Budi Palopo *
Surabaya Post, 21 Maret 2010
rokok klobot sarunge jagung
rega diobral ngrusak pasaran
krasa abot laku aji mumpung
merga ana jenderal nembak sasaran
sapa sing ditembak, cak?
sapa sing disasar, kancane dhewe?
oh? gojang, oh? ganjing
ngaca kok nganggo lincipe beling
yen kebeler apa ra nggegirisi?
oh? gonjang, oh? ganjing
laku muring kok dianggep wening
apa bener aji duit ajine polisi?
** Gresik, 20 Maret 2010
SIAP, gerak?! Istirahat di tempat, gerak?! Ah, kok mirip komandan upacara saja pakai siap-siapan segala. Memangnya sekarang ini lakonnya apa? Yang jelas bukan lagi kisah Dulmatin. Juga bukan soal Century. Kalau toh penonton coba-coba merajut kisah reka lanjutan dari sejumlah adegan yang pernah ada, itu sih boleh-boleh saja. Yang telah terjadi toh merupakan kenangan. Boleh dicatat, boleh diingat, boleh pula dilupakan. Tapi kalau adegan itu ada Susno-nya, siapa sih yang bisa melupakan?
Ya, ya, ya?! Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji berulang kali membuat heboh di ?panggung pertunjukan? negeri ini. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu sepertinya benar-benar jadi lakon. Sejumlah adegan yang ada Susno-nya cukup menyita perhatian. Emosi penonton seolah diaduk-aduk. Kadang miris, kadang penasaran. Penonton pernah dibuat geregetan, manakala melihat adegan gontok Cicak vs Buaya. Ketika itu Buaya benar-benar tampak sombong, congkak, dan seolah nggugu benere dhewe. Merasa besar dan tak terkalahkan. Akibatnya citra polisi harus kembali didandani.
Entah apa sebenarnya yang terjadi di tubuh kepolisian negeri ini. Sepertinya, dari sejumlah ?adegan? yang ada, polisi tampak bekerja keras memoles diri. Aksi dandan terus dilakukan. Demi citra, ?aksi penangkapan? Nordin M. Top pun diperttontonkan. Sebuah rumah diserbu ramai-ramai. Tentu saja itu adegan menegangkan, yang berbumbu humor. Sebab, ketika itu dari dalam rumah ada suara teriak pengakuan: ?Saya Nordin M. Top?!?. Toh, kenyataannya yang tewas tertembak bukan Nordin, tapi Ibrahim (entah tertembak di mana).
Setelah Susno dicopot dari jabatan Kabareskrim, citra polisi pun kembali perlu didandani. Sebab, dalam persidangan Antasari, Susno bersaksi menguatkan pengakuan Wiliardi Mizar, bahwa penyeretan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin telah dikondisikan.
Kini, setelah polisi berhasil memoles citra dengan tertembaknya Dulmatin, ternyata citra itu kembali tercoreng. Sebab Susno mendadak nembang tentang adanya markus dalam kasus pajak yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Menurut Susno, ada 3 jenderal yang bermain sehingga kasus yang sebenarnya melibatkan uang Rp 25 miliar menyusut hanya menjadi Rp 400 juta setelah kasus itu ditangani Mabes Polri.
Oh, jagad sungsang bawana balik. Yang tersembunyi tak lagi jadi misteri. Yang tertutup jadi terbuka. Yang gelap mendadak bercahaya. Oh, jadinya kok begini?? Kalau saja Susno tak dicopot dari jabatan Kabareskrim, mungkinkah ia sudi bersaksi dalam persidangan Antasari? Kalau saja Susno masih menjadi Kabareskrim, mungkinkah tembang adanya ?markus pajak? di Mabes Polri bakal terdendangkan?
Oh, sik? sik? sik dulur. Nyruput kopi yang disuguhkan Ning Jan, biar kepala nggak terasa ngelu. Agar nggak krenggosan, agar nggak terkesan brangasan, ya kita perlu nata ambegan dulu. Hehehe?!
Siap, gerak?! Istirahat di tempat, gerak?! Ah, kok mirip upacara lagi ya. Ya, iyalah? lha wong kita memang mau mendengar pidato Inspektur upacara jeh. Mau tahu apa katanya? Begini: ?Sodara?sodara. Sekarang ini ada isu ?perang jenderal? di tubuh kepolisan. Karena itu di sini saya tegasken, bahwa isu itu tidak bener. Yang bener, penerang ruang yang dibawa Susno itu berbara api. Jika ada yang keslomot, kepanasan, itu bisa dimaklumi. Bahkan, jika nantinya Susno hangus terbakar oleh bara apinya sendiri, itu pun resiko yang mungkin saja telah dipertimbangkannya. Dan, kalau toh Susno harus jadi tumbal dalam ?perang jenderal?, eh maaf? sekali lagi saya tegasken? tak ada perang jenderal. Maksud saya, dari slomotan bara api yang dibawa Susno itu semua bisa jadi pelajaran, bahwa citra sungguh percuma jika dibangun dengan aksi rekayasa. Sebab, nilai kebenaran yang hakiki sampai kapan pun tak pernah mati. Demikian yang bisa saya sampeken. Terima kasih?!?.**
*) Budi Palopo, lahir di Gresik (27 April 1962) dengan nama Budi Utomo. Dalam dunia kepenulisan ia juga punya nama Budi Tom Sega. Pendidikan terakhir FMIPA / matematika Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya. Pernah mendapat tropy penghargaan dari Kanwil Deppen Jawa Timur, sebagai penulis terbaik dalam Lomba Karya Tulis Bulan Komunikasi, Surabaya 1985. Sebagai Juara III dalam Lomba Karya Tulis Bulan Produksi, Kanwil Depnaker Jawa Timur, Surabaya 1986. Mendapat penghargaan dari RRI Surabaya, sebagai Juara III dalam Lomba Menulis dan Membacakan Naskah Humor Hari Radio 1987.
Dijumput dari: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/03/22/perang-jenderal%E2%80%A6-99475.html