MAKNA KEMERDEKAAN DALAM SASTRA

W Haryanto*
http://www.surabayapost.co.id/

Taufiq Ikram Jamil, secara lantang pernah berujar, ?Riau perlu merdeka, karena pusat telah mengekploitasi kekayaan wilayah ini? (dalam diskusi di TIM, 2004), pada saat yang sama, Sutardji Ch Bachri menimpali, ??.yang diperlukan Riau bukan kemerdekaan politik, tetapi sastra Riau yang harus merdeka.? Makna ?merdeka? selalu relevan dan aktual dalam perjalanan budaya kita, bahkan setelah ?nasionalisme? kita mengalami pelbagai kendala, benturan, tafsir, juga deformasi.

Adakah makna ?merdeka? punya nilai fungsional dalam sastra? frasa ini cukup menarik?jika kita berawal dari terminology, ?kreativitas adalah pembebasan?, maka apapun yang memberi batas teritori adalah ancaman. Kreativitas, dimaksudkan sebagai ruang yang tak pernah selesai ?diekspresikan? dan menjadi jalan lain dari integrasi manusia ke dalam tata kelaziman. Maka, ia memiliki beberapa perwujudan, (i) sebagai metode untuk melepaskan suasana sentimental dan individual, (ii) pemberdayaan dan kejutan bagi kenyataannya yang massif. Maka, kreativitas mengkombinasikan ?psikologi otomatis? dan pemberdayaan teknologi imajinasi.

Sebagai instrument kreativitas, sastra menawarkan daya cerna yang terbuka, obyektif, dan rasional terhadap pelbagai ketertutupan. Beberapa manifestasinya berupa liberalisme atau feminisme. Ini bersifat factual dan metodis?karena gejala-gejala ini juga merupakan efek dari kontruksi kolonialisme yang belum selesai. Ada asumsi unik, ?karena kita terjajah oleh Belanda selama 350 tahun, maka kita butuh waktu 350 tahun juga memulihkan diri untuk terbebas.? Ini tidak bisa kita pungkiri, pelbagai kesadaran dan kerangka teoritis kita masih bergantung pada ?ibu kolonialis? kita, yakni Barat (sebagai pengertian budaya dan politik).

Aktivitas-aktivitas besar kita berkait dengan kebudayaan menjadi mata rantai tak terputus dari tangan-tangan kolonialis, seperti yang ditunjukkan Komunitas Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal, juga Freedom Institut. Ketiga ujud aktivitas sangat bergantung dengan kepentingan Barat di Indonesia, yakni dengan mengkampanyekan teori dan pemahaman Kolonial lewat pendekatan budaya, antara lain, Post-Kolonial, Post-Tradisional, dll. Maka, muncullah gejala ?liberalisme? dalam kreativitas, novel ?Saman? karya Ayu Utami yang menawarkan ?kebebasan seksual? di tengah gejala munculnya militansi rasialisme di pelbagai wilayah mulai Sambas sampai Ambon.

Keberadaan sastra berbasis ?seksual? adalah politik identitas, sebagai upaya eliminasi kesadaran kita terhadap bahaya rasialisme (sebagai agenda terselubung Barat pada Indonesia). Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta kesejarahan Eropa di tahun 40an, militansi rasisme Hitler justru memunculkan karya sastra yang menyampaikan kecemasan kreativitas terhadap bahaya kemanusiaan ini. Tengoklah karya ?Malam Terakhir? karya Eile Weisel yang merekam dengan detail bencana kemanusiaan di tahun 40an. Kita juga menemukan karya serupa, ?Sebatang Kara? karya Victor Hugo yang mendiskripsikan situasi sosial menjelang Revolusi Perancis. Maka, muncul asumsi, ?Bencana Kemanusiaan selalu akan melahirkan karya-karya besar yang merefleksikannya.? Sementara, karya Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Binhad Nurrohmat?justru membentuk pola berseberangan, tak lagi menggugah daya kritis pembaca terhadap ancaman pada bahaya kemanusiaan, sebaliknya malah menempatkan identitas sastra pada paham liberalisme secara membabi-buta.

Seksualitas pada awalnya?sebatas gejala interaktif dalam kebutuhan yang semula bersifat “sakral-personal”, kaum liberal memperalatnya menjadi aparat pertarungan semiotika mutakhir. Perspektif post-industrial secara efektif telah memungkinkan ujud budaya (di dunia ke-3) dimiskinkan fungsinya. Liberalisme memaanfaatkan kegoyahan structural budaya dunia ke-3 ini ke dalam kesadaran distruktif. Liberalisme mempertanyakan pelbagai pengaruh fundamental yang mendasari masyarakat dunia ke-3 dengan lingkungan abstraknya. Seksualitas dalam perspektif agraris?menempatkan individu ke dalam kontinuitas manusia ke alam simbolisasinya, maka ?seks? menempati satu tahap tertinggi dalam transendensi masyarakat agraris. Komunitas Utan Kayu dengan pelbagai komponen interaktifnya, memakai metode liberalisme dengan berpijak pada prasangka didaktif dan memojokkan internalisasi kekayaan budaya dunia ke-3 ini.

Berbeda dengan liberalisme di Eropa, yang justru menyerang efek-efek kolonialisme dan fundamen ortodoksi Eropa yang mengancam kemanusiaan. Liberalisme Eropa inilah yang melahirkan maha-karya ?Multatuli?, juga fragmen ?Koeli? karya LLulofs?yang menjadi akar realisme dalam sastra Hindia Belanda. Sebaliknya, Liberalisme Komunitas Utan Kayu justru berpihak pada kolonialisme. Kaum liberal kita, seperti Jenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, juga Nirwan Dewanto adalah “obyek-obyek” budaya yang gagal dan remeh dalam presentasi budaya global. Tak jauh beda dengan konfigurasi antara binatang dan suku-suku terasing; sebagai efek pemenuhan kebutuhan “barat” atas pakansi dan transisi seperti munculnya Vietnam Rose, penyakit kelamin yang terjadi akibat kebuntuan “rasionalisasi” ideologi western di kawasan Indo-china, antara komunis dan kapitalis. Tak ada yang dimenangkan. Tak ada yang dikalahkan. Segalanya cuma eksperimentasi, kegagalan budaya, dan kerancuan intelektualitas dunia Barat.

Seksual(isme) dalam apologi Binhad Nurrohmat, “sebagai upaya menyingkap kebobrokan masyarakat”, dipahami lewat terminologi yang “celaka”. Pertama, karena simpulan terbesar dalam seni, seyogyanya adalah temuan ilmiah yang mengispirasikan sebuah kemajuan peradaban (tengok pula “inspirasi” bapak Hereditas, Gregor Mendel, “bahwa kelak, bila terjadi ledakan penduduk, dunia ini butuh jumlah makanan yang sangat besar”; maka muncul aktivitas perkawinan silang tumbuhan). Kedua, kebutuhan emansipatoris dari kesadaran sastra adalah mengikat “sistem personalnya” kepada terbangunnya rangkaian proletariat (baca: Le Voyageur, Guillaume Apollinaire). Dan memang. Sastra kita terkini, patutlah diakui, cuma memuaskan style cacat masyarakat borjuis (hysteria seksual), senyampang dengan kritik Albert Camus tentang munculnya pragmatisme dalam kreativitas.

Makna kebebasan dalam sastra, bukan ?kebebasan yang tak terbatas? yang tak memiliki tanggung jawab kultural. Kebebasan ini harus dikombinasikan dengan ?moral dan intelektual?, bukannya mengembangkan pandangan pribadi yang narsis dan dangkal. Pertanyaannya, adakah relevansi antara ?sensasi kebebasan? dan kreativitas? Maka, kita bisa memberi beberapa analisa, (i) kebebasan yang tidak berkenaan dengan komunikasi rasionalitas individu ke dalam system sosialnya. Euphoria semacam ini mengandung beberapa kendala eksternal, yakni berujud perspektif yang membatasi ?individu? dari komunikasi social. Perspektif ini memandang kebenaran hanya bersifat eksistensial yang cenderung membangun prasangka terhadap gejala-gejala di sekitarnya. (ii) kebebasan akan memberi pengaruh langsung kepada internalisasi semua komponen individu kita. Perspektif ini lebih menekankan pada teknik penyajian dan bersifat kebenaran esensial. Perspektif ini menekankan pada pembuktian sosiologis, seluruh gejala-gejala yang diuji lewat analisa rasional.

Kemerdekaan kreativitas, tidak sekedar pada kemampuan internalnya?menyampaikan kebenaran tekstual, tetapi juga memperkaitkan dirinya pada dinamika psiko-sosial yang berkembang. Reproduksi sastra juga berkenaan dengan identifikasi wilayah kulturalnya, sehingga teks bisa dirujukkan untuk mengkritisi pelbagai gelagat budaya dan mengembangkan ?penyadaran? tentang adanya manipulasi cultural. Terkait dengan ungkapan Sutardji Colzoum Bachri di atas, maka identitas sastra bisa diterjemahkan pada penguatan basis cultural ketimbang mempertanyakannya lewat kaca mata Liberalisme. Inilah relevansi antara kebebasan (kemerdekaan) sebagai basis psikologis dan refleksi kenyataan sosialnya, maka reproduksi tekstual bisa diuji secara rasional dan obyektif, dan melahirkan karya-karya yang ?tidak kosong budaya? seperti model karya Yusakh Ananda, Ahmad Tohari, maupun Pramoedya Ananta Toer.

*) Direktur Penerbitan Dewan Sastra Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป