Budi Maryono
http://www.suaramerdeka.com/
“PASTI, pasti kami akan kirim jadwal acara dan daftar materi segera. Paling lambat besok pagi,” kata Drs Herry Mardianto di seberang telepon. Bukan basa-basi. Tak berapa lama kemudian, faksimile dari sekretaris II panitia Pertemuan Ilmiah Nasional XIII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Hiski) itu datang.
Begitu membaca tema kegiatan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 8-10 September 2002 itu, saya terperangah: “Dinamika Global-Lokal dalam Perkembangan Sastra”. Wow, betapa mewah dan gagah. Tapi, terus terang, saya tidak ngeh. Maklum, gelar sarjana sastra yang tersandang sejak 10 tahun lalu di pundak ringkih ini cuma berkat “belas kasihan” dosen terdekat.
Tapi toh saya berangkat juga. Dan alhamdulilllah, sambutan Ketua Panitia Pelaksana Drs Kasiyarno Mhum memberikan semacam “pencerahan”. Dia menyatakan, tema besar itu akan dijabarkan melalui tiga subtema, yaitu (1) dampak globalisasi atas sastra dan responsi sastra terhadap globalisasi, (2) pendidikan dan pengajaran sastra masa kini dan masa depan, (3) wacana dan pengaruh desentralisasi dalam sastra.
“Globalisasi sudah sedemikian rupa terjadi. Batas-batas negara dan bangsa tak jelas lagi. Para sarjana sastra harus menyadari dan menyumbangkan pemikiran mereka melalui penelitian terhadap karya sastra,” kata Ketua Umum Hiski Pusat Riris K Toha-Sarumpaet setelah menjabat hangat uluran tangan saya.
“Anda sudah baca Supernova karya Dee kan?” tanya doktor nan cantik itu dengan mata berbinar-binar.
“Tentu saja sudah.”
“Globalisasi nilai sangat tampak dalam novel itu. Nah, para ahli sastra harus segera meneliti dan menemukan, lalu mengabarkannya kepada masyarakat agar semua tak terkejut, lho homoseksualitas kok sudah begini terbuka?”
***
MALAM, ketika istirahat di rumah teman (seorang sarjana sastra yang menekuni bisnis penerbitan buku), saya membaca beberapa abstraksi makalah. Tidak berdalam-dalam memang namun saya tetap merasa mengarungi “lautan pemikiran yang menakjubkan”.
Di bawah judul “Pendidikan dan Modernitas Barat dalam Sastra Dunia Ketiga”, esais Agus R Sardjono mencatat, menjadi bangsa terjajah bukanlah pengalaman yang mudah dilupakan. Itulah sebabnya pengalaman dengan kolonialisme merupakan tema yang tak mati-mati dalam khazanah sastra bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan.
Dengan mengambil contoh cerpen-cerpen Thailand dan Cina, serta novel karya Chinua Achebe, Jose Rizal, F Sionil Jose, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Okot p’Bitek dia menggambarkan pendidikan Barat dalam sastra dunia ketiga, berikut dampaknya pada pandangan pendidikan serta gejala sosial masa kini di Indonesia.
Seperti menyambung soal “pengaruh asing” itu, dosen Universitas Ahmad Dahlan Dr Bustami Subhan MS dalam “Dampak Globalisasi terhadap Perkembangan Sastra Amerika dan Indonesia” menarik kesimpulan antara lain globalisasi menciptakan internasionalisme budaya, sekaligus memberikan tantangan dan peluang bagi perkembangan sastra Indonesia.
Salah satu jawaban terhadap tantangan itu, menurut pendapat Harfiyah Widiawati dari Universitas Padjadjaran Bandung, adalah sastra terapan. Melalui kajian interdisipliner, sastra dapat memperkaya diri dan memperluas ruang lingkup, sekaligus “menyeimbangkan” perubahan akibat globalisasi.
Dari sana terlihat, dampak globalisasi terhadap sastra dan respons sastra terhadap globalisasi. Apalagi, pada zaman lalu lintas budaya tak lagi mengenal batas negara seperti sekarang, “diplomasi sastra” tak terelakkan pula. Sebab, menurut catatan kritikus sastra Dr Melani Budianta, dalam dunia sastra muncul komunitas-komunitas internet yang memungkinkan anggotanya berdiskusi dan berbagi karya tanpa urusan visa.
