Hasudungan Rudy Yanto Sitohang
http://www.hariansumutpos.com/
Lagi-lagi Ratih lupa membangunkanku lebih pagi. Walau hari ini adalah hari libur tapi pekerjaan yang kubawa dari kantor belum selesai. Tertumpuk di sudut meja kerjaku. Bahkan aku harus begadang untuk menyelesaikan proyek perusahaan yang cukup penting. Padahal besok harus dipresentasikan dihadapan pimpinan dan partner perusahaan.
Sudahlah! Tak ada waktu menggerutu. Mandi, kemudian melanjutkan pekerjaan. Ketika akan bangkit dari kasur, tiba-tiba aku dengar gelegak tawa dari balik pintu. Sungguh ramai. Ada apa?
Bagai langkah pencuri, aku berjingkat ke depan pintu. Kutempelkan telinga sejajar di pintu itu. Wah?aku jadi pengintip! Ya pengintip suara ibu-ibu dari ruang tamu. O..aku baru sadar. Ternyata giliran kami arisan ibu-ibu komplek. Kemarin Ratih memberitahuku ketika menemaninya ke salon. Lagi-lagi paduan tawa itu semakin keras. Apa yang mereka perbincangkan? Apa ada yang lucu? Uh?dasar ibu-ibu, semua jadi tukang gosip ketika sedang ngumpul. Ada saja yang dibahas termasuk kejelekan suami masing-masing. Apa Ratih juga menceritakan kejelekanku dihadapan ibu-ibu itu?
?Jeng, anakku itu lho?
?Kenapa Bu Sri??
?Kemarin anakku menjerit di WC. Aku sampai terkaget-kaget!?
?Anak ibu terjatuh??
?Bukan?! Ketika dia jongkok di kloset, seekor cacing muncul pantatnya,? ucapnya sambil tertawa. Semua ibu-ibu serempak ikut tertawa. Aku pun jadi ikut-ikutan. Ops?aku segera menutup mulut. Apa jadinya jika mereka mendengar suara lain hadir di balik pintu ini. Bisa barabe jika ketahuan. Malunya setengah mati. Ibarat pencuri yang tertangkap basah.
?Kok bisa?? sahut yang lain.
?Gara-gara ibu Bidan kasih obat, si cacing jadi belingsatan. Dan bergoyanglah si cacing seperti tarian percintaan?. Serentak ibu-ibu itu tertawa kembali. Aku pun tersenyum mendengarnya.
Bicara tentang makhluk itu, aku punya pengalaman sendiri. Cerita tentang aku dan Ratih sewaktu pacaran. Saat itu kami berada di kolam renang. Karena Ratih tidak bisa berenang, aku pun mengajarinya berenang. Baru separuh jalan, Ratih teriak! Tubuhnya menjauhiku. Jeritannya membuatku kaget.
?Ada apa??
?Di badanmu ada cacing?
?Haaa?dimana?? Aku segera mengebas-ngebas badanku.
?Itu, di sana! Ada satu di punggung, satu di kepala dan, ihh?satu lagi dari matamu keluar menjulur!?Oh dari mata? Apa ada cacing keluar dari mata?
?Tuh?satu lagi dari hidungmu. Yang ini malah lebih besar? ucapnya panik. Suaranya semakin kencang.
?Dimana?? Kok tak ada??, ujarku cemas sambil meraba bagian tubuku yang dimaksudnya. Kupikir Ratih mengigau, diserang mimpi buruk. Tapi masa seh Ratih mimpi di siang bolong begini? Apa ada yang salah dengan Ratih, atau jangan-jangan dia kemasukan penunggu kolam ini. Hal itu juga mustahil. Penunggu apa? Aku sendiri sejak dulu tak percaya kepada hal-hal yang berbau mistik.
Sejak peristiwa itu, Ratih tak pernah menyinggung mahkluk kecil itu. Menurutnya binatang itu benar-benar ada. Badannya menggeliat-geliat, basah penuh lendir. Anehnya lagi, lendir di tubuh binatang itu berwarna ungu. Ah..apa ada cacing berwarna ungu? Istriku ini memang mengada-ada. Dia tahu aku suka warna ungu, tapi kenapa harus dikaitkan dengan binatang itu. Bagiku cacing adalah binatang yang paling menjijikkan. Mendengarnya saja sudah membuatku muntah. Ratih juga demikian. Karena peristiwa itu, aku pernah berpikir membawa Ratih ke psikiater. Jiwanya perlu diperiksa atau setidaknya aku tahu penyebabnya mengapa Ratih demikian.
