Kapan Indonesia Meraih Nobel?

Ki Supriyoko *
suarapembaruan.com

Kamis 10 Desember 2009 ini, Presiden Amerika Serikat Barack H Obama diagendakan hadir di City Hall, Oslo, Norwegia, untuk menerima hadiah nobel. Seperti kita ketahui, pada bulan Oktober lalu Barack Obama telah ditetapkan sebagai pemenang hadiah nobel untuk bidang perdamaian.

Peraih nobel tahun ini hampir semua dari AS. Nobel Perdamaian untuk Barack Obama, Nobel Fisika untuk Charles K Kao, Williard S. Boyle dan George E Smith; Nobel Kimia untuk Venkatraman Ramakrishnan, Thomas Steitz dan Ada Yonath; Nobel Kesehatan untuk Elizabeth H Blackburn, Carol W Greider dan Jack W Szostak, Nobel Ekonomi untuk Elinor Ostrom dan Oliver Williamson, dan Nobel Sastra untuk Herta Mueller. Dari 13 nama tersebut, 11 di antaranya adalah orang AS.

Pada hari yang sama, 10 Desember 2009, mereka menerima hadiah nobel yang diimpikannya, sebagian menerimanya di Oslo, Norwegia, antara lain, untuk pemenang Nobel Perdamaian dan sebagiannya lagi di Stockholm, Swedia antara lain, untuk pemenang Nobel Fisika.

Nobel sudah sangat dikenal oleh masyarakat dunia. Ini bukan saja tradisi penghargaannya sudah dilakukan setiap tahun sejak lebih dari seabad lalu, tetapi juga karena penghargaan nobel dianggap sesuatu yang sangat prestigious, bergengsi, dan bermartabat.Untuk mendapatkan penghargaan Nobel tidaklah mudah karena harus melalui liku-liku yang cukup panjang. Untuk menentukan pemenang penghargaan bidang fisika dan kimia dilakukan oleh the Royal Swedish Academy of Sciences, bidang kedokteran oleh the Karolinska Institute, bidang sastra oleh the Swedish Academy; dan bidang perdamaian oleh sebuah komite yang ditunjuk oleh Norwegian Storting.

Perguruan Tinggi

Apabila kita cermati sejarah kehidupannya, sebenarnya Nobel sendiri merupakan nama keluarga (family name). Ayahnya bernama Immanuel Nobel dan ibunya Andriette Ahlsell Nobel. Jadi Nobel bukanlah nama asli sebagaimana dengan nama orang di Indonesia.

Keinginan Nobel (Alfred) untuk memberikan hadiah bagi orang yang melakukan usaha kemanusiaan kini telah terwujud. Lebih 500 hadiah nobel dibagikan. Di bidang kimia, hadiah nobel pertama (1901) diterima Jacobus Henricus van ‘t Hoff (Belanda), dan terakhir (2009) oleh Venkatraman Ramakrishnan (AS), Thomas Steitz (AS) dan Ada Yonath (Israel); Bidang ini penting karena Nobel sendiri mengawali karier bidang kimia. Ia bekerja di laboratorium Profesor TJ Pelouze, kimiawan terkenal, kala itu.

Apabila kita amati, dalam beberapa tahun yang terakhir ini ternyata penghargaan nobel lebih banyak, meski tidak selalu, diterima oleh orang-orang dari kalangan perguruan tinggi. Konkretnya: Thomas Steitz dari Yale University (AS), Ada Yonath dari Institute of Sains Weizmann (Israel), Elinor Ostrom dari Indiana University (AS), Oliver Williamson dari California University at Berkeley (AS), dan sebagainya.

Sering diterimanya penghargaan nobel oleh civitas perguruan tinggi bisa mengalihkan orientasi pendidikan, yaitu ke nobel. Itulah sebabnya civitas universitas selalu berusaha meraih nobel sekiranya memungkinkan. Hal itu juga terjadi di Jepang, karena warga universitasnya beberapa kali menerima penghargaan nobel. Ketika saya berkunjung ke Showa University, ada dosen setempat menanyakan apakah universitas tempat kerja Anda ada yang pernah menerima nobel? Tentu saya terbengong karena “suasana” nobel di Indonesia tidaklah setinggi di Jepang.

Kapan Indonesia?

Tanpa bermaksud “mengkultuskan” Nobel, kalangan perguruan tinggi dan lembaga keilmuan di negara-negara maju pada umumnya memang telah memperhitungkan peraihan nobel dalam menunjukkan kinerjanya. Apabila kita membaca laporan yang dipublikasikan oleh Shanghai Jiao Tong University dalam “Top 500 World Universities 1-100” (2008), diterangkan bahwa salah satu indikator penentuan suatu perguruan tinggi berkelas dunia adalah ada-tidaknya peraih penghargaan nobel di lembaga pendidikan itu.

Di Indonesia, mulai tahun 2006 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah “meniru” pemberian penghargaan nobel yang diberi nama Indonesia Scientific Award; di samping lembaga keilmuan ini telah mendatangkan Douglas Dean Osheroff, peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1996 bersama David Morris Lee serta Robert Coleman Richardson. Harapannya, pada 2020 nanti salah satu putra terbaik Indonesia dapat meraih hadiah nobel.

Di Jakarta, sejak tahun 2005 telah diselenggarakan SMA kelas super. Kelas ini menampung siswa SMP yang memiliki kecerdasan tinggi, IQ-nya di atas 120, dan nilai ujian nasionalnya tinggi, di samping harus lulus seleksi yang ketat. Harapannya, tamatan lulusan SMA kelas super ini bisa melanjutkan studi ke universitas terbaik di luar negeri, syukur-syukur kelak lulusan tersebut dapat menerima penghargaan nobel. Apa yang dilakukan LIPI dan pengelola SMA kelas super tersebut di atas kiranya merupakan bagian dari skenario penerimaan penghargaan nobel bagi putra-putri terbaik Indonesia tahun 2020 nanti. Akankah berhasil skenario ini? Entahlah.
***

*) Direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa Yogyakarta serta pembina Sekolah Unggulan “Insan Cendekia” Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *