Setiyo Bardono
http://www.sinarharapan.co.id/
?Jangan sekali-kali membuka tutup periuk ini.? Seingatku ada tiga orang yang pernah mengatakan hal seperti itu.
Orang yang pertama adalah Emakku. Soalnya ketika kecil dulu aku sering mengambil air campuran beras yang sudah mendidih, kemudian kucampur dengan sedikit garam dan gula jawa. Orang menyebutnya air tajin. Rasanya enak sekali. Mungkin air tajin itu kurang sehat atau Emak agak kesal karena kadang aku mengambil tajinnya terlalu banyak hingga air yang ditakar secukupnya akan berkurang kemudian mengganggu keras lunaknya nasi.
Orang kedua adalah Dewi Nawangwulan. Tentu saja pesan itu tidak ditujukan untukku, tapi untuk pemuda desa bernama Jaka Tarub, suaminya. Pesan itu walaupun lamat-lamat selalu kuingat, karena Bapak berkali-kali mendongengkannya ketika aku kecil tak jua mau terlelap. Sekarang aku pasti tidak bisa merangkai dongeng itu secara sempurna. Entahlah dongeng apa yang bisa aku ceritakan kepada anakku nanti.
Orang ketiga adalah istriku sendiri. Pesan itu tentu saja untukku, hanya ada perbedaan sedikit mungkin karena tuntutan perkembangan zaman.
?Jangan sekali-kali membuka tutup rice cooker ini.?
***
Sebagai suami yang baik, aku mengiyakan saja ketika pertama kali mendengar pesan itu. Tapi karena Wulan, istriku terus mengulanginya setiap menanak nasi rasanya pesan itu menjadi aneh. Apakah dia khawatir aku akan mengambil air tajin, karena bisa saja orang mengalami kerinduan masa kanak-kanak. Tapi darimana dia tahu kalau waktu kecil aku sering menyambangi dapur. Atau barangkali istriku ingin sekali memanjakan aku, hingga aku tak perlu lagi mencampuri urusan dapur. Menerima pesan yang sama dan berulang-ulang memang menjemukan dan menimbulkan tanda tanya.
?Jangan-jangan istriku titisan Dewi Nawangwulan.?
Bukankah hanya Dewi Nawangwulan yang terus mengulang pesan itu kepada Jaka Tarub. Dewi Nawangwulan bisa mengubah sebutir beras menjadi sebakul nasi, tentu saja bila tidak ada campur tangan manusia. Maklumlah, Dewi Nawangwulan kan seorang bidadari, maka akan sangat berbahaya kalau ada manusia berani mengintip rahasia kesaktiannya, termasuk Jaka Tarub, suaminya yang hanya manusia biasa.
Tapi masak sih, istriku titisan seorang bidadari. Memang nama lengkap istriku juga Nawang Wulan, hanya ada tambahan Anggraeni. Nawang Wulan Anggraeni, mungkin orangtuanya mengharap anak gadisnya bisa secantik Dewi Nawangwulan, tapi kemiripan nama kan hanya fiktif belaka dan tidak direka-reka.
***
Bidadari turun ke bumi melewati tangga pelangi. Begitu lazimnya sebuah dongeng, seperti ketika Dewi Nawangwulan hendak mandi di sebuah telaga yang bening dan indah di bumi. Mungkin memang benar bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, hingga tak ada lagi pemandian di kahyangan yang menyamainya. Ternyata bidadari punya rasa bete juga.
Tapi mana mungkin istriku titisan bidadari walaupun langit juga berhias pelangi ketika pertama kali kami bertemu. Aku melihat lengkung warna-warninya ketika telunjuk Wulan memberi arah. Saat itu titik-titik gerimis menerpa wajahku.
?Namaku Wulan, rumahku di ujung desa.?
Tapi, tak ada telaga yang bening dan indah ketika pertama kali aku bertemu dengan Wulan. Tak ada cerita seorang pemuda yang mengendap-endap di bebatuan. Aku yakin pada waktu itu, Jaka Tarub merasakan birahi yang memuncak, sebab lelaki normal mana yang adem ayem saja ketika melihat wanita sedang mandi, apalagi dia seorang bidadari. Birahi yang menuntun tangan-tangannya mengembat selendang milik Dewi Nawangwulan.
?Aku hanya perempuan penggembala.?
