Puisi Goethe Mendarat di Pondok Pesantren

M Hari Atmoko

Dari tempat yang agak remang di beranda gedung itu, Najah mengacungkan tangannya, tanda dia ingin mengajukan pertanyaan kepada penyair berasal dari Jerman, Berthold Damshauser.

Dorothea Rosa Herliany, moderator “Dialog Karya-Karya Goethe: Perintis Dialog Islam-Barat” di kompleks Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu tampaknya tak melihat acungan tangan remaja itu.

Ia memberikan kesempatan kepada penanya lain yang duduk bersila di ujung karpet di halaman gedung itu. Pada sesi berikutnya kesempatan bertanya diberikan Rosa kepada Najah setelah kawan-kawan sederetnya memberitahu bahwa Najah ingin bertanya.

Malam itu, Berthold, atas sponsor Goethe Institut, mewartakan puisi-puisi karya pujangga besar Jerman itu ke Ponpes Tegalrejo, salah satu di antara empat tempat di Jateng, selama empat hari terakhir.

Tiga tempat lainnya adalah Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, dan Taman Budaya Surakarta Solo. “Inspirasi apa yang membuat Goethe menghasilkan karya-karya puisinya,” tanya Najah.

Hingga menjelang tengah malam menuju hari “H” Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu Berthold ditemani Rosa yang juga penyair Magelang dan Sosiawan Leak, penyair Solo, membacakan sejumlah puisi karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832).

Berthold membacakan sejumlah puisi Goethe berbahasa Jerman sedangkan Rosa dan Leak membacakan puisi Goethe dalam terjemahan bahasa Indonesia.

Berthold yang juga Dosen Sastra dan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman sejak Tahun 1986 itu bersama penyair Agus R. Sarjono telah menerjemahkan puisi-puisi karya Goethe dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia.

Puisi-puisi Goethe dalam dua bahasa itu selanjutnya oleh Penerbit Horison Jakarta diterbitkan menjadi buku Seri Keempat Puisi Jerman berjudul “Johann Wolfgang von Goethe, Satu dan Segalanya” (2007).

Dari panggung kecil di halaman kompleks yang berproperti lampu listrik di atas karpet, deretan puluhan lentera, tatanan indah beberapa lembar “blarak” (daun kelapa), dan kain motif batik di belakangnya itu, puisi berjudul “Raja Mambang” dibaca pertama kali oleh Leak disusul pembacaan puisi itu dengan bahasa aslinya (Jerman), “Erlkonig”, oleh Berthold yang juga dikenal dengan sebutan “Pak Trum” itu.

Rosa pun menyusul dengan suguhan berturut-turut tiga puisi pendek Goethe bernada cinta, “Dari Gunung Ke Laut” (Vom Berge In die See), “Dari Gunung” (Vom Berge), dan “Dendang Malam Pengembara” (Wanderers Nachtlied).

Ratusan mereka yang hadir seperti budayawan Ahmad Tohari (Kang Tohari), Sutanto Mendut, Romo Kirdjito, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), penyair Magelang ES Wibowo, Haris Kertarajasa, dan Gepeng Nugroho, pelukis Dedy Paw, pematung Cipto Purnomo, serta para siswa dan santri salah satu ponpes kharismatis di Jateng itu, seakan tertegun dalam kenikmatan untaian kata-kata puitis Goethe.

Suara bersahutan puluhan jangkrik dari tempat persembunyiannya di balik rerumputan dan lantunan bunyi beberapa ekor katak di kolam halaman kompleks itu seakan mengiringi darasan puisi-puisi Goethe.

Terdengar di kejauhan, sayup-sayup suara merdu tanpa pengeras suara, sekumpulan warga setempat berpadu dalam takzim lantunan ayat suci Alquran pada malam menjelang Maulud Nabi itu.

Seorang santri mengenakan baju batik, bersarung, dan berkopiah warna hitam, berjalan maju perlahan sambil agak membungkukkan badannya sebagai tanda hormat, membawa nampan berisi beberapa gelas isi teh hangat untuk Berthold, Rosa, dan Leak yang duduk berderet di bangku panggung pendek berukuran sekitar delapan meter persegi itu.

“Ini puisi cinta Goethe, ketika dia jatuh cinta kepada gadis bernama Lili dan ketika dia putus cinta dengan Lili,” kata Rosa.

Sederet puisi lain Goethe seperti “Mukadimah Diwan” (Zum Diwan), nukilan “Kitab Parabel” (Buch Der Parabeln), “Sabda Sang Nabi” (Der Prophet Spricht), nukilan “Kitab Kedai Minuman” (Das Schenkenbuch), “Rindu Dendam” (Selige Sehnsucht), dan “Prarasa” (Vorschmack) yang disuguhkan tiga penyair dari bawah langit terang malam itu, serasa melesak relung benak, jiwa, dan raga mereka yang duduk bersila di atas karpet warna hijau itu.

Berthold adalah penerjemah puisi dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia dan sebaliknya. Hingga saat ini dia telah menerjemahkan ke bahasa Indonesia puisi karya Bertolt Brecht, Paul Celan, Hans Magnus Enzensberger, Rainer Maria Rilke, dan Goethe.

Sejumlah puisi Friedrich Nietzsche, generasi setelah Goethe, telah selesai diterjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan rencananya terbit pada September 2010.

Berthold lahir di Wanne-Eickel, Jerman pada 8 Februari 1957, belajar sastra Jerman dan Indonesia di Universitas Koln Jerman dan menyelesaikan tesisnya tentang pengarang Indonesia, Trisno Sumardjo, pada 1983. Ia melanjutkan studi pascasarjana di Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Jawa di Universitas Indonesia Jakarta pada 1984.