Melani berpendapat, dalam persoalan dan dimensi lintas batas sastra tak (boleh) dipandang hanya dalam pengertian mimetik, sebagai cermin hubungan lintas budaya yang pernah atau sedang terjadi. Baik teks maupun aktivitas sastra adalah praksis budaya, sosial, atau politik yang membentuk atau bermain dalam interaksi lintas budaya tersebut.
***
AKAN tetapi, sudah siapkah seluruh bangsa ini menyambut interaksi lintas budaya tanpa visa? Pertanyaan itu serta merta mengantar saya ke anekdot tentang perbedaan mahasiswa Indonesia dan Malaysia.
Di sebuah ruang kuliah di Indonesia, empat mahasiswa dari Malaysia gelisah. Seperti mahasiswa yang lain, mereka mendapat waktu 45 menit untuk menyelesaikan tugas menulis sepanjang dua halaman. Mereka gelisah karena tak tahu mesti ngapain setelah 20 menit berlalu. Mereka telah merampungkan tugas tapi tak boleh keluar ruangan.
Sebagian besar mahasiswa (Indonesia) di ruangan itu juga gelisah. Tak tahu pula mesti ngapain lagi setelah 20 menit berlalu. Bukan karena telah merampungkan tugas melainkan justru sebaliknya: baru bisa menulis dua alinea. “Bagi anak Indonesia, menulis itu susah!” kata Taufiq Ismail yang menuturkan anekdot itu dalam ceramah pembuka.
Penulis kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia itu menyatakan pula, kenyataan tersebut terjadi karena sudah sedemikian lama pemerintah membantai benih peradaban (membaca dan menulis) atas nama pembangunan!
“Berpuluh tahun ilmu-ilmu eksakta diagung-agungkan, sedangkan ilmu-ilmu humaniora termasuk sastra diabaikan. Siswa tak mendapatkan kenikmatan membaca buku sastra, tak pula mendapatkan kesempatan yang luas untuk belajar mengarang,” papar Taufiq Ismail dengan “penuh kemarahan”.
Lalu dia memaparkan hasil observasinya pada tahun 1997 perihal wajib baca buku sastra selama di SMU. Dia mewawancarai tamatan SMU di 13 negara. Hasilnya? SMU Thailand Selatan 5 judul, Malaysia 6, Singapura 6, Brunei Darussalam 7, Rusia Soviet 12, Kanada 13, Jepang 15, Swiss 15, Jerman Barat 22, Prancis 20-30, Belanda 30, Amerika Serikat 32, dan AMS Hindia Belanda 25 judul.
SMU Indonesia? “Selama enam puluh tahun, nol judul. Menyedihkan! Memalukan!” katanya dalam kesedihan dan kegeraman.
Saya terhenyak. Apalagi Riris K Toha-Sarumpaet menambahkan, baca buku sastra sangat berkaitan dengan kualitas bangsa. “Makin banyak membaca buku sastra, orang akan makin pintar, makin kreatif, makin sensitif, bahkan juga makin toleran…” tandasnya.
Sudah begitu, Taufiq menuturkan kebanggaan anak-anak Rusia ketika ditanya kenapa mereka sangat suka membaca novel Perang dan Damai karya Leo Tolstoy. “Inilah novel kami!” jawab mereka. Pernahkah kita dengar anak Indonesia menyatakan hal yang sama terhadap novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya?
Meski begitu, entah berdasarkan optimisme naif entah tidak, Riris tetap bersemangat menyatakan, suatu saat sastra akan “berkuasa” di sekolah. Bukan dalam arti menjajah melainkan sangat disukai para siswa.
Ah, andai selama enam puluh tahun terakhir sastra “berkuasa”, bangsa ini pasti lebih beradab, lebih kreatif, lebih sensitif, dan lebih toleran. Bahkan, ini tak kalah penting, lebih tahu malu. Tidak seperti sekarang.
Ya, tidak seperti sekarang… Sudah dijatuhi hukuman pun masih “meradang, menerjang”!