Wahyudin *
jawapos.com
Pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa, Jenderal Soeharto mengumumkan pemberhentian dirinya sebagai presiden Republik Indonesia. Pengumuman itu mengalun pelan, datar, dan singkat, tak lebih dari sepeminuman kopi pagi, pukul 09.09 WIB, tapi bak hujan sehari menyeka panas setahun, yang menampik syak wasangka bahwa Indonesia serupa kapal perang tua yang bakal tenggelam oleh empasan gelombang krisis ekonomi, kakacauan politik, dan kerusuhan masal.
Pengumuman itu tidak hanya merupakan jawaban atas tuntutan puluhan ribu mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR dua hari sebelumnya dan membuktikan kefanaan kekuasaan Orde Baru-Soeharto. Tapi, juga menghablurkan keyakinan bahwa Indonesia masih berpengharapan baik akan masa depan yang sentosa, meskipun masih banyak yang tertinggal, mencengkeram waktu di dalam jemari sang despot dan antek-anteknya yang terawetkan oleh bedil dan indoktrinasi, dan berkeberatan untuk merelakannya berjalan di atas cita-cita reformasi.
Tapi, seperti pernah diutarakan Azyumardi Azra, Reformasi 1998 adalah sebuah keajaiban dalam sejarah Indonesia modern, selain Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang memungkinkan Indonesia bertahan dari keterpurukan eko?nomi, sosial, dan politik.
Tak ada seorang pun yang kuasa menghadang arus reformasi pada waktu itu, sekalipun kini, setelah lebih dari satu dasawarsa berlalu, setelah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie -korban Tragedi Trisakti 12 Mei 1998- berkalang tanah. Keajaiban itu semakin jauh panggang dari api karena, pinjam kata-kata sejarawan Asvi Warman Adam, salah urus dalam pengelolaan negara. ”Salah urus yang terjadi di negeri ini terutama karena suatu urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya,” ujar Asvi.
Bagaimanapun, di antara keajaiban dan salah urus itu, harapan untuk Indonesia yang adil dan beradab belumlah sirna. Asalkan, seturut pandangan Asvi Warman Adam, kita mau mengatasi kekurangan pada masa lalu dengan menyerahkan sesuatu urusan kepada ahlinya sehingga tidak terjadi lagi salah urus di negeri yang amat indah dan kaya dengan sumber daya alam ini.
Atas pengharapan itu, saya teringat kata-kata seorang teman aktivis mahasiswa Angkatan 98 di Jogjakarta yang, mengutip kalimat Thomas H. Cook, ”Bila kau mengenang masa-masa itu, kenangan itu kembali kepadamu dalam serangkaian foto-foto.”
Serangkaian foto-foto itu, dengan kata lain, merupakan artefak sejarah yang memungkinkan kita mempertautkan diri dengan cerita-peristiwa dan sosok-pokok di masa lalu. Sebagai artefak sejarah, mengikuti pendapat Susan Sontag, foto memiliki daya tarik serupa objek temuan yang dapat bertukar tangkap status antara gengsi seni dan sihir kenyataan, di situ megafantasi berarak dan peluru informasi berdesing.
Daya tarik itulah yang memikat pelukis Dadang Rukmana untuk menemurupakan sejarah di atas lembaran-lembaran kanvas. Itu dipertontonkannya dalam pameran tunggal bertajuk History (Will Teach Us Nothing) di Nadi Gallery, Jakarta, 25 Agustus-6 September 2010. Dalam pameran yang dikuratori Enin Supriyanto itu, Dadang mengusung 17 lukisan hitam putih bertarih 2009-2010 yang menggurat sosok-pokok dan cerita-peristiwa sejarah kegeruhan manusia di muka bumi ini, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam sejumlah kesempatan bertandang ke studionya di Kota Malang, saya pernah bertanya gerangan apa yang menyerunya untuk menemurupakan foto-foto nan pedih perih yang bisa membikin kita menderu-dendam pada ketamakan, kedurjanaan, dan ketakadilan itu? Pelukis kelahiran Bandung, 10 Oktober 1964, itu menjawab, ”Sebuah peristiwa sepahit atau sengeri apa pun pada akhirnya hanya akan jadi kenangan.”
Atas jawaban tersebut, saya menyelanya dengan petikan pernyataan dari Goenawan Mohamad bahwa ”Dalam mengenang tersirat lupa; di dalamnya senantiasa ada proses seleksi.” Pelukis yang pernah belajar di Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol, Bandung, di bawah bimbingan mendiang pelukis Barli Sasmitawinata itu mengakurinya dengan menegaskan, ”Justru itu sebabnya kenapa saya memilih foto-foto yang berisi cerita dan peristiwa tragis manusia yang kini telah melayap tanpa terkatakan, yang membuktikan bahwa kita memang mudah lupa pada sesuatu yang mengandung bisa dan yang mengakibatan luka.”
Dengan pertimbangan pemikiran itu, Dadang Rukmana mendayagunakan teknik kerok: mengosek bidang gambar di atas kanvas tahap demi tahap hingga mencapai nada nan samar-samar, semacam penyesalan atas ingatan kita yang berkabut. Dengan teknik tersebut, lukisan-lukisan mutakhirnya kali ini menampakkan diri sebagai, pinjam istilah penulis Susan Sontag, the model of a statement. Yaitu, karya seni sebagai pernyataan seniman.
Dalam hal ini, pernyataan Dadang Rukmana berkenaan dengan persepsi dan sikap kita terhadap sosok-pokok bersejarah yang tragis, alih-alih korban dari apa yang disebut filsuf Hannah Arendt ”banalnya kedurjanaan”. Maka, saya kira, tak berlebihan untuk mengatakan bahwa Soeharto, seperti yang ditemurupakannya dalam May 21, 1998 (Fall of Soeharto), adalah korban dari lilitan gurita kekuasaannya sendiri, yang pada saat kejatuhannya meminta korban yang tak sedikit. Di antaranya, para mahasiswa dan aktivis reformasi, yang sampai saat ini tak jua beroleh kejelasan dan keadilan nasib mereka.
Begitu pula yang bisa dikatakan tentang John F. Kennedy sebagaimana tergurat dalam Nov 22, 1963 (John F. Kennedy Assassination), yang ditembak mati pada 22 November 1963 oleh seorang mantan Marinir dan pemeluk teguh komunisme bernama Lee Harvey Oswald, yang kecewa atas perlakuan Amerika Serikat terhadap Kuba. Padahal, seperti dikemukakan Larry Gonick, tiga pekan sebelumnya, sang presiden merestui pembunuhan pemimpin Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem yang korup dan bengis, terutama terhadap umat Buddha, dan menggantinya dengan Kolonel Nguyen Cao Ky.
Demikianlah, dalam setiap permainan kotor politik, kekuasaan yang lalim, ambisi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak mengindahkan kemanusiaan, senantiasa ada korban yang berjatuhan -terutama rakyat biasa, perempuan, dan anak-anak- yang tak kita tahu setinggi apa duka maha bertahkta di lidah dan hati mereka.
Dadang Rukmana menemurupakan itu semua, antara lain, dalam Aug 09, 1945 (Atomic Bomb on Nagasaki); Sep 30, 2000 (The Death of Muhammad Rami Jamal al-Durrah); Sep 11, 2001 (WTC 2 Plane); April 08, 1990 (Ryan White, Gone Too Soon); April 26, 1986 (Chernobyl Disaster); dan Dec 1996 (Refugees Cross into Tanzania December), dengan pesimisme melankolis nan miris, bahwa sejarah tak mengajarkan kita apa-apa. Karena itu, kita hidup dalam sabur limbur angka-tanggal-waktu, cerita-peristiwa, dan sosok-pokok, yang melayap sonder pamit, seperti kabut pagi yang melintas tipis, datar, dan sebentar.
Bagaimanapun, pesimisme melankolis itu telah mengkristalkan kehendak Dadang Rukmana untuk tak sekadar mengalihkan bentuk foto menjadi gambar dan berargumen tentang kenangan geruh-gerah manusia di atas kanvas. Tapi, juga mendayagunakan seni lukis sebagai sebentuk pencarian dan penemuan moralitas sejarah dengan cara empatik di dunia yang berlari tunggang langgang membawa luka, bisa, dan ingatan yang berkabut ini.
*) Kurator seni rupa, mastautin di Jogjakarta