***
Pernah suatu kali aku dan Ratih bersitegang, ketika kami pulang dari pesta yang digelar atasanku, Pak Candra. Sebagai salah satu pengusaha ternama, Pak Candra kerap membuat pesta besar. Dia memang suka pesta. Sebenarnya aku dan Ratih menikmati pesta yang terbilang mewah itu. Teman-teman Pak Candra banyak yang datang. Termasuk para petinggi kota dan kolega terkenal perusahaan. Salah satu tamu yang hadir dan istimewa adalah Pak Walikota, yang baru terpilih kembali memimpin kota ini. Sang walikota teman baik Pak Candra sejak lama. Hampir sebagian besar proyek darinya dikerjakan perusahaan kami.
Semua tamu penting memakai pakaian terbaiknya. Aroma parfum terkenal merebak dimana-mana. Baunya sengat hingga membuatku pusing. Bagiku itu bukan parfum. Tapi seperti bau sampah berbulan-bulan tak diangkat. Makanan yang disajikan juga beraneka ragam, dan tak habis-habisnya. Para tamu seakan dimanjakan oleh tuan rumah. Apalagi mereka tak berhenti menyantap makanan yang terhidang, ditemani wine berbuih-buih. Sebesar apapun makanan itu, mereka sikat tak bersisa. Pesta semakin syahdu diiringi musik yang menggoda. Penyanyi seksi ala Monroe meliuk-liuk, berwarna-warni, menyapa penuh kerling menggoda. Para istri tak mau ketinggalan. Sebagian senyum mempertontonkan lemak tubuhnya. Beberapa malah sibuk menunjukkan berlian mahal serba impor dari negeri antah berantah. Sungguh memuakkan melihat semuanya. Karena tak tahan, kuajak Ratih pulang duluan. Ketika akan pamit kepada atasanku, ia berbisik kepadaku.
?Kau lihat! Di perut Pak Candra banyak cacing ungunya? Aku tersengat.
?Husss?jangan bicara sembarangan! Malu di dengar orang?
?Loh?apa kau tak percaya? katanya menahan tawa.
?Ratih?.!? hardikku tertahan. Dia hanya tersenyum menutup mulutnya. Sejenak kuperhatikan perut Pak Candra yang dimaksud Ratih. Perutnya memang seperti gunung yang akan meletus. Tapi tak mungkin cacing ungu bersarang di sana. Istriku ini kembali kumatnya.
Tunggu dulu! O..apa itu? Binatang serupa lintah mengintip dari jas Pak Candra. Bukan..bukan lintah. Tapi cacing. Benar..,Ratih benar. Di perut Pak Candra terlihat cacing-cacing yang berdesakan keluar. Binatang unik itu silih berganti mengintip dari baju jasnya. Mereka terlihat seperti bercanda. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lalu beberapa diantaranya mengeluarkan taring penuh darah. Hanya tubuhnya saja yang berwarna ungu. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada seperti kursi, parang, pesawat terbang, uang dollar. oh.nah ada yang berbentuk senjata dan meriam. Mereka berdansa ria di atas perut atasanku itu.
***
Penasaranku makin bertambah. Lalu aku berpikir, apa dunia sudah gila? Atau aku sendiri yang gila? Namun kutemukan dengan mata-kepalaku sendiri, binatang jelek itu ternyata benar-benar ada. Bahkan binatang itu kerap muncul ketika aku dan Pak Candra sedang berdiskusi. Mereka keluar dari mulut atasanku itu ketika terbahak-bahak sambil bercerita tentang kemulusan tubuh Susi, sekretaris pribadinya. Binatang itu pun ikut tertawa, sampai-sampai beberapa diantaranya terjatuh. Lalu merangkak kembali masuk ke tubuh Pak Candra. Kulihat dia bergelinjang menikmati rasa sesak selaras dengan tubuh besarnya.
Cacing-cacing itu makin sering kusaksikan bersama Pak Candra. Bahkan ketika aku menemani beliau membicarakan proyek dengan salah seorang petinggi kota. Bukannya mencatat hasil rapat, malah aku asyik melihat tarian mesum yang dipertontonkan para cacing. Lalu Pak Candra dan pejabat itu bersalaman dan berpelukan, para cacing itu mengikutinya. Mereka berpelukan. Bukan! Mereka bercinta. Ah.. tidak! Mereka selingkuh. Ya berselingkuh. Aku terdiam.
Binatang itu keluar-masuk dari perut keduanya. Saling mencengkeram. Bersekutu. Mereka bercinta dengan gaya yang sangat menjijikkan. Lendir-lendir ungu menetes ke bawah. Baunya busuk dan menyengat. Pak Candra dan pejabat itu tak perduli. Saking eratnya, tak satu pun dapat memisahkan mereka. Namun aku semakin terbiasa melihatnya. Bahkan berkenalan, terutama cacing-cacing baru dari tamu atasanku. Selanjutnya mereka menempel erat seperti yang sudah-sudah.
Pantas saja Ratih sering melihat cacing keluar dari tubuhku. Walau setiap aku raba, tak satupun bisa tertangkap.
?Cacing yang keluar dari perutmu tak sebesar dan sebanyak Pak Candra? seloroh istriku
?Benarkah??
?Yang dari tubuhmu kurus-kurus! Seperti kurang gizi? ujarnya terbahak-bahak.
?Kenapa tertawa? Apa kau suka?? aku tersenyum nakal. Membalas ledekannya.
?Aku benci cacing dari tubuhmu. Aku ingin membunuhnya!
?Apa mereka bisa keluar dari tubuhku??
?Asal kau mau, Pasti bisa! Aku tak bisa membayangkan setiap kali kita bercinta, binatang jelek itu keluar dan selalu menggelitikku!?
?Tapi kamu suka kan??? kataku terkekeh.
?Aku benci cacing perusak!?
***
Setelah kupikir-pikir perkataan Ratih, aku pun berhenti dari kantor. Sungguh sayang memang, apalagi hidup kami berkecukupan. Tapi karena binatang itu mulai mengganggu kehidupan kami, aku tak punya pilihan. Toh..di luar sana masih banyak pekerjaan yang sehat tanpa cacing pengganggu itu. Kami ingin hidup bermartabat walau harus kehilangan kenyamanan yang selama ini telah kami dapatkan.
Sejak cacing-cacing itu pergi dari tubuhku, aku seperti lahir baru. Ratih tak pernah lagi melihat mereka di tubuhku. Rumah serupa surga yang ditumbuhi bunga-bunga yang bermekaran. Aromanya semerbak menghiasi setiap sudut ruangan yang hampir kosong. Karena beberapa perabot dan kursi sudah digadaikan untuk menutupi utang. Dan sampai detik ini, aku belum mendapat pekerjaan seperti yang kami harapkan. Bahkan TV pemberian ibu terpaksa kami jual.
Hari minggu seperti biasa. Ratih pergi menghadiri arisan ibu-ibu komplek. Dia berangkat lebih pagi dan bilang agak pulang terlambat. Sebab mereka ada kegiatan sosial. Aku pun tinggal di rumah sendirian sambil berharap acara arisan itu segera selesai. Agar aku bisa bersama Ratih di rumah, diantara taman-taman kehidupan.
Tak lama pagar depan berbunyi. Ratih sudah sampai. Dia masuk ke rumah. Tapi kali ini membawa banyak barang.
?Apa itu???
?Oh?ini beras, gula dan mie goreng? katanya. Aku terperangah. Beras dua karung besar, gula yang cukup untuk tiga bulan dan lima kardus mie merek terkenal. Dan masih banyak barang-barang lainnya.
?Darimana semua ini??
?Kebetulan ibu-ibu arisan mengumpulkan bantuan dari para dermawan untuk para korban kebakaran di kampung sebelah!,? teriaknya dari dalam.
?Sebanyak ini?? tanyaku bingung. Aku ikut mengangkat semua bawaan Ratih ke ruang dalam rumah. Hatiku masih bertanya-tanya.
?Ini jatah buat ibu-ibu yang jadi panitia!,? teriaknya dari belakang. Dia sedang sibuk menyusun barang bawaanya itu ke dalam kulkas. Satu-satunya perabotan yang belum kami gadaikan.
?Kan seharusnya diberikan semua! Apa memang sudah cukup bantuan buat korban kebakaran itu?? teriakku tak mau kalah.
?Kalau kurang, kita cari lagi dermawan yang mau bantu!?
?Haaaa?? aku jadi bingung. Aku susul Ratih ke belakang. Namun sungguh aku terkejut! Dari karung beras, kardus mie dan puluhan minyak goreng itu, termasuk barang bawaan Ratih lainnya keluar makhluk yang selama ini sudah hilang dipikiranku. Cacing Ungu yang menggeliat, berdesakan keluar. Jumlahnya puluhan?ratusan?dan sekarang ribuan, berjalan melata ke seluruh ruangan. Di meja makan, di kursi, juga di dinding. Ohhh?mereka kembali. Kali ini lebih mengerikan. Bukan hanya bertaring, tapi binatang itu bertanduk mengeluarkan lendir seperti nanah.
?Ratihhh?!?
Sudut sebuah lorong,
akhir April 2010