Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id
Selama ini kita lebih mengenal sajak-sajak cinta karya Khalil Gibran dan May Ziadah. Padahal, dalam kesusasteraan Indonesia dari abad ke-16, ada nama Hamzah Fansuri dan Rabiah Al Adawiyah yang karyanya tak kalah besar. Di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (27/12), kumpulan sajak karya Rabiah yang berjudul Love Undererasure (Cinta di Bawah Karet Penghapus) akan dibacakan.
Diproduksi Teater Kail, pementasan akan dilakukan oleh para tokoh dari beragam latar belakang dimensi seni antara lain Dewi Yull, Jajang C. Noer, Ria Irawan, Riza Pahlawan, Jose Rizal Manua, Nani Tanjung.
Pertunjukan yang disutradarai oleh Sutarno SK ini juga akan didukung oleh para seniman yang dikenal cukup intens yaitu mulai dari Ratih Sanggarwati sebagai costum advisor, Syahrial sebagai penata musik, Tommy F. Alim sebagai penata artistik, Remmy Novaris DM dan Nuruddin Asyhadie sebagai penyusun naskah.
Love Underasure berkisah tentang cinta yang terhapus dan menghapus. Latar dari kalimat sederhana tetapi dalam ketika mengedepankan fakta bahwa cinta sering melukai manusia, membuat patah hati, bahkan membunuh kekasihnya atau keluarga yang sedarah dengannya maupun kekerasan antarkomunal. Bahkan, atas nama cinta terhadap nilai yang dijunjung tinggi baik berupa agama atau Tuhan, manusia bahkan bisa saling berperang, meledakkan bom dan melakukan genocide.
Dalam kumpulan sajak ini, dipertanyakan kembali apa makna dari cinta, lewat penelusuran kembali cinta yang ada di syair seorang Hamzah Fansuri, penyair dari Barus yang memperkenalkan bentuk pantun pertama dalam kesusastraan Melayu, dan Rabiah Al Adawiyah, perempuan suci dari Basrah yang amat terkenal dalam khasanah sufistik.
Dikemas Naratif
Dalam pemanggungan, tetap menggunakan performance poetry, sajak-sajak ini memang tak hanya digelar dalam bentuk pembacaan saja, tetapi juga dikemas dalam narasi pengembaraan ulang-alik ruang dan waktu.
Kisahnya, seorang presenter Love Love Love, sebuah program talk show di Love TV, mendapat kiriman e-mail Test Kepribadian Dalai Lama dari temannya. Tes tersebut menjanjikan bahwa dalam 96 jam, mantra akan keluar dari tangannya, dan sebuah keajaiban pun akan terjadi dalam kehidupannya, jika hal itu dapat dilaksanakan dengan benar. Ni Rina yang mulanya tak percaya, iseng juga untuk mengisinya.
Maka, setelah melakukan itu, keajaiban pun terjadi. Di hari favoritnya itu, Tuhan akhirnya mengirimkan Hamzah Fansuri kepadanya untuk memberikan sebuah karet penghapus, benda yang sebelumnya telah dihadiahkan oleh Rabi’ah kepada Hamzah. Namun, Hamzah tak juga dapat memikirkan rahasia di baliknya. Sebab, ia tak tahu benda apakah itu gerangan.
Dari pertemuan itu, dari masuknya Hamzah ke dunia sekarang yang hiruk-pikuk, serta merunut bagaimana segala keajaiban itu dapat terjadi; kegelisahan spiritual Hamzah, pertemuannya dengan Hud-Hud yang membawanya menemui Rabi’ah dan peristiwa ketika ia sedang memikirkan hakikat karet penghapus itu hingga terlelap. Dalam lelap itu, ia mendengar suara Tuhan untuk menemui sang presenter dan memberikan benda itu kepadanya, maka akhirnya keduanya sadar bahwa selama ini manusia tak pernah mencintai apa pun selain dirinya sendiri.
Cinta mereka dipenuhi hasrat-hasrat kekuasaan dan narsisisme dalam ekstase akhirnya ditemukan pencerahan berupa lenyapnya keinginan untuk menguasai dan memiliki objek yang dicintai, bukan dalam struktur yang menyisakan keakuan, tapi implikasi dari totalitarianisme, yaitu berupa ketiadaan. Sebab, hakikat diri sebenarnya juga adalah ketiadaan.
***