Waktu dan Mahabharata

Nyoman S Pendit
http://www.balipost.co.id/

WAKTU adalah waktu, waktu adalah peristiwa, waktu adalah sejarah. Hanya waktu yang dapat mengisahkan masa lalu, masa kini dan masa akan datang. Hanya waktu yang dapat mengisahkan peristiwa besar Mahabharata, sebuah kisah kepahlawanan abadi. Waktulah yang mengisahkan jatuh bangunnya suatu kebudayaan dan peradaban. Waktu pulalah yang mengisahkan permusuhan antara kebenaran melawan semua yang tak benar. Mahabharata adalah kisah vidya (cahaya ilahi) berhadapan dengan avidya (kegelapan). Tidak ada siapa pun yang dapat mengisahkan karya besar ini kecuali waktu. Sebab hanya waktulah yang menjadi saksi sejarah, walau mengenai tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu peristiwa.

Mahabharata adalah kisah mengenai perseteruan Arjuna lawan Duryodhana di medan Kurukshetra. Mahabharata adalah juga intisari pengalaman dalam lautan hidup manusia, yang setiap zamannya menampilkan kebenaran berhadapan dengan ketidak-benaran menurut zamannya sendiri. Perseteruan antara baik dan jahat terus menerus tampil berkesinambungan. Dan waktu tak pernah absen, sebab ia kekal abadi.

Kisah kepahlawanan Mahabharata harus didengar, dimengerti dan dicernakan sepanjang masa, agar setiap “masa kini” dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi “masa depan”-nya. Masa kini harus memberi peluang bagi setiap masa depannya. Dan waktu senantiasa mempersiapkan angkatan baru untuk terlibat dalam peperangan antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan ketidak-benaran. Waktu adalah teman, guru, ibu dan reshi yang menyampaikan kisah gilang gemilang dalam sejarah kehidupan manusia.

***

Kisah Mahabharata dimulai dari adegan yang menggambarkan Maharaja Diraja Bharata — putra Raja Dushmanta dan Ratu Shakuntala — kembali ke ibukota Hastinapura setelah mengakhiri suatu perjalanan panjang yang gilang gemilang, diawali di istananya.

Kisah awal, di istana Hastinapura Bharata disambut dengan meriah, sebab dalam kenyataannya dia telah memperluas batas-batas kerajaannya sampai ke pegunungan Himalaya dan pantai-pantai samudera. Keagungan Maharaja Diraja Bharata diakui, karena dia telah menjadi pelopor penabur benih-benih demokrasi untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bharata secara tegas membedakan karma (perbuatan) dengan janma (kehadiran) — intisari kehidupan adalah perbuatan, bukan kehadiran. Sebab, medan perang Kurukshetra adalah medan kewajiban moral.

Kilas balik dari semua kisah terdahulu perlu mendapat sorotan agar orang tidak terus menerus dirundung kealpaan, kesalahan, kekeliruan dan blunder yang fatal terulang terus. Sekelumit bayangan dari detik-detik peristiwa momentum sejarah dalam perang dahsyat di Kurukshetra ini perlu dipotret ulang sebagai catatan singkat. Dialog di antara Kunti Dewi, Gandhari Dewi, Yudhishthira, Dhritarashtra, Arjuna, Khrishna (Wasudewa) dan Widura diturunkan di sini sebelum Yudhishthira dinobatkan menjadi raja, Dharmaraja, negeri Hastinapura.

Kunti : Salam hormat, kakak.
Gandhari : Oh, kau Kunti, masuklah!
Kunti : Kakak, kelima anakmu ikut bersamaku. Juga Wasudewa.
Yidhishthira: Ibu yang kumuliakan, aku tak sanggup mengatur kebahagiaan sendiri. Tak seorang pun dari kami bersaudara akan pernah melupakan betapa Bhima minum darah dari dada Duhsasana dan mematahkan paha Duryodhana dengan gadanya.

Gandhari : Kaurawa, terikat oleh sumpahnya. Semua ini adalah hukum paling ringan. Buat mereka yang telah mempermalukan Draupadi, wangsa Bharata dan kemanusiaan. Anakku Bhima tidak membunuh mereka. Dia hanya menghukum mereka. Dan menghukum orang durhaka bukanlah kejahatan.

Dhritarashtra: Gandhari, akulah yang bersalah. Kutuklah aku. Kemudian, mungkin setelah hatimu tenteram, bersiaplah untuk pergi ke hutan.

