Yeanny Suryadi
http://www.sinarharapan.co.id/
Seharusnya Akang belum pulang jam segini. Tapi kalau bukan Akang, siapa yang berjingkat-jingkat di dapur disusul terdengar seperti suara seseorang membuka lemari makanan? Laras mencoba bangkit dari tidurnya sambil menahan berat dari perutnya yang tengah buncit. Sekilas matanya melirik pada jam dinding yang menggantung di tembok kamarnya, ?Baru jam sebelas, masak Akang sudah pulang??
Dengan rasa ingin tahu Laras berjalan hampir tanpa suara menuju dapur. Rumah kecil yang dia kontrak bersama Kang Wawan seketika terasa begitu luas, kosong dan dingin. Perempuan itu menggigil sedikit, menahan senyap yang merayapi kaki telanjang di atas ubin putih tempatnya melangkah menuju suara aneh itu. Sambil menyentuh ujung perutnya yang tengah mengandung janin berusia empat bulan Laras memiringkan kepalanya, melihat Akang sedang berjingkat-jingkat membuka tutup rice cooker di dekat lemari makan, ?Akang?? Seperti terkejut lelaki itu lalu membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum, ?Masak apa nih neng geulis??
?Akang gak kerja?? buru-buru Laras menghampiri suaminya yang terlihat hanya mengenakan kaos singlet putih dengan celana panjang berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Lelaki berwajah bersih itu menggeleng sambil masih tersenyum, ?Sekali-kali libur gak papa dong, Akang lapar!?
?Ya kalau mau libur gak usah berangkat dari tadi pagi dong,? gumam Laras mencoba mengusir rasa gelisah yang tiba-tiba muncul begitu saja disusul tendangan halus dari perutnya yang seperti detak kejutan di rongga hati.
?Ini lo Kang, ada ikan kuning sama sambal terasi,? Laras membuka pintu lemari makan, lalu mengeluarkan sepiring lauk ikan kuning dan satu buah piring kecil berisi sambal terasi. Kemudian mereka duduk berhadapan di atas meja makan persegi di ruang makan yang satu atap dengan dapur. Mereka selalu makan bersama di atas meja persegi berukuran 80 x 80 cm.itu, duduk berhadap-hadapan sambil tersenyum. Kala menikmati makan siang mereka duduk tepat di bawah langit-langit dapur yang tanpa warna, sehingga matahari terlihat begitu saja memancar menerangi wajah-wajah mereka. Sedang kala malam, bulan bertengger mengintip dari eternit transparan tepat di atas kepala mereka, membawa cahaya pada hidangan sederhana yang tidak berubah bentuknya dengan menu tadi siang.
?Kenapa Akang gak berangkat kerja hari ini?? perempuan itu kembali bertanya sambil mulai menumbuk-numbuk lembut bahu suaminya.
?Ah,? Kang Wawan berusaha menelan makanannya, ?Minta istirahat saja hari ini, menemani istri tercinta.?
Laras terkejut, pipinya langsung bersemu merah, sambil mengulum bibirnya yang tiba-tiba tersenyum, Laras mencoba membuat raut wajahnya seperti marah. Tapi kemudian lebih mirip dengan wajah para remaja yang bersemu saat digoda sang pacar, ?Ah , setiap hari juga nemani. Ya, gak pagi, sore dan malam.?
Lelaki itu tertawa, ?Iya, ya.?
?Kang,? tiba-tiba wajah Laras kembali serius, ?Kalau bisa mah cari kerja yang lain sajalah. Kerja dengan Bang Tibron mah agak kurang bagus kelihatannya.?
Wawan terdiam, dipandanginya wajah Laras dalam-dalam. Apakah istrinya paham akan perasaaan gelisahnya? Bahwa dia merasa sangat tersiksa dengan pekerjaan ini? Bahwa sejak pertama dia akhirnya harus bekerja dengan Bang Tibron, perasaannya begitu gundah tak menentu, dirinya seperti semakin masuk pada ruangan gelap tanpa suara, tidak ada kejelasaan selain rasa takut yang terlalu. Tanpa sadar Wawan membelai kepala istrinya, mata mereka bertemu.
?Ada apa, Kang?? tiba-tiba Laras merasakan getaran yang begitu aneh berdesir di sekujur tubuhnya.
Suaminya menggeleng sambil tersenyum, ?Kenapa kau tiba-tiba mengkhawatirkan pekerjaan Akang??
Seperti tak mampu menjawab Laras menarik dirinya agak menjauh dari Wawan, ?Lah, Akang kan sudah lihat dengan mata kepala Kang sendiri, bagaimana Bang Tibron itu, dia kalau sudah malam suka mabuk-mabukan di ujung gang,?
?Suka judi lagi, kayak orang gila!? tambahnya tanpa ragu-ragu.