Sore itu, aku melihat seorang gadis manis sedang berlari menghalau beberapa ekor kambing yang nakal menggasak kebun singkong di pinggir kali. Selendang yang disampirkan di lehernya menari-menari, mengikuti irama liukan rambut panjangnya yang dipermainkan angin. Seperti adegan dalam film India dan sepotong iklan sampo antiketombe. Sebuah keindahan yang mendebarkan dada dan menghentikan kayuhan sepedaku.
Aku selalu mengingat tempat itu. Sebuah tempat dekat bendungan irigasi di sebuah sungai tak jauh dari kampungku. Orang-orang menyebut bendungan itu Brug Seng, karena bangunan itu dulunya beratap seng. Walaupun sekarang bendungan itu sudah diganti semuanya dengan beton, orang-orang tetap menyebutnya dengan Brug Seng bukan Brug Beton. Begitulah, penduduk desa memang lebih setia dengan sejarah.
Kalau aku tidak kena PHK, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Wulan. Pabrik tempat aku bekerja terancam bangkrut, hingga perlu diadakan semacam restrukturisasi termasuk rasionalisasi jumlah karyawan. Aku mungkin termasuk karyawan yang tidak rasional atau karena aku ikut-ikutan aktif di beberapa organisasi dan komunitas buruh. Akhirnya, aku terpaksa pulang kampung untuk mendinginkan mesin.
Seperti sebuah ritual, setiap kali pulang kampung, selalu kusempatkan waktu untuk menengok Brug Seng, karena tempatnya memang asyik untuk melamun atau meratapi diri. Kalau Jaka Tarub berhasil memikat hati Dewi Nawangwulan dengan cara-cara yang ilegal, aku baru berhasil mencuri selendang cinta yang ada di hati Wulan, setelah melalui pendekatan yang cukup panjang.
Berarti adanya pelangi waktu pertama kali bertemu Wulan, pasti sebuah kebetulan belaka. Pertemuan di sore-sore berikutnya, langit tak menampakkan selarik pelangi. Bidadari turun ke bumi tidak setiap hari, apalagi pakai ngedate segala.
***
?Jangan sekali-kali membuka tutup rice cooker ini?.
Apakah Wulan bermaksud menyindirku. Maklumlah, sampai saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan baru. Beberapa surat lamaran sudah kukirimkan, semuanya mendapat tanggapan yang hampir serupa: Nanti akan kami hubungi kembali. Nanti-nanti sampai kapan?
Mungkin ini cobaan bagi rumah tangga yang boleh dikatakan: nekat aku bina. Bagaimana tidak nekad, dalam keadaan yang terombang-ambing, justru aku memutuskan untuk menikah. Mungkin karena kalimat sakti yang meluncur dari bibir tipis Wulan menguatkan keberanianku.
?Rejeki sudah ada yang mengatur. Kita bisa mulai dari nol?.
Memang begitu risiko pacaran di desa. Satelit mata-mata akan mengawasi gerak-gerik kita dari setiap sudut. Rasanya, hampir semua penduduk itu bersaudara dan orang tua akan selalu gigih menjaga sebelum hal-hal yang tidak diinginkan menimpa anak gadisnya. Karena desakan berbagai pihak, dengan menguras tabungan hasil kerjaku selama bertahun-tahun, akhirnya kami pun menikah.
Tapi ada enaknya juga punya mertua orang desa. Mereka rata-rata rela berkorban bila anak-anaknya sedang mengalami kesusahan. Beberapa kambing milik Wulan dijual untuk biaya kontrakan setahun di pinggiran Jakarta. Orang tuaku pun membekali sekarung goni beras, bumbu-bumbu dan peralatan dapur.
Sudah tiga setengah bulan berlalu, rasanya tak ada perubahan yang berarti dalam rumah tanggaku ini. Kalau saja aku sudah mendapat pekerjaan, tentu sesiang ini aku sudah ada di tempat kerja dan tak terganggu atau berlarut-larut memikirkan pesan itu.
?Jangan sekali-kali membuka tutup rice cooker ini?.
***
Beras di dalam air secukupnya. Pasti itulah yang akan aku dapatkan jika aku membuka tutup rice cooker itu. Jadi untuk apa Wulan selalu mengulang pesan itu setiap kali menanak nasi. Apakah dia mempunyai firasat bahwa suatu saat aku pasti akan membukanya? Kalaupun aku membukanya, apakah beras dalam rice cooker tak jadi tanak?
Beras di dalam air secukupnya. Memangnya ada benda apalagi yang membuat nasi putih mengepul terhidang di depanku. Kalaupun ada benda lain, yang paling mungkin adalah telor ayam. Biasanya ibu-ibu mengukus telor ayam di atas nasi yang hampir tanak.
Begitulah, aku terus saja memikirkan pesan itu. Bagaimana tidak, uang di saku sudah begitu menipis dan mengkhawatirkan. Sementara itu, aku harus hilir mudik ke sana kemari mendatangi tempat yang katanya menyediakan lowongan pekerjaan. Belum lagi untuk beli kertas folio, beli amplop, rental komputer, warnet, ngeprint surat lamaran, dan lain-lain. Untung saja, istriku seorang perempuan yang penuh pengertian. Tak pernah terdengar satu keluhan pun keluar dari bibirnya. Dan yang paling ajaib: hidangan selalu tersedia di meja makan tepat pada waktunya.
Kekuatan apa yang bisa membuatnya mumpuni mengurusi dapur dengan budget yang begitu kutekan? Jangan-jangan Wulan memang titisan bidadari, yang punya kekuatan mengubah sebutir beras menjadi sebakul nasi. Ketika suatu saat kuberanikan untuk bertanya mengenai pesan itu, Wulan hanya tersenyum manis sambil memegang lembut tanganku.
?Nggak ada apa-apa kok… Nggak usah dipikirin. Mendingan kamu mikirin mencari pekerjaan saja, urusan dapur biar aku yang ngatur…?
***
Hampir empat bulan. Kalau dari kalkulasi umum, apakah sekarung goni beras bisa bertahan selama itu? Walaupun hanya untuk makan kami berdua. Belum lagi sayur dan lauk pauknya, yang sesederhana apa pun memerlukan biaya. Aku memang tak pernah melongok persediaan beras di dapur, karena Wulan selalu tersenyum dan menjawab: Jangan khawatir masih ada kok.
Hebat sekali istriku ini. Jangan-jangan dia punya tabungan yang disembunyikannya dariku. Tapi kurasa tidak mungkin, karena kontrakan ini terlalu sempit untuk menyimpan sebuah rahasia. Atau jangan-jangan dia punya banyak utang di warung sebelah, karena sudah beberapa minggu aku tidak memberinya uang belanja. Tiap kali uangku yang sudah begitu mengkhawatirkan itu aku berikan padanya dia selalu menolak.
?Sudahlah, kamu pasti lebih memerlukannya. Tak perlu khawatir, urusan dapur biarlah aku yang mengaturnya.?
Dan seperti biasa: hidangan selalu tersedia di meja makan tepat pada waktunya. Keajaiban yang selalu saja mengganggu pikiranku. Ini jelas bukan sebuah kewajaran. Sebuah rumah tangga harus diawali dengan keterbukaan, mengapa harus ada pesan: Jangan sekali-kali membuka tutup rice cooker ini.
Berarti ada sebuah rahasia yang tersimpan dalam rice cooker itu, hingga aku tak boleh mengetahuinya. Tapi mengapa selama ini aku begitu mematuhi pesan itu. Kalau aku menceritakan hal ini kepada teman-temanku, jangan-jangan mereka akan memasukkan aku dalam kelompok ISTI (Ikatan Suami Takut Istri), dengan alasan: membuka tutup rice cooker saja tidak berani, apalagi hal-hal yang lain.
Jadi rahasia apa yang datang bersama terhidangnya semua makanan itu. Kalau memang rahasia itu tersembunyi di dalam rice cooker dan aku nekad membukanya, jangan-jangan aku akan mengalami nasib yang sama dengan Jaka Tarub yang kemudian kehilangan Dewi Nawangwulan. Tapi aku merasa begitu yakin istriku bukan bidadari atau titisannya.
Masak sih gara-gara dilarang membuka tutup rice cooker, aku harus tega menuduh Wulan selingkuh dengan lelaki lain. Selama ini kulihat Wulan baik-baik saja, tidak ada indikasi ke arah itu. Wulan lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, bahkan dia jarang bergabung dengan ibu-ibu tetangga yang suka ngerumpi di warung. Jadi rahasia apa yang disembunyikan istriku dalam rice cooker itu.
Akhirnya rasa penasaran itu memuncak juga. Aku harus mengorek sekam untuk memastikan tak ada bara di dalamnya. Tidak ada yang boleh menyimpan rahasia dalam rumah tanggaku, sebagaimana aku selalu berusaha untuk jujur dan terbuka tentang apa saja kepada istriku. Memangnya apa yang akan diperbuat Wulan andai aku membuka tutup rice cooker itu. Terbang seperti Dewi Nawangwulan? Aku tak boleh takut dengan bayang yang kuciptakan sendiri.
