Benny Benke
suaramerdeka.com
Debra Yatim, aktifitas perempuan itu pelan, dan takzim mulai melagukan salah satu nukilan novel Pendar Jingga di Langit Ka’bah. Dalam iringan gitar akustik, gitar melodi, dan seorang nasyid yang bersenandung, larik demi larik petilan novel karya Naimah Herawati Hizboel itu menawarkan kenglangutan. Tak berapa lama kemudian, tepat pada iringan musik yang mulai meninggi, nada Yatim pun meninggi, sebelum akhirnya menyudahi pembacaan pertama atas novel itu.
Demikianlah, jika sejumlah aktivis perempuan, dan cerpenis sekelas Kurnia Effendi memaknai novel memoar itu, dengan cara melagukan. Lagu yang mereka bawakan, tentu saja tidak seketat titi nadanya sebagaimana lagu pada umumnya. Namun, membaca novel dengan cara melagukan, dalam iringan musik hidup, ternyata masih menyenangkan.
Meski dalam beberapa hal, cara pelaguan itu, sebagaimana dikatakan pemerhati musik Ipik Tanoyo, tak ubahnya musikalisasi puisi. Yang kerap dipertontonkan dalam rilis-rilis buku puisi para penyair, semacam rilis CD kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, milik Sapardi Djoko Damono. Atau musikalisasi puisi milik Romo Mudji Sutrisno.
Untuk kasus Pendar Jingga, yang dimata Kurnia Effendi secara isi tidak istimewa-istimewa amat, alias biasa saja itu, ternyata juga tetap menyimpan sesuatu untuk dikabarkan. Karena, ujar dia, sebuah karya dalam bentuk apapun, jika dibuat dalam semangat kesadaran untuk mengabarkan kebaikan, ”Pasti tersimpan pencerahan,” katanya di Jakarta, Senin (10/5).
Pencerahan itulah, yang coba dilagukan atas novel Pendar Jingga. Pendar Jingga adalah karya kreatif Herawati. Wartawan, penulis, dan produser sejumlah program seperti Sketsa Seni yang diputar salah satu stasiun TV sepanjang 26 episode. Kemudian program Titik Balik sepanjang 65 episode, dan Gaya Q sepanjang 13 episode. Dari ketekunannya itulah, sebuah karya novel perdana lahir. Yang kemudian dilagukan sesuai pemahaman yang melagukannya. Sebuah lagu bebas, untuk sebuah novel yang juga bebas dibaca siapa saja, kata Herawati.
***