Pada 1997, Berthold yang beristri perempuan Indonesia berasal dari Semarang itu ikut mendirikan Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra yang diprakarsai Presiden RI dan Kanselir Jerman.

“Saya kenal baik dengan Pak Berthold, saya pernah menginap di rumahnya di Jerman,” kata Kang Tohari, penyair berasal dari Banyumas yang dikenal dengan novel karyanya “Ronggeng Dukuh Paruk” itu ketika sesi pembukaan pementasan puisi Goethe itu.

Ia, katanya, sangat paham tentang sastra Indonesia. Ponpes Tegalrejo, katanya, beruntung karena kehadiran Berthold malam itu membawa karya Goethe, puisi-puisi sang pujangga besar dunia itu yang menjadi titik masuk dialog antara Islam-Barat sejak abad ke-18.

Berthold mengatakan, Goethe yang lahir 28 Agustus 1974 di Frankfurt Jerman mengenyam berbagai buku koleksi di rumahnya.

Perhatian orang tuanya yang juga ahli hukum, Johann Caspar Goethe, sedemikian besar terhadap pendidikan anaknya itu sehingga Goethe besar dalam dunia intelektual yang subur.

“Ia menemukan banyak buku dan informasi, kalau inspirasi, bagi saya sedikit gaib, mengarah ke wahyu. Kesenian juga puisi dari alam transendental, dan dia mengurusnya,” kata Berthold ketika menjawab pertayaan Najah.

Goethe adalah pujangga besar, hebat sebagai sastrawan, pelukis, budayawan, filsuf, saintis dan bahkan penemu, juga politikus dan negarawan.

Ia pernah menjabat sebagai perdana menteri dengan gelar “von” di negara kecil di Jerman, Weimar dan kelak menjadikan Weimar sebagai “Kota Goethe” dan pusat kebudayaan Eropa. Dan di Weimar lah dia menghembuskan akhir hayatnya.

Napoleon Bonaparte yang telah mengalahkan Eropa datang kepadanya pada Tahun 1808 dan meminta sang pujangga itu tinggal di Paris untuk menciptakan karya-karya drama yang menggambarkan kepahlawanannya.

“Tentu Goethe tidak bersedia seperti itu,” katanya.

Berthold mengatakan, sekitar 200 tahun lalu Goethe telah menaruh minat besar terhadap Islam melalui karya-karya sastranya dan bahkan dia tidak menolak dengan anggapan bahwa dirinya Islam karena Goethe tidak berpikir tentang hal formal.

“Agama Islam menurut Goethe sifatnya berserah diri kepada Tuhan,” katanya.

Kang Tohari malam itu mengutip pernyataan Goethe, “Kalau Islam dimaknai berserah diri kepada Tuhan, kita semua hidup dan mati dalam Islam.”Ini tataran sufi,” katanya.

Salah satu terjemahan kutipan puisi Goethe. “Kitab Kedai Minuman”, di halaman 109 buku Seri Keempat Puisi Jerman itu nampaknya amunisi diskusi menarik bagi Kang Tohari.

“Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu! Bahwa ia kitab segala kitab, Sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, Mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia”.

Logika Goethe, katanya, anggur suatu keniscayaan yang bisa diukur oleh siapapun, tetapi Alquran tidak bisa ditafsirkan secara mutlak.

“Adik-adik silakan membaca yang tinggi-tinggi tetapi jangan lupa mencari pendamping yang bisa menerangkan tentang apa itu abadi,” katanya.

Gus Yusuf yang juga salah satu pengasuh Ponpes Tegalrejo itu mengatakan, kebenaran mutlak berujung surga. Tetapi surga bukan hanya milik salah satu pihak.

Goethe yang sastrawan Barat, katanya, telah mendalami sufistik Islam dan meninggalkan ruang material sehingga memberikan penghargaan yang tepat dan mengagumkan kepada orang lain.

Sejumlah orang yang terjebak formalitas, katanya, dia seolah pemilik surga sedangkan orang lain tidak memilikinya.

Ia mengatakan, Berthold yang mengusung puisi-puisi Goethe malam itu sebagai pengalaman baru bagi para santri Tegalrejo.

Suasana yang terbangun malam menjelang Maulud Nabi itu seakan mengambarkan Tegalrejo sedang mereguk nikmatnya puisi bertema dialog Barat-Islam Goethe.

Sang kiai itu pun dengan nada yang terlihat santun dan rendah hati mengharapkan banyak ruang dialog di Tegalrejo.

Ponpes Tegalrejo didirikan pada Tahun 1944 oleh KH Chudlori (Wafat Tahun 1977), kini memiliki sekitar lima ribu santri putra dan putri berasal dari berbagai daerah. Guru bangsa dan tokoh pluralisme yang juga mantan Presiden ke-4 RI, almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1957-1959 menjadi santri di ponpes itu.

Ia mengatakan, Tegalrejo memang mempunyai pakem yaitu keyakinan tentang suatu kebenaran.

Tetapi, katanya, ponpes itu juga memberi ruang penghargaan tentang kebenaran yang dipercaya orang lain sehingga Tegalrejo ingin selalu terlibat dalam dialog kemanusiaan.

“Karena agama untuk mentuhankan Tuhan dan memanusiakan manusia,” katanya.

Ia menyatakan kebanggaan Tegalrejo karena terlibat dalam dialog Islam-Barat yang dirintis Goethe sejak abad ke-18.

“Puisi-puisi Goethe memberikan pencerahan bagi kami untuk mengamalkan Islam yang `rahmatan lil alamin`, Islam yang mengayomi, Islam yang mengasihi sesama manusia,” kata Gus Yusuf.(ant).

http://www.pos-kupang.com/getrss/viewrss.php?id=43751

Leave a Reply

Bahasa ยป