Max Regus *
http://www.lampungpost.com/
Hanya dalam hitungan hari, sederet peristiwa memilukan kembali menampar kebersamaan kita. Negeri ini bergelimang kekerasan, kematian, dan air mata. Kejahatan terus melumuri kehidupan kita. Dengan banyak versi. Dalam beragam latar dan maksud. Karena teramat sering kekerasan mengunjungi kita, sampai kita lupa mengingat semuanya. Indonesia seolah memasuki episode kegelapan. Persis menjelang satu tahun periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan semboyan politik ?Lanjutkan!?
Bergerak di dalam apa yang kita sebut garis demokrasi, kekecewaan sosial terus menggunung, menindih harapan di dasar keserakahan. Surya Paloh, Ketua Umum Nasional Demokrat, mengingatkan demokrasi sampai sejauh ini amat berdekatan dengan malapetaka (Media Indonesia, [2-10-2010]).
Tidak ada batas yang jelas bagaimana menjalankan kehidupan dengan basis demokrasi di satu sisi dan mengurus kehidupan bersama dengan basis etis-moral yang kuat. Itu menjadi titik pangkal munculnya segenap mahabencana di semua wilayah kehidupan, bukan saja politik, melainkan juga sosial, ekonomi, dan budaya.
Kekerasan
Itu menegaskan satu kepastian yang terus menguat bahwa demokrasi belum mengerjakan salah satu tugas paling fundamental. Politik yang mampu membangun empati sosial. Kita masih menjumpai realitas politik jamak seputar kelalaian ini. Yang tersisa adalah kecenderungan politik yang melupakan basis utama (publik). Sikap politik yang membelakangi segala kerumitan problem sosial ekonomi paling konkret yang dihadapi rakyat. Yang menyesakkan, betapa kencenderungan mencemaskan itu bergerak semakin cepat. Meremukkan kesadaran sosial lembaga-lembaga politik publik.
Saat kesejahteraan sosial bagaikan ditelan bumi, para penguasa menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan benturan-benturan antarfaksi politik yang hampir tidak berkesudahan. Aroma egoisme politik telah merusak jalan putih demokrasi. Yang berkuasa, di mana pun mereka bercokol, selalu berusaha memproteksi alur cerita mereka sendiri dengan segala manis madu kekuasaan. Itu sebuah pukulan politik memalukan.
Judith Squires (2003) mengingatkan bahaya yang mengintai konstruksi sosial politik “demokratis”. Kemunduran bahkan kehancuran komitmen politik para penguasa terhadap rakyat akan menuntun mereka memainkan angan-angan politik artifisial ke dalam substansi politik pembangunan. Itu merujuk ke keberanian membela hak-hak sipil. Satu persoalan kunci dapat diajukkan di sini terutama berhubungan dengan keberaadaan kelompok kecil (minoritas) di Indonesia.
Human Rights Watch (2-8-2010) menulis laporan panjang tentang kekerasan yang sedang mengurung Indonesia selama beberapa waktu belakangan. Satu dari sekian banyak persoalan yang dicatat Human Rights Watch (HRW) adalah persoalan kekerasan yang menimpa kelompok religius minoritas di Indonesia. Satu-dua contoh bisa diangkat ke permukaan semisal kekerasan yang dialami kelompok Ahmadiyah. Menarik bahwa HRW tidak menempatkan persoalan kekerasan yang dialami kelompok religius minoritas semata sebagai kekerasan sosial antarkelompok agama. Dalam kajian itu, ada masalah mendasar yang disentuh. Ini berhubungan dengan politik kekuasaan. Konkretnya, politik belum memiliki implikasi positif konstruktif terhadap pengembangan kehidupan bersama (sosial) yang dewasa.
Ketidakhadiran
Ada jarak yang semakin jauh antara warga politik di satu pihak dan para penguasa di pihak lainnya. Pokok pembicaraan juga berbeda satu sama lainnya. Rakyat terus berkutat dengan berbagai macam persoalan yang semakin sulit untuk diatasi dengan cepat. Rakyat tidak hanya memikirkan harga kebutuhan pokok yang semakin tidak akrab, tetapi juga mencemaskan bahaya perusakan kebebasan dan kemerdekaan individual dan sosial. Sementara itu, para penguasa masih berkutat dengan wacana elitis seputar kekuasaan dan sekian banyak keuntungan yang bisa diraih darinya.
Kebijakan publik yang seharusnya menghubungkan kewargaan politik dengan institusi kekuasaan politik tidak menampakkan substansi sebagai seperangkat solusi atas seabrek persoalan sosial yang terus menggunung. Intensi dan komitmen politik kepada publik yang semakin galau tetap berada di titik mengkwatirkan. Meskipun kedengaran dengan tegas Pak SBY mengharapkan semua jajaran untuk melakukan tindakan tegas dan terukur terhadap berbagai macam aksi kekerasan, harapan itu seolah serentak sirna tak bernyawa sama sekali.
Itu yang sedang terjadi. Kelompok sosial yang merasa memiliki segala kekuatan boleh mengatur kelompok lain (minoritas) dengan pemaksaan, represi, teror, dan kekerasan. Sebetulnya, ini bukan hanya persoalan luapan kesombongan sosial yang tidak tertahankan. Akar persoalan juga barangkali pada ?kelalaian? para penguasa yang telah mendapatkan mandat demokrasi untuk mengurus kehidupan publik sebaik-baiknya.
Negara ini mengalami kerusakan sosial yang semakin tidak teratasi karena para penguasa menyibukkan diri dengan membangun monopoli politik. Robert Nozick (1999) menganalisis soal monopoli politik ini sebagai cikal bakal kejahatan kekuasaan bahkan di negara demokratis sekalipun. Ini berkaitan dengan aktor, kebijakan politik dan perilaku kekuasaan. The de facto monopoly?demikian istilah Nozick?akan melahirkan perilaku kekuasaan yang meringkus demokrasi dalam gelombang nafsu dan ambisi politik antipublik. Ini akan melukai inti demokrasi. Mencederai kehidupan sosial. Meremukkan hak-hak hidup paling asasi dari sebagian kecil warga negara.
Perbudakan
Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, menerbitkan beberapa kajian dengan editor Ross H. McLeod dan Andrew MacIntyre, di bawah tema besar Indonesia update series, berjudul Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance (2007). Publikasi ini teramat penting untuk melihat dan memahami posisi vital pemerintahan yang lahir dalam era dan suasana transformasi dan demokratisasi. Tidak ada hal yang lebih mendasar daripada persoalan kecakapan institusi pemerintah mengelola sumber daya sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia menuju kehidupan sosial yang lebih baik. Kecakapan itu mesti terbahasakan secara jelas dalam sebentuk kehidupan sosial yang merdeka dan beradab.
Keterjajahan multidimensional kehidupan yang sedang mendera sebagian besar warga di negeri ini belum mengusik kesadaran para pembesar kekuasaan di negeri ini. Malahan, sebaliknya, para pemangku kekuasaan di segala bidang kehidupan seolah mengingkari kondisi faktual rakyat. Meminjam judul buku klasik F. von Hayek (1944), ada bayangan munculnya bahaya bahwa para penguasa membangun the road to serfdom?jalan menuju perbudakan politik bagi rakyat di negeri ini. Segalanya berawal dalam kecenderungan yang semakin masif seputar disorientasi politik yang menistakan inti demokrasi; rakyat! Demokrasi akan koheren dengan malapetaka!
*) Direktur Parrhesia Institute Jakarta