Imitasi

Feby Indirani *
ruangbaca.com

“Banyak orang gagal menjadi pemikir orisinil semata-mata karena ingatan mereka terlampau kuat” (Friedrich Nietzsche).

Nietzsche memang sudah mati. Tapi perkataannya di atas selalu membuat saya cemas. Kecuali untuk urusan menghafal jalan, ingatan saya lumayan kuat nyaris menyamai gajah. Saya was-was. Jangan-jangan orang seperti saya akan sulit melahirkan gagasan orisinil.

Sebagai orang yang ingin menulis, saya memaksa diri untuk banyak membaca karya orang. Dalam proses itu, tak jarang saya menemukan penulis yang begitu saya sukai, hingga saya nyaris membencinya. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menulis dengan begitu cemerlang?

Kamila Syamsie, penulis The Broken Verses adalah salah satunya. Saya terpukau akan gagasannya, gaya menulisnya yang ringkas dan selera humornya yang satir. Usai menamatkan bukunya, kalimat-kalimat Syamsie selalu terbayang-bayang di kepala. Pada gilirannya mencoba menulis, saya kemudian selalu berusaha bagaimana agar saya bisa sehebat dia. Ketangkasannya mengungkapkan pikiran, diksinya yang efisien dan pemenggalan kalimatnya yang berirama stakkato.

Sampai kemudian saya sadar. Ups, saya meniru dia. Mengimitasi gayanya. Teng! Tiba-tiba lonceng kegagalan berbunyi di benak saya.

Bagi seorang penulis, imitasi adalah sebuah kabar buruk. Yang pertama mendapatkan mutiara, pengikut hanya beroleh cangkangnya, begitu ujar Simon Conwell juri Indonesian Idol yang sering dikutip rekan saya Akmal N. Basral, wartawan dan penulis. Seberapapun awetnya kembang plastik, bunga hidup pasti lebih dihargai. Semirip apapun, kalung mutiara palsu tetap saja dianggap murahan.

Imitasi adalah salah satu bentuk plagiasi. Derajat dari plagiasi ini bermacam-macam, dari yang paling parah (hard plagiarism) sampai yang tak begitu kentara (soft plagiarism). Kategori hard bisa kita temukan ketika seseorang menyalin habis tulisan orang tanpa menyebutkan sumbernya. Ini pernah dialami Y Thendra BP yang menemukan dua buah puisinya, Bulan Telah Mati di Jogja dan Sajak Anak Khatulistiwa diterbitkan dalam antologi Dian Sastro for President (On/Off Yogyakarta 2002) .

Masih dalam kategori itu adalah melakukan bongkar pasang dengan mengubah beberapa bagian saja. Helvy Tiana Rosa pernah mengalaminya untuk novelnya berjudul Akira (As-Syaamil, 2000). Seseorang kemudian menerbitkan Fajar Menyingsing di Arkansas (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2003). Menurut Helvy, semua jalan cerita dan kalimat-kalimat dalam novel itu persis, hanya nama tokoh dan latarnya saja yang berbeda.

Kedua cerita yang saya ambil dari Selisik, Republika, 20 Maret 2005, tulisan Elba Damhuri adalah salah satu contoh plagiasi yang amat telanjang. Hal seperti ini terlalu mudah terdeteksi. Setelah itu reputasi si plagiator pasti hancur dengan cepat. Sementok-mentoknya saya, saya emoh melakukan hal seperti itu. Pamali, kata orang Sunda.

Tapi untuk soft plagiarism, itu lain soal. Ini adalah bentuk plagiasi terselubung. Misalnya ketika kita meniru gaya pengungkapan penulis lain. Salah satu godaan terbesar penulis pemula seperti saya adalah mengimitasi style. Tolong, jangan langsung mencap saya jahat.

Proses itu seringkali terjadi secara bawah sadar atau subconscious plagiarism. Kita bisa menyebut itu secara lebih halus sebagai pengaruh. Semakin kagum saya terhadap seorang penulis, semakin besar kemungkinan saya akan menirunya. Tapi ketika saya tahu bahwa saya mungkin terpengaruh, bisakah saya menyatakan diri dengan polos bahwa saya tak sadar?

Mencontek Cerdas

Ada yang mengatakan pelajaran menulis bisa dimulai dengan meniru terlebih dulu sebelum bisa menemukan gaya sendiri. Anda boleh tak setuju, tapi jika Anda memiliki ingatan kuat dan mempunyai dorongan yang sama kuatnya untuk mencontek seperti saya, saya hanya ingin mengingatkan satu prinsip.

Sebagai follower kita patut malu kalau tidak bisa menciptakan yang lebih baik. Jika sudah nyontek malah sama bahkan lebih buruk, artinya kita memang bodoh betulan. Jadilah cerdas dalam mencontek, kalau perlu sampai orang yang kita tiru pun bisa kagum pada tulisan kita.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, temukan karakter tulisan itu. Seandainya kita menyukai kolom gaya hidup Samuel Mulia dan ingin menulis seperti dia. Pelajarilah yang khas darinya. Dia tidak pernah mengambil contoh negatif dengan menyebut orang lain sebagai pelaku. Dia menyampai segala perilaku jelek, seolah dia sendiri yang melakukannya. Dengan cara itu pembaca belajar sesuatu tanpa merasa diceramahi.

Jika kita ingin menulis sepeti Samuel, jangan panggilannya, plesetannya dan cara berceritanya yang selalu menyebut teman saya itu yang kita tiru. Ini akan sangat kentara. Kita bisa mencuri diksinya yang sinis dan blak-blakan untuk menghasilkan efek jenaka yang sama. Kita tiru saja struktur tulisannya yang tak terlalu padat demi melahirkan gaya yang ringan.

