KEBENARAN DAN DUSTA DALAM SASTRA
Penulis : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Magelang, Indonesia Tera, 2001
Tebal : xiv + 260 hlm.
Peresensi : Manneke Budiman *
majalah.tempointeraktif.com
PERSOALAN dusta dan kebenaran dalam sastra tidak hanya tua dari segi usia. Bagi sebagian pemerhati sastra, ia mungkin juga sudah dianggap usang. Riwayat perdebatan mengenai dusta dan kebenaran dalam sastra ini dimulai dari Plato, dilanjutkan oleh Aristoteles, diramaikan oleh Oscar Wilde, dipolitisasi oleh rezim-rezim komunis, dan kini dihidupkan lagi oleh Radhar Panca Dahana.
Tampaknya Radhar menganggap dusta dan kebenaran dalam sastra masih enak dikutak-kutik dan perlu digugat kembali. Pada dasarnya Radhar hanya hendak mengukuhkan pandangan yang membuat dikotomi antara fakta dan fiksi, kenyataan dan imajinasi, ideologi dan estetika. Masing-masing memiliki teritori sendiri, dan intrusi dari wilayah yang satu ke wilayah lain mesti diharamkan.
Pilihan istilah oleh Radhar, “kebenaran” dan “dusta”, tentu saja suatu pilihan strategis karena, selain mampu mendramatisasi persoalan, pilihan tersebut juga memungkinkan penulis bermain-main dengan kebenaran dan dusta di dalam sebuah lokasi yang selalu menolak dipetakan, apalagi didikotomikan, yakni sastra.
Mengatakan bahwa Radhar sedang “bermain-main” tidaklah berlebihan. Bagaimanapun, sastra, seperti pernah dinyatakan Jacques Derrida dalam suatu wawancara, dapat mengatakan apa pun tentang apa saja, dan karena itu tidak perlu repot-repot dimintai pertanggungjawaban.
Dalam hal ini, “mengatakan apa pun tentang apa saja” bisa dipahami sebagai “dusta boleh, kebenaran pun oke” atau bisa pula berarti “dengan demikian, semuanya dusta dan tak perlu ditanggapi dengan serius”. Ambivalensi strategis seperti itu tecermin dalam beberapa aspek buku Kebenaran dan Dusta dalam Sastra.
Ada situasi ketika sang penulis mengidentifikasi diri sebagai “aku” dan dengan enak berbicara sebagai seorang seniman yang, ketika membuat pernyataan-pernyataan dan asumsi-asumsi, tidak merasa perlu memberikan alasan rasional, pembuktian, ataupun ilustrasi. Namun, ada pula saat-saat ketika penulis menyebut dirinya “saya” dan dengan serius berbicara sebagai seorang kritikus sastra atau seni yang didukung oleh argumen serta pembuktian berbau ilmiah.
Kapan penulis berganti persona dan di mana batas antara wilayah kredo dan wilayah kritik tidak begitu jelas dan, bagi Radhar, barangkali tidak perlu jelas. Dolanan Radhar lainnya adalah kritik yang ia lancarkan terhadap strukturalisme Saussure, yang katanya telah meniadakan sosok penyair sebagai subyek dan terlalu mengagungkan bahasa sebagai sistem.
Tetapi, pada saat yang sama, Radhar juga secara strategis memanfaatkan sistem struktural yang dikritiknya itu untuk menciptakan oposisi-oposisi biner, seperti kebenaran atau dusta, sastra atau nonsastra, sastra untuk sastra dengan sastra untuk masyarakat, kritikus atau pembaca.
Padahal pemahaman atas dunia berdasarkan oposisi-oposisi biner inilah sumbangan terpenting Saussure dan strukturalisme, meskipun hal itu kini telah didekonstruksi oleh para pemikir posmo dan nabi-nabi “Jalan Ketiga”.
Radhar tidak sedang berdusta, tentu saja, tapi semoga ia juga tidak sedang berpretensi menyampaikan kebenaran. Namanya juga main-main. Maka, dusta pun bisa menjadi kebenaran dan, sebaliknya, kebenaran bisa jadi dusta. Ini yang dikatakan Radhar dalam bukunya.
Ia tampaknya juga menyadari bahwa yang namanya “fakta” atau “kebenaran” kini justru sedang menghadapi gugatan dari para pemeluknya sendiri, yaitu kaum ilmuwan, filsuf, dan bahkan agamawan.
Sebab, konon fakta atau kebenaran adalah hasil rekayasa canggih terhadap imajinasi. Di lain pihak, kini fiksi justru merebut lahan tetangga dengan mencoba menjadikan dirinya sebagai sarana pemberita kebenaran, dan ini suatu hal yang dikecam keras oleh Radhar.
Sastra masuk koran itu baik, tapi koran masuk sastra itu haram hukumnya. Di tengah sinyalemen miskinnya kritik sastra atau seni di Indonesia (belum jelas ini dusta atau kebenaran), buku Radhar Panca Dahana patut disambut: bukan sebagai kebenaran dan bukan sebagai dusta, melainkan sekaligus sebagai kebenaran dan dusta.
Itu sebabnya, pada judul, Radhar memilih kata sambung “dan”, bukan “atau”, untuk menghubungkan kedua dunia yang seolah tolak-menolak tapi sesungguhnya tarik-menarik itu. Buku ini enak dibaca sejauh kita tidak bertanya “kapan, di mana, oleh siapa”, karena ini “bukan pertanyaan yang pantas diajukan”, mengutip kata-kata Radhar.
***
*) Manneke Budiman-dosen Fakultas Sastra UI.