?Kau benar sayang ,? Wawan meraih tubuh istrinya, mendekapnya sebentar sambil mencium ubun-ubun wanita yang dicintainya itu, napasnya begitu dalam tertahan di atas kepala Laras, seketika Laras membeku.
?Akang, Akang baik-baik saja kan?? Laras menatap bingung suaminya.
?Ya!? tiba-tiba Kang Wawan menjawab dengan tegas sambil memberikan tanda hormat pada Laras.Istrinya kembali terkejut, lalu tersenyum simpul.
***
?Mau ke mana?? Wawan langsung berdiri terkejut dari kursi makan melihat istrinya beranjak pergi meninggalkannya sendiri di meja makan persegi itu. ?Laras !? ulangnya sambil berusaha meraih tubuh istrinya dari balik meja. Kaki meja makan itu lalu terangkat sedikit, gelas minum Wawan terguling begitu saja, lalu jatuh membentur lantai hingga pecah berantakan disusul seperti suara meledak menusuk telinga.
?Kenapa Kang?!!? Laras begitu terkejut lalu buru-buru mendekati suaminya, ?Ada apa Kang?!?
?Kamu mau ke mana?? ulang Wawan terengah-engah.
?Laras mau angkat jemuran Kang!? tiba-tiba Laras merasa kalau dia harus menangis, kalau dia harus menjerit sekeras mungkin. Ada sesuatu yang masih menggumpal di batinnya, menyumbat hatinya seperti hendak meledak. ?Kenapa jadi begini Kang?? bibir perempuan itu gemetar sambil memandangi pecahan gelas dilantai, lalu tanpa pikir panjang dia langsung jongkok memunguti pecahan gelas itu.
Kang Wawan kemudian ikut jongkok di sebelah istrinya. ?Neng,? Wawan kemudian menyentuh punggung tangan Laras. Dia senang memanggil Laras dengan panggilan Neng, dengan begitu seolah-olah dia telah menegaskan pada perempuan itu, bahwa dia selalu cantik kapan pun dan di mana pun.
?Kang!? tiba-tiba Laras berbalik menatap tajam mata suaminya, lalu digenggamnya bahu Wawan kuat-kuat,? Gelas sekecil ini kenapa suaranya begitu keras dan besar?!?
Wajah mereka seketika memucat. ?Ada apa Kang?!? desak Laras sambil terus menatap mata suaminya. ?Katakan Kang ada apa??
?Hush!? Wawan menepis gelisah Laras, ?Kamu terlalu berlebihan!?
?Aku perempuan Kang!? elaknya, ?Perasaan perempuan tidak bisa dibohongi!?
Wawan menggeleng, sambil tersenyum,?Tidak ada apa-apa, biar Akang bantu membersihkan pecahan gelas ini.?
Tapi perempuan itu tetap diam, matanya kosong menatap pecahan gelas di lantai yang sedikit demi sedikit telah diangkat satu per satu oleh Wawan. ?Jangan pernah berpikir yang tidak-tidak. Tetaplah tenang kalau memang ada sesuatu yang membuatmu risau istriku.?
?Neng,? lanjutnya, ?Kalau memang nantinya terjadi sesuatu yang tidak pernah kita harapkan, Neng harus percaya, bahwa itu sudah kehendak Allah. Jalani saja peran yang Allah berikan itu baik-baik. Jangan menentang takdir.?
Kali ini Laras seperti dikejutkan oleh kalimat yang diucapkan Kang Wawan, tanpa sadar dia telah berdiri memandangi suaminya. Mulutnya tidak mampu bersuara, matanya mulai berair sehingga Wawan semakin tidak jelas di matanya, buram. ?Kematian, jodoh dan rezeki itu di tangan Allah. Ingat, tidak ada kematian yang tidak wajar di dunia ini. Semua wajar apa pun keadaannya, sebab hanya Allah-lah yang berkuasa atas nyawa segala makhluk hidup di dunia ini.?
Perempuan itu tetap bergeming. Suara Kang Wawan seperti bergema di telinganya, terus menyusup terbentur-bentur di kepalanya, lalu seperti jatuh pada lorong yang panjang menyisakan gema yang terus-menerus membuat perih kedua bola matanya,?A-apa maksud Akang??
?Tidak ada,? jawab Wawan singkat, ?Akang hanya tidak ingin Neng cengeng, gara-gara terhanyut perasaan.?
Laras menggeleng, itu tidak benar. Perasaan ini berbeda! Apakah karena dia sedang mengandung sehingga rasanya begitu peka dan mudah gelisah? Benarkah dia terlalu berlebihan hari ini?
Wawan menempelkan tangannya pada perut buncit Laras, lalu tersenyum. ?Kau adalah seorang ibu yang kuat, itu sebabnya Allah mengizinkan kita punya anak,? bisiknya. Laras menundukkan kepalanya, airmata terjatuh di atas perut buncit itu. ?Banyak loh orang yang sudah nikah sampai lima tahun tapi belum dikasih anak sama Allah, padahal kata dokter baik suami atau istrinya sehat,? tambah lelaki itu lagi.
?Jaga baik-baik ya anak kita,? suara Wawan tiba-tiba seperti berbisik, disusul suara tangisan panjang dari luar rumah dan ribut-ribut yang begitu bising dan mengejutkan.
***
?Larasss!!? seorang perempuan berlari sambil menjerit menuju rumahnya, diikuti banyak kerumunan orang berduyun-duyun di belakangnya. ?Larassssss!? ulangnya. Tanpa pikir panjang Laras langsung lari ke luar rumah menghampiri Titin, kakak iparnya.
?Aya naon teh?? tanyanya bingung sambil menahan tubuh perempuan yang menghambur begitu saja di pelukannya, ?Teh, aya naon??
Perempuan itu begitu berkeringat, tubuhnya basah dengan bibir gemetar membiru. Kepalanya menggeleng-geleng kencang, disusul jeritan panjang melolong, ?Ya, gustiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!?
?Kunaonnn?? ulang Laras tak mengerti, ?Astagfirullah. Aya naonn??
Titin menggeleng kencang sambil menangis, ?Wawan! Wawan!?
?Wawan?? Laras mengenyitkan dahinya , lalu dia langsung berbalik menatap orang yang berkerumun di belakangnya, ?Kenapa?? Tapi semua diam.?Aya naonnn?? tapi semua tetap membisu.
?Digebukan ku massa,? Titin merintih.
Mata Laras langsung mendelik terkejut, ?Jangggaaaannnnn!?
Tanpa menghiraukan pelukan erat kakak iparnya Laras berlari menerobos masuk ke rumah, ?Akangggg!!? jeritnya, disusul beberapa orang yang berusaha menahannya dan menenangkan perempuan muda itu.?Tenang, masyallah, istighfar!?
?Akang!? panggil Laras, ? Akangggg!!? Perempuan itu memanggil kesal suaminya, ?Akang gak mungkin dipukulan massa. Akang tadi lagi makan di sini!? tegasnya.
?Masyallah, Laras!? kali ini Titin baru menyadari bahwa keterkejutan itu lebih memukul istri dari adiknya, ?Istighfar, astagfirullahhh. Laras!?
?Tidak teh,? Laras berbalik menatap kakak iparnya penuh dengan airmata, ?Akang baru makan di sini sama Laras. Tadi teh!
Titin menggeleng, sambil mendekati sosok Laras, lalu dipeluknya perempuan muda itu yang kemudian menangis keras di pelukannya, ?Metromini Bang Tibron nubrukan bocah di hareup. Lantas langsung diamukan ku massa??
?Ulahhh!? jerit Laras, ?Astagfirullah. Ulahhh!?
Titin berusaha memeluk Laras kuat-kuat, yang berusaha melepaskan dirinya dari tubuh Titin.
?Awas! Awas, Laras mau berdiri!!? ujar Laras menepis lengan Titin. Lalu perempuan yang tengah mengandung itu tertatih-tatih menghampiri tong sampah di dekat lemari makan, tidak ada pecahan gelas di sana, bahkan meja makan persegi itu bersih, tidak ada piring bekas makan tersisa di sana.
Lalu dia pingsan begitu saja.
***
?Suami saya meninggal,? rintihnya, ?Dipukuli massa.? Tiba-tiba Laras seperti merasakan sakit yang mengerubungi tubuh suaminya. Sakit, menjerit minta tolong, menyebut nama Allah berkali-kali.
Matanya nanar mencari-cari jalan selamat, berlari sekencang mungkin, mencoba menyelamatkan diri.
?Ehem?? jawab perempuan di depannya dengan dehaman sambil terus menanap wajah pucat Laras.
?Dia tidak bersalah, dia hanya kenek. Kenek Bang Tibro yang masih buron sampai sekarang!? Laras melanjutkan pilunya tanpa berani menatap lawan bicaranya, dia terus menunduk sambil meremas-remas rok bercorak garis-garis coklat itu.
?Baiklah,? perempuan di depannya itu menyudahi cerita Laras, ?Mulai besok bekerjalah di sini. Pekerjaan Anda cukup membuat kopi untuk tamu dan seluruh karyawan di kantor ini. Untuk menyapu dan mengepel biar saja Ujang yang melakukannya selama Anda tengah hamil.?
?Eh,? panggil perempuan itu lagi, ?Di ujung sana ada rak payung, ambillah sebab di luar terik sekali. Jaga baik-baik anak di janinmu.?