Jangan kira ini gampang lho. Ketika hendak meniru tulisan seseorang, sebenarnya kita hendak mengopi karakter mereka. Ini repot. Sekali dua kali mungkin masih teratasi. Tapi selanjutnya kita mungkin akan merasa kelelahan karena mencoba menduplikasi sesuatu yang bukan kita.

Setelah itu kita pun terserang was-was. Jangan-jangan orang tahu bahwa kita mengimitasi Samuel. Wong tiap minggu tulisannya hadir di koran dengan oplah terbesar di Indonesia.

Nah sebetulnya ini contoh yang berbahaya. Kita hanya akan mempermalukan diri sendiri. Tenang. Ada cara lain yang mungkin lebih manjur.

Carilah penulis lain yang kita sukai gayanya, tapi belum mendapatkan porsi ekspose terlalu banyak. Tiru cara pengungkapannya. Pilihan katanya. Pemenggalan kalimatnya yang menentukan intonasi sebuah tulisan layaknya orang berbicara. Kalau ada termin-termin khas dia yang bisa kita ambil, curi saja. Toh tak banyak orang yang akan menyadarinya.

Sekarang Anda mengerutkan kening. Lalu bertanya ketus kepada saya, Jadi benar Anda menganjurkan orang mencontek?

Jujur, saya mesti mengatakan meniru itu adalah jalan pintas yang menyenangkan. Tapi hati-hati, rasa cemas tak serta merta raib. Tetap saja ada kemungkinan ada orang lain mengendusnya, minimal penulis yang kita imitasi itu. Dan saat rahasia kita terungkap, harga kita pun dijamin jatuh.

Sayangnya, meniru hanya cocok untuk jangka pendek, tapi merugikan buat jangka panjang. Kita hanya akan berakhir menjadi penulis yang tak pernah punya karakter. Setiap kita menemukan tulisan orang yang bagus, kita akan mudah terseret. Padahal barang palsu tak pernah naik harganya.

Seandainya saja kita mau lebih intensif melakukan perjalanan ke dalam diri, kita tak perlu berakhir demikian. Daripada meniru, lebih baik kita berupaya tak putus untuk menggali diri dan melatih kemampuan bertutur yang khas. Kata kuncinya adalah eksplorasi. Sejauh mana kemampuan kita mengeksplorasi diri sendiri akan menentukan seberapa berkarakternya tulisan kita. Mungkin kita mesti menempuh jalan terjal, namun untuk jangka panjang, dijamin membuahkan kepuasan lebih besar.

Baiklah, jawab Anda setuju. Anda lalu berusaha menjadi orisinil. Anda berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan sesuatu yang baru. Anda berusaha meninggalkan sidik jari pada setiap karya yang Anda lahirkan. Apapun hasilnya, selamat! Setidaknya Anda maju beberapa langkah, Anda sedang berproses menjadi Anda yang lebih baik dan bukan seorang gadungan.

Lalu, tantangan lain muncul. Tiba-tiba, seseorang datang meniru style yang hendak Anda kukuhkan sebagai identitas Anda. Sialnya lagi, ia bahkan mendapat pujian untuk hasil contekannya itu. Aha! Sejak kapan dunia itu adil? Seolah si peniru menyapa Anda sambil mengedipkan sebelah mata.

Mau tak mau Anda mengipas dada. Panas? Tentu saja.

Bila itu yang terjadi, saya hendak menyampaikan kabar buruk dan kabar baik untuk Anda. Kabar buruknya, tulisan Anda memang masih jelek, dalam pengertian belum benar-benar berkarakter. Anda pasti juga belum terlalu produktif. Ini yang membuat tulisan Anda masih memungkinkan untuk ditiru.

Jangan putus asa. Anda masih harus mengeksplorasi style yang lebih khas, berkontemplasi lebih dalam untuk melahirkan sudut pandang yang lebih tajam dan mengemasnya dengan cara bertutur yang lebih personal. Dan tentu saja menulislah lebih banyak lagi.

Sampai saat ini, sependek pengetahuan saya sudah banyak korban berjatuhan, mereka yang gagal meniru gaya catatan pinggir Goenawan Mohamad. Upayakan Anda mencapai level ini agar orang-orang yang suka meniru seperti saya tak akan bisa melakukannnya.

Nah kabar baiknya adalah, tulisan Anda sudah cukup menarik, sampai-sampai ada orang yang tergerak untuk mengikutinya. Jadi tak usahlah terlalu kesal.

Lho, sergah Anda, tapi saya kan dicontek orang, masak saya nggak boleh marah? Ya, itu sih hak Anda. Tapi ingat, peniruan adalah bentuk tertinggi dari pujian. Karena orang tak akan mungkin mencontek, baik secara sadar terlebih sampai masuk ke alam bawah sadarnya, bila tulisan Anda tak dianggap bagus. Anda harusnya bangga.

Daripada menggerutu, kita mungkin bisa menjadikan berapa banyak orang yang mencontek gaya kita sebagai indikator sukses. Ini artinya tulisan kita sudah berhasil merebut hati orang.

Ukuran berikutnya adalah, sejauh mana kemudian mereka mampu melakukannya. Semakin besar persentasinya keberhasilan mereka, artinya semakin banyak lagi lubang pada tulisan kita yang masih harus diperbaiki. Dengan berpikir seperti ini, Anda tak akan bete lagi.

Jadi, apa sudah ada yang ingin meniru gaya tulisan saya? Ah terimakasih!

*) Penulis yang kerap gagal meniru dan akan bangga jika style-nya diimitasi orang.

Leave a Reply

Bahasa ยป