangsa,” kata Helvy.
Kehadiran FLP, menurut Maman, ibarat pepatah, ”datang pada saat yang tepat, di tempat yang tepat, dan dalam waktu yang tepat.” Kehadiran FLP, katanya, laksana menjawab harapan sejumlah besar kaum remaja Indonesia akan kebutuhan belajar menulis dan mengarang.
Gerakan FLP, tambah Maman, sesungguhnya bersinergi dengan gerakan yang dilakukan Majalah Horison melalui berbagai programnya serta komunitas sastra lainnya yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia.
Selama satu dasawarsa ini, FLP telah berhasil melakukan massalisasi kegiatan bersastra yang mencakupi wilayah begitu luas. Selain itu, menurut Maman, citra eksklusif yang awalnya melekat pada FLP, lambat laun sudah mencair. Masyarakat sastra kini mulai memperhitungkan kontribusi yang telah diperlihatkan FLP. Apalagi, ratusan buku telah diterbitkan dan sejumlah penulis potensial telah dilahirkan. (burhanuddin bella/ayeha )