Isbedy Stiawan Z.S. *
suarakarya-online.com
IJAH yakin kalau Mas Parman akan pulang sepekan menjelang lebaran, seperti dia tulis dalam suratnya dua pekan lalu. Dia makin optimis tatkala suaminya menelepon lima hari lalu. Setengah berlari Ijah menuju rumah tetangganya yang memiliki pesawat telepon, karena lakinya menelepon ke pesawat itu.
“Kamu sehat-sehat kan? Si Gembul juga sehat, mana dia?” ujar Parman begitu telinga Ijah menempel di gagang telepon. Gembul adalah panggilan Parman buat anak kedua, yang sementara sebagai bungsu.
“Sehat, mas.
Mas juga?
Gembul sudah tidur… dia sehat,” jawab Ijah. Ia ingin sekali mencium suaminya itu, sekiranya pembicaraannya itu bukan melalui telepon. Dia sangat rindu.
Tiga tahun Parman menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kedah, Malaysia. Pilihan menjadi TKI setelah mendapat restu dari Ijah, setelah di desanya tak bisa lagi diolah demi hidup. Sawah-sawah mulai banyak mengering. Ladang-ladang habis terbakar oleh musim kemarau panjang, kebun-kebun tak lagi menghasilkan apa-apa lantaran tanahnya retak dan kerontang.
Tak ada pabrik di desa itu. Tak ada lowongan bagi buruh. Parman yang hanya buruh bagi pemilik sawah atau ladang, tak bisa berbuat apa-apa.
Sehari-harinya hanya bengong. Padahal hidup membutuhkan orang bekerja. Dengan kerja orang akan menghasilkan uang. Tak ada manusia yang memerlukan uang. Itulah pikiran Parman kala itu, maka tatkala ia izin menjadi TKI tak bisa menolak Ijah pun mengangguk.
Sebenranya Ijah yang berkeras ke Arab Saudi sebagai TKW. Sebab, upah bagi perempuan meski hanya pembantu rumah tangga lebih besar dibanding gaji yang diterima tenaga kerja lelaki. Hanya saja, cerita dan berita tentang nasib buruk para TKW di Arab Saudi, Malaysia, ataupun negara lain, membikin Parman tak merestui kepergian Ijah.
“Lebih baik aku yang jadi TKI dan kamu menjaga anak-anak,” kata Parman suatu malam, seusai menyantap singkong rebus. “Lelaki harus bekerja, harus mengolah hidup.
Sedangkan perempuan bertugas menuai hasil dan menjaga ladang yang menjadi kehormatan hidup,” lanjut Parman, entah kalimat dari mana yang dipetiknya itu.
Suaminya itu memilih Kedah, karena tak begitu jauh dari Indonesia. Kalau ada apa-apa, pikirnya, bisa segera melenting pulang. Tetapi batas tak pelak memudahkan seseorang. Meski jarak terbilang dekat, namun lain padang lain pula ikannya. Malaysia dan Indonesia sama-sama memiliki hukum. Jadi bukan antarprovinsi lagi. Itulah kenapa, sudah tiga tahun Parman tak bisa pulang, meski semula ia mendantangani kontrak hanya dua tahun.
Saat menelpon Ijah, dia mengaku kalau paspornya dipegang tauke agen pemberangkatan. Setiap dia meminta paspornya itu, kaki tangan agen selalu mengelak. Berbagai macam alasan, intinya paspor Parman ditahan.
Karena itulah dia tak bisa lolos dari negeri jiran tersebut. Parman juga takut ke keramaian, ia cemas digaruk polisi karena tak membawa paspor. Akhirnya Parman hanya bersembunyi di rumah sewaan teman-teman TKI. Dari satu rumah ke sewaan lainnya.
Meski Parman bisa diterima bekerja sebagai buruh bangunan.
Dengan upah yang tidak besar. Upah yang diterima hanya cukup makan sehari-hari, dan sedikit disimpan di dalam kasur yang sudah disilet sedikit bagian sisi kiri. Tidak ada yang tahu kalau Parman menyimpan uang di dalam kasur itu.
Ijah mulai ditumbuhi kegusaran terhadap nasib suaminya. Ia sudah mendatangi agent TKI yang memberangkatkan Parman. Hasilnya nihil. Mereka saling lempar tanggung jawab. Akhirnya Ijah mengalah, lalu tak lagi mendatangi agent TKI tersebut. Ia pasrah. Tapi ia juga yakin kalau Parman bisa selamat pulang ke tanah air.
***
DI Kedah, Parman banyak dibantu teman-teman TKI.
Jika ia tak bekerja, teman-teman senasib sesama dari Indonesia, bergantian memenuhi kebutuhan sehari-harinya: seperti makan, mengopi, dan tempat bermalam. Pernah rumah sewaan bagi TKI itu disatroni polisi Kerjaaan Malaysia, ingin merazia para TKI yang tak memunyai paspor atau surat-surat penting keberadaan di Malaysia. Untungnya Parman diselamatkan oleh Mamat TKI asal Sulawesi ke atas plafon. Parman bersembunyi di sana hingga para polisi meninggalkan rumah itu.
Ijah tertawa-tawa sewaktu Parman menceritakan kejadian itu, dengan gayanya yang humoris itu. “Kamu itu aneh mas Parman, mbok ya… jangan dibuat banyolan. Itu berbahaya, mas, untung ndak ketangkep…”
“Kalau masmu ketangkep, ya pasti dicambuk sama polisi-polisi itu!” kata Parman lagi ingin membikin lucu supaya Ijah tertawa. Kali ini istrinya tak mau tertawa. Ijah malah cemas.
“Sudahlah mas pulang aja. Minta bantuan sama siapa gitu…”
“Sama siapa minta bantuannya? Sama konjen Indonesia di Kedah? Ah, mereka tak mau ngurus-ngurus macem gini. Entah kalau kita punya uang”
“Jadi…”
“Ya, nunggu aja. Mas yakin kok paspor mas itu dikembalikan. Mas hanya…”
“Apa mas?”
Parman hampir saja keceplosan omong. Sebenarnya ia lari dari tempat kerjanya dulu. Karena sebagai supir pribadi, sudah tiga bulan tak dibayar gajinya oleh masjikannya. Akhirnya ia protes.
Majikannya yang orang India itu berang. Dia diusir. Parman berang, tak mau keluar sebelum gajinya dibayar.
Majikannya tetap tak mau bayar, karena alasan usahanya sedang pailit. Parman makin kesal. Suatu malam ia mengendap ke kamar majikannya, dan mencuri beberapa handphone serta sejumlah perhiasan.
Ia kabur dari rumah majikannya itu saat subuh mengembang.
Itulah petaka bagi Parman. Paspornya ditahan oleh agent, karena merasa bertanggung jawab kepada majikan itu. Sekitar setahun Parman tak memegang paspor, dan untungnya dia tidak terazia. Dan, ketika ia datangi agent itu dan bertemu dengan salah satu karyawannya, Parman diiming-imingi bahwa paspornya bisa diterimanya lagi asal memberi uang. Tentu tawaran yang menggiurkan. Barang-barang hasil curian yang ia titip dengan seseorang dari Jawa Timur yang sudah menjadi warganegara Malaysia, ia jual semuanya. Uang hasil penjualan itu ia serahkan ke karyawan itu, setelah paspor berada di tangannya.
Sejak ada paspor, Parman kembali sebagai supir. Kali ini ia bekerja kepada pengusaha katering dengan upah Rp 3,7 juta. Sudah setahun lebih Parman bekerja tanpa sesuatu apapun yang membuatnya cemas. Mungkin majikannya sudah melupakan ihwal pencurian. Barangkali majikan keturunan India itu mengakui kekhilafannya tak membayar gaji Parman, sehingga buruhnya pun mencuri. Entahlah.
Kini Parman lega. Dia bisa menelepon Ijah. Dia janji akan pulang sepekan menjelang Lebaran. Parman ingin menikmati sisa-sisa hari puasa Ramadhan bersama isteri dan kedua anaknya. Ingin pula berlebaran di kampung. Ia sudah rindu dengan ketupat buatan Ijah. Rindu salat tarawih bersama di surau.
Rindu bertadarus.
Ya! Cuma sampai sepekan menjelang Lebaran, Parman belum juga tiba. Tak ada telepon. Ijah selalu menunggu dipanggil tetangganya, dan berkata:
“Ini ada telepon dari Parman. Cepetlah, nanti dia bayar mahal.”
Panggilang itu tak ia terima. Bahkan, hingga tengah malam ia menunggu juga tak ada panggilan telepon.
Ijah mulai dirasuki kecemasan. Jantungnya berdegup kencang. Pikirannya karutmarut. Perasaannya balau. Barangkali bertonton benda tengah menghimpit pikiran dan perasaannya saat ini. Pada malam ke-24 Ramadhan, Ijah dipanggil tetangganya.
Ia segera berlari. Di benaknya hanya ada satu, pasti itu telepon dari Parman. Ada apakah gerangan yang menghalanginya sehingga tak jadi pulang?
“Mbak Ijah, saya temannya Parman. Suami mbak sekarang berada di kantor polisi. Dia ditangkap oleh majikannya dulu, saat hendak masuk ke bandara.” ujar suara di seberang telepon. Setelah itu terdengar tut tut tut.
Ijah pun tak bisa lagi bermimpi….
***
Lampung, 2 Agustus 2010.
*) Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan hingga kini masih menetap di kota kelahirannya tersebut. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan opini sosial, politik, dan kebudayaan. sejumlah buku sastra yang telah diterbitkan oleh penerbit di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.