Nuryana Asmaudi SA
http://www.balipost.co.id/
Aku terperanjat ketika sampai di hutan itu jasadku tidak ada. Puing-puing pesawat dan mayat para penumpang yang tadi bergelimpangan juga tidak ada. Hilang ke mana? Atau aku salah tempat kembali? Mustahil kalau mayat-mayat dan juga batang pesawat itu sudah dievakuasi oleh regu penolong dalam waktu demikian singkat.
SETELAH mengadu-aduk seluruh hutan pegunungan tersebut tak kutemukan jasadku, maka aku putuskan untuk mencari kampung terdekat. Siapa tahu jasadku bersama mayat-mayat lain yang menjadi korban kecelakaan jatuhnya pesawat yang kami tumpangi itu memang sudah dievakuasi ke sana.
Di kampung itu pun aku tak menemukannya. Hingga aku segera melanjutkan pencarian ke kota, ke rumah sakit, barangkali para korban sudah dibawa ke sana. Tapi di rumah sakit kota kabupaten juga tak ada. Kamar mayat kosong. Hanya ada beberapa kereta dorong yang terbujur kaku. Ada tiga rumah sakit di kota itu, tapi semuanya nihil. Aku semakin resah dan lelah. Tapi, aku harus meneruskan pencarian dan menemukan jasadku sebelum terlambat. Aku segera meluncur ke kota propinsi, ke rumah sakit besar. Kukira para korban itu pasti diangkut ke sana untuk penanganan lebih profesional, mengingat sebagian besar dari korban itu adalah warga asing.
Di rumah sakit besar propinsi itu barulah aku melihat tanda-tanda yang melegakan. Banyak orang berkerumun dan mondar-mandir berdatangan silih berganti. Wajah-wajah orang berduka dan panik, juga penasaran, bahkan tangis histeris, menyelimuti suasana di rumah sakit induk tersebut.
Aku segera menerobos di sela-sela kerumunan dan keriuhan orang-orang itu. Aku langsung menuju kamar mayat untuk mencari jasadku yang pasti ditaruh di sana. Benar, di kamar mayat itu banyak mayat bergelimpangan. Mayat-mayat yang penuh bercak darah ada yang patah di bagian kaki dan tangan, tubuh yang sudah hancur, kepala yang terpisah dari tubuh, dan macam-macam lagi yang mengenaskan. Bahkan banyak mayat yang gosong seperti bekas terbakar, yang sebagian sudah dibungkus dalam plastik. Aku teliti satu demi satu, terutama pada mayat yang masih agak utuh dan mirip jasadku, karena waktu aku tinggal tadi jasadku memang masih utuh. Tapi, aneh sekali, aku tak menemukan jasadku di kamar mayat itu.
Maka, aku coba mencarinya ke ruang perawatan. Siapa tahu jasadku dirawat di sana, karena masih ada tanda-tanda hidup. Semua ruang perawatan di rumah sakit yang besar dan luas — mulai dari ruang Gawat Darurat hingga ruang operasi bedah — telah aku masuki, tapi tak juga kutemukan jasadku. Mungkinkah jasadku tercecer di tempat lain? Atau, barangkali, sudah ada orang yang mengambilnya?
Aku kelelahan dan putus asa. Aku duduk di teras rumah sakit sambil memperhatikan orang-orang yang tak henti lalu-lalang — mungkin mencari keluarganya, atau sekadar ingin tahu pada kurban di kamar mayat itu. Dan, dari omongan mereka akhirnya aku tahu, ternyata ratusan mayat yang bergelimpangan di kamar mayat itu adalah korban ledakan bom, bukan korban kecelakaan pesawat yang aku tumpangi. Ah, pantas jasadku tak ada di antaranya.
Karena terlalu lelah, aku sampai ketiduran di teras rumah sakit di dekat kamar mayat itu. Hingga tiba-tiba aku dikejutkan oleh colekan seseorang yang membangunkanku, ”Hai, ngapain sampeyan di sini? Pergi nggak bilang-bilang, bikin bingung orang saja. Saya sampai dimarahi Bos, dibilang teledor menjaga sampeyan. Ayo, kembali ke asrama. Beliau sudah menunggu. Nanti saya dimarahi lagi gara-gara terlalu lama mencari sampeyan!” kata orang itu. Dialah orang yang membawaku pergi waktu terjadi kecelakaan pesawat tersebut.
”Emoh! Aku nggak mau kembali ke sana sebelum jasadku kutemukan. Gaga-gara ajakanmu aku jadi kehilangan jasad. Sialan!” aku omeli orang itu.
”Hus! Jangan bikin masalah. Ngapain cari susah? Sampeyan itu dipremakke, dipilihkan hal yang lebih baik, kok malah ngeyel. Sudahlah, ayo cepat kembali ke asrama. Lupakan saja jasad sampeyan yang jelek itu, bikin repot saja!” ”Tidak! Aku harus menemukan jasadku. Aku tak perduli. Ini semua gara-gara kamu. Pokoknya kamu tak tempohi, kamu harus bertanggungjawab ikut menemukan jasadku!”
”Ah, sampeyan ini memang mbrengkele! Bandel! Ngeyelan!” Akhirnya orang itu mengalah. Diajaknya aku pergi ke sebuah kota yang rasanya aku pernah melihatnya — aku teringat agak samar-samar, sepertinya kota kelahiranku yang sudah lama aku tinggalkan. Sampai di suatu tempat, aku diajak memasuki kuburan tua yang luas dan wingit — sepertinya kuburan desaku.
”Inilah kuburan sapeyan!” kata orang itu, menunjukkan makam tua di bawah pohon kamboja yang nisannya sudah berlumut dan diapit batang bunga putri ayu dan cempaka piring. Pusara makam itu sudah sangat padat.
”Ah, kamu jangan mengada-ada!” Aku terperanjat tak percaya, ”Kamu sukanya bikin sensasi. Mau ngerjain aku lagi ya?” ”Sampeyan masih juga tak percaya, sampeyan ini memang bandel. Mana mungkin saya bohong? Itu menyalahi kodrat saya, Bung!” kata orang itu tak mau kalah, ”Ini benar-benar makam sampeyan. Sumpah! Asli! Tingpet! Wallahi!” ”Mustahil! Tidak masuk akal! Bagaimana mungkin kuburan setua ini makamku? Aku baru meninggalkan jasadku beberapa jam lalu di hutan tempat jatuhnya pesawat itu!” bantahku.
”Baru beberapa jam, itu kan menurut perhitungan sampeyan di alam yang sekarang ini, Mas? Tapi menurut perhitungan di alam dunia, sampeyan sudah pergi meninggalkan jasad sampeyan puluhan tahun!” orang itu menjelaskan. Sungguh tidak masuk akal. Aku tak percaya pada penjelasan orang itu. Sayang aku tak diizinkan masuk ke dalam kubur, menengok jasad di liang lahat, untuk membuktikan apakah benar itu jasadku atau bukan. Orang itu cepat-cepat merengkuhku dan membawaku pergi meninggalkan kuburan tua itu.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, aku tak henti-henti berpikir perihal kuburan tua yang dibilang makamku itu. Akhirnya dia bercerita bahwa jasadku sudah dikubur tiga puluh tahun yang lalu, setelah disiksa terlebih dulu oleh penguasa pada saat itu, setelah aku ditemukan dalam keadaan pingsan dalam kecelakaan pesawat itu. Aku dianggap sebagai tokoh oposisi dan teroris yang diincar oleh pemerintah yang ditunggangi penguasa Barat. Aku dibilang pentolan agama kelompok garis keras yang bekerja sama dengan komunis (lha, ini yang lucu dan tak masuk akal!) yang menjadi musuh negara. Setelah dibunuh, mayatku kemudian dikirim kepada keluargaku dalam kondisi sudah terbungkus dan dikemas dalam peti mati. Keluargaku dilarang membuka.
Bahkan saat pemakaman pun dijaga ketat dan diawasi. Keluargaku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti kehendak penguasa, bahkan harus ”membenarkan” isu yang dikatakan mereka, bahwa aku adalah tokoh teroris yang membahayakan negara. Penguasa negeriku dihasut oleh Barat. Barat telah berhasil membuat rekayasa dengan cara yang licik, dengan membuat teror dan kekacauan di berbagai daerah dengan memancing pertikaian antar-suku dan etnis, serta meledakkan bom di berbagai tempat terutama rumah ibadah, yang seolah-olah dilakukan oleh (atau sengaja memanfaatkan) kelompok garis keras yang berbasis agama.
Aku termasuk salah seorang yang dijadikan kambing hitam dan difitnah mereka. Aku diisukan baru saja pulang dari perjalanan untuk menggalang kekuatan organisasi kelompok garis keras dan fundamentalis untuk membuat teror dan kekacauan. Aku bahkan dituduh membajak dan meledakkan pesawat yang aku tumpangi (yang kemudian jatuh itu) yang kebetulan banyak orang bule-nya.
”Sampeyan memang dikambing-hitamkan!” kata orang itu, ”Sudah lama, dan tak henti-hentinya, mereka mencari orang atau kelompok yang bisa dijadikan kambing hitam. Kebetulan sampeyan sedang apes: sebagai tokoh agama yang mengajarkan agama dengan tegas dan lurus tanpa dibengkok-bengkokkan, yang terkesan keras dan fundamentalis. Kebetulan pula sampeyan naik pesawat bersama banyak bule yang kebetulan mengalami kecelakaan. Apalagi sampeyan satu-satunya penumpang yang masih hidup. Ya, tepatlah! Sangat pas dijadikan kambing hitam untuk korban!” papar orang itu menjelaskan.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkannya. Bagiku tidak hanya biadab dan tidak masuk akal, tetapi juga menggelikan, kalau aku dituduh dan diperlakukan seperti itu. ”Eh, tunggu dulu! Omong-omong, ceritamu tadi kisah nyata apa fiksi?” tanyaku kemudian.
Orang itu tidak menjawab. Dia hanya tertawa, sambil matanya ketip-ketip menatapku, hingga giginya yang putih berkilat-kilat seperti gigi bintang iklan pasta gigi di televisi.
Denpasar, 1 Februari 2003