Skandal TUK Manipulasi Sejarah Sastra Jatim
Achmad Farid Tuasikal
cetak.kompas.com
“Bila politik menyesaki kehidupan bangsa dan kotoran, maka sastralah yang mampu membersihkannya.” (John F Kennedy).
Tepatnya, apabila politik itu bengkok, sastralah yang meluruskannya. Penyair dan karyanya (sastra) adalah bagian dari sejarah pergerakan bangsanya. Mereka memiliki peran penting dan strategis dalam upaya menjaga dan memompa semangat rakyat dalam melawan kejahatan, seperti penguasa zalim, penindas, korupsi, dan manipulasi.
Namun kenyataan di lapangan, sastra justru dipolitikkan. Politik disastrakan. Semua ini terjadi pada tubuh kesusastraan di Jatim dengan sebuah asumsi dan apologi “Menegakkan Estetika Alternatif”, tulisan Beni Setia (Kompas, 13/8). Dalam tulisan ini, Beni Setia hanya menyebarkan isu tentang menariknya menelusuri fenomena estetika Teater Utan Kayu (TUK) tanpa adanya pembuktian-pembuktian konkret tentang kehebatan TUK yang dia agungkan. Dengan demikian, bisa dikatakan TUK tidak mempunyai sebuah karya yang monumental dan rendah kadar estetikanya.
Hal ini berbeda dengan pernyataan W Haryanto yang melakukan riset (penelitian) tentang karya-karya penyair Utan Kayu. Riset itu membuktikan bahwa karya-karya (puisi) penyair Utan Kayu berkualitas rendah, tidak orisinal, dan tidak otentik. Kemudian riset prosa “Prosa Mutakhir Indonesia: Game Over” (SP, 1 dan 8 Maret 2009) juga membuktikan rendahnya kualitas prosa-prosa Utan Kayu. Kedua riset ini tidak pernah dibantah dan disanggah, bahkan jadi polemik pun tidak.
Apabila Beni Setia bicara tentang menegakkan estetika, nama Wahyu Prasetya dan karyanya (puisi) harus ada dalam antologi puisi Pesta Penyair. Ini karena Wahyu Prasetya punya level estetika sangat tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang TUK. Bahkan lebih dahsyat lagi, estetika dalam karya-karya Wahyu Prasetya sangat memengaruhi karya- karya penyair yang diagungkan di Jatim (Afrizal Malna). Wahyu Prasetya bukanlah produk Utan Kayu, melainkan produk proses panjang perpuisian di Jatim. Sungguh konyol apabila namanya harus dihapus dari sejarah sastra Jatim melalui buku antologi puisi Pesta Penyair. Dan, itu adalah sebuah kesengajaan (manipulasi) karena Wahyu Prasetya bukan produk TUK.
Sejarah panjang
Apabila hanya berasumsi dengan “selera” (determinasi), kuratornya tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah sastra (perpuisian) di Jatim. Alhasil, buku antologi puisi Pesta Penyair itu hanya memuat dan mencatat nama-nama serta karya-karya yang tidak memiliki sejarah panjang di Jatim.
Pernyataan Beni Setia tentang “kegelisahan” Tjahjono Widijanto pada acara Temu Sastrawan Jatim 2009, yang mengaku kesulitan menginventarisasi karya sastra Jatim, sudah cukup jelas dan membuktikan bahwa Tjahjono Widijanto tidak tahu dan tidak kenal peta (komunitas-komunitas sastra Jatim) serta sejarah perpuisian di Jatim. Konyolnya lagi, Tjahjono Widijanto hanya membaca karya-karya Jatim dari koran-koran terbitan Jakarta.
Seharusnya Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dalam hal ini sebagai lembaga kesenian di Jatim yang mewakili dan menjadi penampung karya sastra Jatim serta harus berdiri sendiri dan independen, tidak memasukkan kepentingan-kepentingan politik TUK yang diperangi “Boemipoetra” dengan tokohnya Saut Situmorang, begitupun sebaliknya dengan kepentingan-kepentingan politiknya DKJT. Dan perlu “dicatat”, sastra Jatim tidak ada hubungannya dengan Saut Situmorang. Maka, seharusnya DKJT tidak ada kaitannya dengan TUK dan BoemiPoetra. DKJT harus netral. Namun kenyataannya, komite sastra DKJT membawa kepentingan TUK. Hal ini tepat sekali dengan apa yang ditulis Dwi Pranoto dalam esainya, “Identitas Kultural dan Politik Sastra” (Kompas, 12/8).
Adalah hal yang sangat tidak obyektif dan bertentangan dengan apologinya, sangat disayangkan sekali jika seorang Beni Setia, yang cerpenis, esais, dan penyair, memberi pernyataan atau sebuah apologi terhadap DKJT yang seharusnya memperbaiki cara kerja kreatifnya, terlebih untuk kepentingan bersama itu.
Setiap pengarang atau penulis pasti ada limitnya ketika sudah tidak punya gagasan dan ide cemerlang. Maka, bisa jadi pandangan Beni Setia (Kompas, 13/8) adalah strategi untuk menarik perhatian panitia Temu Sastra Jatim 2010 agar dia dijadikan narasumber lagi dalam ajang tersebut. Apabila DKJT tidak bisa menerima kritik-kritik sebagai “kacamata baca” dalam esai-esai yang termuat di Kompas baru- baru ini, alangkah lebih baiknya kalau “komite sastra” DKJT itu dibubarkan saja karena tidak punya pengelolaan sastra yang jelas. Tanpa DKJT pun sastra dan sastrawan Jatim bisa berkembang dengan sendirinya.
*) Achmad Farid Tuasikal, Sastrawan