Pada suatu kesempatan, akhirnya kuberanikan juga membuka tutup rice cooker. Mungkin ini memang harus terjadi, sebagaimana Jaka Tarub tak kuasa untuk melawan rasa penasarannya. Semua terjawab ketika kenyataan itu menggenang di depan mataku.
Air. Ya, hanya air saja tanpa sebutir beras pun. Apakah kesaktian Dewi Nawangwulan telah habis?
Kudengar isak Wulan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, begitu lamanya aku terkesima atau begitu cepatnya dia kembali dari warung.
?Kamu telah melanggar pesanku?.
Wulan tersedu sambil memukul-mukul dadaku. Baru kali ini sebuah pukulan kurasakan begitu menyakitkan.
?Berarti selama ini kamu selalu mencurigaiku. Kau pikir aku Dewi Nawangwulan yang menari-nari dalam celoteh dan kecurigaanmu.?
?Mengapa kamu menyimpan rahasia di depan suamimu ini??
?Aku hanya ingin tahu seberapa besar rasa kepercayaan pada istrimu. Aku melihat bebanmu begitu berat, makanya aku tak mau persoalan dapur menambah beratnya beban itu?
?Lalu genangan air ini….?
?Beras dan minyak tanah sudah habis, jadi aku pakai saja rice cooker itu untuk merebus air. Baru habis itu aku mau menanak nasi. Hari ini kita makan yang seadanya saja ya…? kata Wulan sambil memperlihatkan sekantong plastik beras dan derigen minyak.
?Katakan, darimana kamu mendapatkan uang??
Wulan tak menjawab. Ia hanya membuka kancing bajunya bagian atas.
?Aku telah menjualnya?.
Kalung itu… Mengapa aku tak pernah memperhatikannya.
?Entahlah, apalagi yang bisa aku jual?
Kata-kata Wulan seperti menelanjangi ketidakberdayaanku sebagai seorang laki-laki. Pengorbanannya menjaga laju biduk rumah tanggaku kubayar dengan kecurigaan-kecurigaan. Lelaki macam apa aku ini.
?Maafkan aku, sayang…?
Entahlah, mungkin kesalahanku ini memang tak pantas untuk dimaafkan karena sepanjang malam kudengar Wulan terisak.
***
?Sayangku, izinkanlah aku pergi?
Pagi itu Wulan membangunkanku dalam keadaan rapi dengan selendang tersampir di pundaknya. Aku segera memeluk tubuhnya dan menghiba, seperti seorang anak kecil yang direbut mainannya, seperti Jaka Tarub yang punya firasat akan ditinggalkan Dewi Nawangwulan.
?Aku memang salah. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi meninggalkanku. Please… Kalau kamu pergi, siapa yang akan menemaniku mengarungi kehidupan ini?
Wulan terisak dan membalas pelukanku.
?Walaupun kamu sudah melanggar pesanku. Aku tak akan pergi meninggalkanmu. Aku bukan Dewi Nawangwulan yang meninggalkan Jaka Tarub. Aku manusia biasa, seorang wanita dengan cinta dan kesetiaan tertanam dalam dada. Bukankah kita sudah berjanji untuk menghadapi beban hidup ini bersama-sama?
Kami berpelukan semakin erat.
?Tapi, kamu mau pergi ke mana??
?Begini, seorang teman menawariku menjadi baby sister di kompleks sebelah. Dua ratus ribu sebulan. Dari pagi sampai sore hari saja kok… Nggak apa-apa kan??
?Aku memang lelaki yang tidak bisa bertanggung jawab. Maafkan aku… ?
Wulan menghapus air mataku dengan ujung selendangnya.
?Sudahlah… mungkin ini cobaan bagi kita. ?
Anggukan kepalaku, seperti penanda betapa begitu lemah dan rapuhnya aku sebagai seorang laki-laki dan kepala rumah tangga.
?Hati-hati ya…,? Kataku sambil mencium kening Wulan.
Kuantarkan Wulan sampai ke beranda. Tubuh rampingnya begitu cepat menghilang di ujung gang. Titik-titik gerimis menerpa wajahku. Kugosok-gosok mataku dengan kedua belah tangan. Aku harus yakin bahwa aku tidak mimpi atau belum sempurna bangun dari tidur.
Pelangi. Di langit kulihat selarik pelangi.
paDEPOKan, 9 Februari 2004.
Kado untuk Elisya Ayu Nengsih, istriku.