Puisi Pemilu Pesimistis Emha Ainun Najib

Seno Joko Suyono, Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

Aku melihat wajahmu
Menghiasi kota-kota dan desa-desa
Terpampang sangat besar
Di ratusan titik di jalan-jalan besar
Maupun di pelosok-pelosok

Engkau meminta agar aku mencontrengmu
Dan aku siap untuk itu, aku siap mencontrengmu
Tapi siapakah engkau ini? Kita belum berkenalan

Emha tak peduli apakah itu puisi atau bukan. Apakah itu pamflet atau unek-unek. Apakah itu bermutu atau tidak bagi para kritikus sastra. Ia pada malam itu hanya menginginkan pengunjung bersama-sama berdoa untuk para korban Situ Gintung. Ia juga mengingatkan para calon legislator yang tak banyak dikenal oleh publik itu atas musibah-musibah yang tak henti-hentinya menimpa negeri ini.

Itulah inti acara bertajuk “Jangan Cintai Ibu Pertiwi”. Puisi di atas dibacakan aktor Novi Budianto dengan cara yang kocak. Ia menyaru sebagai kakek-kakek. Sembari memutar-mutar tongkatnya, ia seperti orang tua yang keki melihat begitu berjibunnya poster-poster calon legislator yang tak dikenalnya.

Memasuki lobi Gedung Kesenian Jakarta, Kamis-Jumat, 2-3 April kemarin, penonton sudah disuguhi empat patung jerami seukuran manusia di lobi gedung. Salah satu patung menggambarkan sesosok orang tersungkur, berlutut dengan pedang kayu di tangan kanan, dan neraca di tangan kiri. Itulah lambang dewi keadilan yang buta dan lemah. Di panggung sendiri, dipasang sosok perempuan “Ibu Pertiwi” setinggi 4 meter. Figur itu tampak lemah lunglai. Tali-temali dari empat arah mengikatnya agar tak jatuh.

Terlihat pula satu set gamelan Kyai Kanjeng. Para aktor Teater Dinasti yang sudah sepuh, Fajar Suharno, Tertib Suratmo, dan Bambang Susiawan, bersimpuh di lantai. Mereka bergantian membacakan puisi-puisi Emha. Novi Budianto sendiri mengajak aktor Joko Kamto untuk membaca bersama. Mereka diiringi musik Kyai Kanjeng. Di panggung layar terlihat tampilan visual dari drawing karya almarhum perupa Hendro Suseno, tentang masyarakat Indonesia yang berwatak “homo homini lupus” sampai parodi para calon legislator.

Saat Joko Kamto tampil, panggung sontak hangat. Ia membacakan puisi Indonesia Maafkan Aku.

Indonesia
Maafkan aku tak bisa menolongmu
Karena engkau terlalu kuat bagiku
Dan aku terlalu lemah bagimu

Emha pada malam itu ingin menunjukkan bahwa komunitasnya plural. “Siapa di sini yang Katolik?” tanyanya. Beberapa anggota mengacungkan tangan. Lalu Emha menyanyikan Imagine karya John Lennon. Dengan sokongan personel Letto, Kyai Kanjeng kemudian membawakan lagu berwarna Timur Tengah hingga musik gereja. Ucapan “shalom” dan “salaam alaik” bercampur. Ada pula penggalan nada lagu Joy to The World. Lirik Gloria, in Exelcis Deo dilantunkan bersusulan dengan selawat kepada Nabi Muhammad.

Ketika aktor pantomim Jemek Supardi masuk ke panggung, ia ditanya Emha, “Jemek, agamamu apa?” Dijawab Jemek dengan spontan, “Tak punya agama.” Ainun tertawa. Ainun, yang bersahabat dengan Jemek selama 35 tahun, lalu menjelaskan kepada hadirin bahwa Jemek bisa “beragama” Buddha, Katolik, atau Islam. “Semua agama menyerap ke dalam diri Jemek,” katanya. Jemek sendiri, malam itu, berlaku sebagai anak kecil dengan kuncung di gundulnya. Ia dipanggul seorang kru dan kemudian mencolek-colek “Ibu Pertiwi” di panggung, mencuri sesuatu dari tubuh “Ibu Pertiwi”, dan kemudian lari.

Poster-poster calon legislator agaknya menjadi obyek sindiran Emha. Satu puisinya mengingatkan para calon legislator, bahkan Nabi Muhammad pun tak ingin dikenali wajahnya. Judul puisi itu Penawaran.

Kenapa kau pampang-pampangkan wajahmu
Tanpa kau perhitungkan apa kata orang yang melihatnya
Bahkan Nabi Muhammad yang wajahnya lumayan gantengnya
Memohon kepada umatnya agar tak menggambar wajahnya
Apakah menurutmu, dengan menatap wajahmu
Orang menjadi berbunga-bunga hatinya, ataukah ingin muntah mulutnya?

Menyimak puisi-puisi malam itu memang penuh sentilan tajam, tapi nada dasar keseluruhannya pesimistis. Dalam puisinya, Emha memang tak menganjurkan orang untuk menjadi golput. Ia justru, entah serius atau guyon, menganjurkan mencontreng semua calon legislator atau partai dengan alasan “mencintai seluruhnya tanpa kecuali”. Apakah ini pentas perwujudan rasa frustrasi?

Agaknya bukan. Sebab, syahdan ini pertunjukan untuk mencintai Ibu Pertiwi. Kata Emha lantang:

Cintailah Ibu Pertiwi
Rebut Ia dari bilik-bilik pelacuran
Mandilah bersamanya dengan air suci

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *