Rohyati Sofjan
http://www.suarakarya-online.com/
Pertama kali saya kenal Forrest Gump di sobekan koran bungkus makanan, entah kala 1 atau 2 SMU. Isinya resensi film yang dimainkan Tom Hanks. Namun waktu itu saya tinggal di sudut kampung Kabupaten Garut yang jauh dari perkotaan dan sekira dua jam perjalanan dari Bandung.
Maka saya pupus ketertarikan pada isu aktual tentang film terbaik saat itu. Sampai kemudian, saya baca iklan buku di majalah Intisari tentang Forrest Gump, lalu bermimpi kelak akan bisa memilikinya. Lantas mimpi itu terbawa dalam suatu cerpen saya. Cerpen amatiran dari pelajar 1 atau 2 SMU yang kesengsem dengan isi resensi film dan iklan buku idamannya. Seorang lelaki bernama Fred Marshall memberi buku itu untuk saya. Cerpen romantis yang barangkali akan ditertawakan kawan-kawan penulis di Mnemonic, dan sampai sekarang saya cengar-cengir mengingatnya. Bagaimana sebuah buku sangat menginspirasi padahal belum pernah dibaca?!
Lalu, 6 Juni 1997, sehabis ujian akhir SMU, setelah sempat kesasar selama entah berapa jam menyusuri jalanan Kota Bandung gara-gara dari rumah teman di Antapani salah naik kendaraan; akhirnya saya temukan buku tersebut di sudut gerai Gramedia Merdeka. Eureka!
Sebagai seorang remaja, saya menikmati Gump dengan perasaan takjub dan riang. Bisa tertawa lepas menikmati lembaran halamannya. Bayangkan jelang tengah malam, di sudut kampung yang jauh dari kecamatan, seorang perempuan muda ngakak habis-habisan. Padahal sorenya sempat kelimpungan kala tersesat lalu didamprat ibu gara-gara tiba di rumah pas jam setengah sepuluh malam sendirian sebab terhalang di terminal. Namun saya puas dan bahagia bisa mewujudkan mimpi, sekaligus bangga karena upaya saya ternyata tak sia-sia demi sebuah buku yang tak ternilai harganya dari segi nominal mana pun.
Namun sekarang, ketika membaca ulang Gump untuk entah ke berapa kalinya, saya tak tahu haruskah merindukan masa lugu itu dalam menikmati sesuatu. Proses pendewasaan atau pematangan, belum lagi dunia pilihan yang ingin total saya tekuni; bisakah saya sepiawai Winston Groom, orang di balik layar yang demikian cerdas memainkan melodrama manusia dengan kombinasi kepahitan dan kelucuan tak terbayangkan, semacam “satire yang dituturkan dengan sangat terkendali” seperti review Washington Post Book World di belakang sampulnya.
Dalam surel panjang berantai yang saya sebarkan pada beberapa kawan dekat tepercaya, topik Gump mengusik saya untuk didiskusikan. Soal perbedaan antara buku dengan filmnya: “Mengapa film selalu dibuat berbeda dengan isi buku/novel/komiknya?
Forrest Gump (FG) menampilkan simpati dan kesedihan dari kemuraman lakon manusia ketika mengisi wajah dunia. Saat melihat akting Tom Hanks, saya sama sekali tak bisa tertawa. Tersenyum pun tidak. Sungguh jauh berbeda dengan isi novelnya yang gila-gilaan. Saya disadarkan pada sesuatu, realitas yang sublim dan menyatu: “the other”.
Memang sayang di sana tak ada tokoh dan penggalan cerita sebagaimana laiknya yang Winston Groom tuangkan. Tak ada Sue, tak ada detail penerbangan ke Bulan yang konyol, tak ada Suku Pigmi versus Suku Kanibal (sungguh aneh betapa pemakan sesama bisa kalah dengan orang cebol pengumpul kepala, tidakkah Groom sedang mengejek para kanibal tak lebih dari ‘raksasa pengecut’ yang menyediakan kepala mereka untuk diciutkan?), dan tak ada adegan gila-gilaan lainnya.
Menonton GF jauh berbeda dibanding dengan membacanya. Apalagi saya terlebih dahulu membaca novelnya – gara-gara tertarik pada resensi filmnya di sobekan koran bungkus makanan sampai iklan novel di majalah Intisari. Rasa kecewa seketika juga meruyak. Apakah Groom pun merasakan hal serupa?”
Surel itu mendapat tanggapan dari dua orang kawan. Pandangan bernuansa pragmatis dengan latar belakang jurnalis. Namun sama sekali tidak menelaah soal novel Gump, malah melantur pada soal film dan buku dalam versi masing-masing.
Lalu, kala menelaah ulang Gump, saya membayangkan seandainya ada segelintir penulis Indonesia yang bisa gila-gilaan secara cerdas dan berimbang. Kualitas humor yang menjungkirbalikkan nilai acuan masyarakat sekitar, tentang apa itu kesempurnaan dan harapan dalam pandangan yang dianggap “terbelakang” atau “orang buangan” karena berbeda.
Wajar saya bereaksi seperti paparan di atas kala menonton film FG sebab merupakan bagian “orang buangan” yang “berbeda”, sebagai tunarungu. Namun saya mengagumi keriangan Groom dalam memaparkan hal-ihwal kehidupan dengan ringan sekaligus tajam dan mendalam.
Bagaimana arena sekolah, football, kampus, perang, band, demo, roket, hutan, pingpong, panco, gulat, catur, film, udang, konglomerat, sampai gelandangan; mewarnai hidup Gump yang penuh petualangan. Tahu-tahu kita sampai di bagian akhir halaman dan harus selesai. Halaman yang dengan berat hati harus diakhiri sebab cerita rasanya tak mesti selesai di lembar sekian sebuah buku setebal 302 halaman.
Simaklah Groom yang sedang mengejek tatanan mapan struktur sosial dan peradaban lewat tokoh-tokoh imajinernya, mengurainya satu per satu, menjalinnya dalam bangunan struktur cerita yang apik sekaligus asyik. Hal tak masuk akal dibuat wajar tanpa berlebihan lalu menyeret ruang imajinernya pada ketakterdugaan. Bahwa pertemuan dan perpisahan merupakan bagian dari Skenario Besar yang bisa diskenariokan.
Saya tak merasa rugi menyimak lembar demi lembar halaman kehidupan Gump. Selalu ada hal berbeda di sana. Penjungkirbalikan logika bukan fakta. Keberanian menggali sudut terdalam dari sisi gelap kehidupan lewat humor hitam yang “bergema”. Humor yang sebenarnya sangat berlimpah di bumi Indonesia, tinggal beranikah penulis kita merangkum “kegilaan-kegilaan” yang menyesakkan itu? Sebagaimana Groom merangkumnya secara cerdas dan bernas pula? keberanian untuk menertawakan diri sendiri, di tengah kemelaratan dan “kemewahan”?***
Catatan Redaksi:
Rohyati Sofjan, menulis puisi, cerita pendek dan esai di beberapa koran lokal dan nasional yang terbit di Bandung. Penulis juga rajin mengisi kolom sastra Harian Umum Suara Karya, kini berdomisili di Desa Ciwangi, Kp. Cipeujeuh RT 5 RW 2, No. 395 Limbangan, Garut, Jawa Barat 44186.