Arjuna : Paman yang kumuliakan, mengapa mesti ke hutan?
Kunti : Benar, anakku! Sebelum masa lampau berlalu dan memberi ruang pada masa kini, masa mendatang tidak akan terjadi.
Arjuna : Apakah Paman yang kumuliakan, juga pergi ke hutan?
Krishna : Dia harus pergi, Arjuna. Bibimu juga adalah bagian dari masa silam.
Kelak jika kau hendak menebang pohon, ingat selalu, bahwa mungkin di bawah pohon itu Bibi Gandhari atau Paman yang mulia pernah berteduh.
Widura : Wasudewa, mengapa kau lupakan namaku?
Yudhishthira: Apakah Paman juga akan pergi?
Widura : Masaku sudah berlalu, Nak!
Krishna : Tapi kalian semua harus menunggu Yudhishthira dinobatkan oleh Paman Widura terlebih dulu.
Widura : Tentu!
Krishna : Masa kini tak mungkin berkembang tanpa berkat masa lampau. Sebenarnya kalian semua menyadari hal ini. Dhritarashtra: Wasudewa, tidaklah tepat bagiku hadir pada saat kemudian ini. Aku adalah raja yang menempatkan anak-anaknya di atas kepentingan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Aku tak sanggup. Aku harus pergi.

Yudhishthira: Paman yang kumuliakan, penobatan putra mahkota belum pernah ada, karena tahta singgasana Hastinapura belum pernah kosong. Paman masih tetap di atasnya sebagai Raja, dan….

Dhritarashtra: Tidak benar! Kaulah Dharmaraja. Kaulah yang mewakili kebenaran. Kaulah pewaris dan di bawah kepemimpinan Hastinapura akan menikmati keadilan. Aku Dhritarashtra yang buta ini tidak tahu bagaimana hidup dalam terang. Biarkan aku pergi dengan kegelapan dan keangkara-murkaan, Anakku. Sekalipun aku tak bisa melihat, namun aku dapat membayangkan kau akan tampak sangat bijaksana di atas tahta singgasana Hastinapura!

Terdengar gema suara orang banyak di angkasa dari kejauhan. “Hidup Hastinapura, hidup Dharmaraja Yudhishthira!” Dengan penobatan Yudhishthira menjadi raja Hastinapura, kini kebenaran mulai ditegakkan. Negeri Hastinapura berada di pintu gerbang zaman baru. Zaman kesejahteraan rakyat dan kebahagiaan negara. “Bahagialah mata yang beruntung dapat menyaksikan mahluk hidup di dunia mayapada ini menuju ke alam kebenaran dan keabadian selama-lamanya.” Buta mata menghalangi orang dapat menangkap makna tersirat di wajah lawan bicara. Buta telinga menyebabkan orang tak mampu mendengar irama seruling cilik di pedesaan. Buta lidah membuat orang tidak mungkin dapat mencicipi nikmatnya hidangan bunda kandung. Buta hidung mengingkari orang dapat mencium harumnya flora dan fauna, udara pegunungan. Buta kulit tidak memberi kebebasan orang merasakan lembutnya sentuhan-sentuhan bagaikan sutera.

***

Dharma tidak harus tergantung pada upacara, seremoni, atau tatatertib yang diatur resmi. Dharma adalah keseimbangan antara kewajiban kita masing-masing terhadap hak-hak orang lain. Karena itu, pemimpin suatu negara harus selalu menjunjung Dharma.

Bhisma berkata kepada Pandawa, “Apakah kalian bersaudara akan membagi Ibu Kunti-mu di antara kalian? Jika tidak, mana mungkin kalian bisa membagi negara ini? Kepadamu aku tekankan hal ini, karena di masa lampau timbul perang untuk membagi negara. Perang untuk membagi negara tidak boleh terjadi lagi! Itu termasuk masa lampau. Arjuna, ambil sejumput tanah lembab, oleskan di keningmu. Ini adalah titik suci (tilak) sebagai tanda sejud baktimu kepada Tanah Air, bumi persada ini!”

Berusaha menjadi anak-anak kebangkitan terangnya kebenaran dengan menjunjung tinggi Dharma, agar tidak terjadi lagi perang dahsyat di medan Kurukshetra, di kancah Dharmakshetra menuju kebenaran abadi. Weda ajaran Bagawan Wyasa ini adalah “Semua yang ada di dunia ini adalah hasil dari pikiran, kata dan perbuatan kita sendiri.” Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa kini untuk menuju masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *