Pecundang

Remmy Novaris DM
sinarharapan.co.id

Isu PHK semakin ramai di pabrik dalam beberapa minggu terakhir ini. Isu itu tentu saja membuat semua karyawan yang bekerja di pabrik itu kehilangan semangat bekerja. Mereka hanya duduk-duduk ngobrol atau bermain kartu. Mereka seolah-olah tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan.

Dan Tarno, salah seorang karyawan yang bekerja di bagian teknik, mengalami hal yang sama seperti karyawan lainnya. Tapi ia kemudian berpikir, bahwa ia tidak dapat terus menerus seperti itu, karena ia punya tanggung jawab keluarga. Ia tentu saja tidak ingin istri dan anak-anaknya terlantar.

Lantas apa yang aku harus lakukan? Pikir Tarno, suatu siang, di sebuah warung di belakang pabrik. Ia baru saja merampungkan makan siangnya. Sesekali ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan tiupan panjang. Ia seolah-olah ingin menghembuskan kepengapan yang menyelimuti rongga dadanya. Sementara itu tatapan matanya menerawang ke arah cerobong-cerobong asap pabrik yang menjulang seperti sejumlah jari-jari yang mencoba mencakar langit. Tarno membandingkan kepulan asap rokoknya dengan kepulan asap cerobong pabrik di mana ia bekerja.

Samakah dengan kepulan asap dapur ratusan karyawan yang bekerja di dalamnya? Pikir Tarno sekilas. Dan sekilas pula terbayang olehnya sebuah bayangan yang ingin segera ditepisnya. Jika isu PHK itu benar-benar akan dilakukan oleh pihak perusahaan, ia tidak saja membayangkan nasib keluarganya sendiri, tetapi juga seluruh keluarga karyawan yang bekerja di pabrik itu. Ke mana mereka semua akan mencari pekerjaan? Apalagi dalam situasi politik dan ekonomi yang tidak jelas seperti sekarang ini? Apa sebenarnya alasan pihak perusahaan ingin melakukan PHK? Apakah pihak perusahaan tidak sanggup lagi membayar pajak atau ingin melakukan efesiensi pekerjaan? Meningkatkan kecepatan dan kualitas kerja dengan menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin?

Sesaat Tarno menghela napas panjang dan mencoba menepis pertanyaan itu dari benaknya. Ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh lagi. Sebab semakin jauh ia memikirkan hal itu, ia semakin merasa harus melakukan sesuatu yang bukan tidak mungkin hanya akan menyeretnya kembali ke masa lalu. Terutama ketika ia menjadi aktivis mahasiswa dan menentang sistem-sistem kekuasaan yang kemudian berakhir di sebuah ruang sempit dan pengap selama beberapa tahun lamanya. Akibatnya, bukan saja ia tidak dapat meneruskan kuliahnya, tapi lebih jauh dari itu ia dipecat dari perguruan tingginya sebagai seorang mahasiswa. Tetapi yang lebih menyakitkan hatinya, ia ternyata dihianati teman-temannya sendiri. Dan temannya itu bukan saja hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga sekaligus merebut orang yang paling dicintainya di kampus dan akan segera dinikahinya. Sehingga, begitu ia keluar dari tahanan, ia tidak saja tidak dapat menemui calon istrinya, tetapi juga teman-teman seperjuangannya. Mereka semua ternyata telah berubah pendirian, terutama teman-temannya bukan saja yang mendapatkan jabatan-jabatan penting, tetapi juga yang duduk di bangku-bangku perwakilan rakyat. Mereka semua menjawab bahwa perjuangan mereka saat itu adalah masa lalu dan hanya romantisme kemahasiswaan.

Tarno mematikan sisa putung rokoknya di piring bekas makan siangnya dengan sedikit tekanan. Ia seolah-olah ingin menekan seluruh kegetiran yang dialaminya, membayangkan begitu jauh perbedaannya dengan teman-teman seperjuangannya. Ia mundur begitu jauh ke belakang untuk melupakan semua itu. Selepas dari tahanan ia pulang ke desanya di kaki gunung Slamet dan mencoba menjadi petani di sana. Ia mencoba menjadi orang desa dan membiarkan dijodohkan orang tuanya dengan anak gadis Pak Carik. Tetapi Pak Carik mempunyai ambisi tertentu untuk menjadi lurah dan memanfaatkan dirinya sebagai seorang mantan aktivis. Ia diminta oleh Pak Carik untuk melakukan demonstrasi terhadap calon-calon lurah lainnya. Bahkan kalau perlu melakukan berbagai cara untuk menghajar calon-calon lainnya sehingga mereka mau mundur dari pencalonan sebagai calon lurah. Bahkan kalau perlu melakukan tindakan-tindakan fisik dengan membakar sawah ladang mereka sehingga gagal panen. Mendengar semua rencana itu ia kemudian memilih meninggalkan desanya dan kembali ke kota memboyong istri dan anak-anaknya. Ia kemudian kontrak rumah di pinggiran kota di lingkungan industri dengan harapan ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di salah satu pabrik. Apa yang ia harapkan ternyata kemudian terpenuhi. Salah seorang tetangganya yang bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik mengajak bekerja di pabriknya. Dan semula ia bekerja di bagian pengepakan, tetapi kemudian ke bagian teknik. Bahkan karena kepeduliannya terhadap teman-teman sekerjanya, beberapa bulan kemudian ia dipercayakan teman-teman sekerjanya sebagai ketua kelompok.

Sesaat Tarno menghela napas panjang memikirkan apa yang dialaminya. Ia sungguh merasa cukup tenang bekerja di pabrik itu selama beberapa bulan. Paling tidak ia mulai mendapatkan sedikit harapan untuk membangun masa depan dan keluarganya. Tapi sekarang dengan adanya isu PHK itu, ia merasakan ketenangannya mulai terganggu.

“Waduh, Mas Tarno, saya cari-cari ternyata ada di sini.” Hasan, salah seorang teman sekerjanya, menyentak lamunan Tarno. “Ngelamunin apa, Mas?” Hasan berbasa-basi sambil meraih bungkus rokok Tarno yang tergeletak di meja. Ia mengambil sebatang dan menyelipkan pada bibirnya dan menyulutnya.

Tarno tidak segera menjawab pertanyaan Hasan. Ia hanya mencoba menduga-duga kabar apa yang akan disampaikan Hasan padanya. Ia sudah hafal betul kebiasaan temannya yang satu ini kalau sudah mencarinya. Ia hanya memberikan isyarat kepada pemilik warung untuk membersihkan mejanya.

“Lha, saya duduk, Mas mau pergi.” Hasan merasa kurang enak. “Saya tidak minta ditraktir, kok, Mas,” katanya lagi.

“Siapa yang mau traktir kamu dan siapa yang mau pergi,” Tarno menimpali. “Saya cuma ingin meja ini bersih,” sambungnya lagi.

“Syukurlah kalau Mas tidak buru-buru. Soalnya saya ingin kasih tahu sama Mas soal isu PHK itu,” kata Hasan dengan nada penuh penekanan.

“Kenapa memangnya?” Tarno menimpali agak dingin, meskipun memunculkan rasa ingin tahunya. Paling tidak ia ingin tahu apakah isu itu benar atau tidak.

“Ternyata isu itu berkembang lebih jauh lagi. Besok atau lusa seluruh karyawan pabrik akan melancarkan aksi mogok. Dan saya mendukung aksi itu sepenuhnya, Mas.” Hasan menyampaikannya dengan penuh antusias. “Soalnya kalau tidak kita lawan kapitalis-kapitalis itu, Mas? Kapan lagi?”

Sesaat Tarno hanya menghela napas panjang mendengarnya. Pengalamannya sebagai seorang aktivis sudah terlalu bosan mendengar bahasa atau istilah slogan seperti itu.

“Kenapa, Mas. Mas tidak setuju?” tanya Hasan memperhatikan sikap Tarno.

“Bukan tidak setuju?,” sahut Tarno tenang. “Persoalannya apakah kita sudah tahu persis apakah isu itu benar atau tidak. Kedua, apa saja yang jadi tuntutan aksi mogok itu. Ketiga, siapa yang akan memimpin aksi pemogokan itu.” Tarno mengingatkan.

“Semuanya sudah Mas. Dan Mas Budi dari bagian transportasi yang akan memimpin kita. Dia orang baru di pabrik ini, tapi pikiran-pikirannya bagus, Mas. Terutama kita menuntut dibentuknya serikat buruh di pabrik ini supaya pihak perusahaan tidak bersikap sewenang-wenang terhadap kita,” kata Hasan masih penuh semangat.

“Mas Budi?” tanya Tarno. Nama itu mengingatkannya pada seseorang ketika ia menjadi aktivis. Tapi bukankah banyak orang mempunyai nama yang sama dengan nama itu? Pikir Tarno. Dan ia hanya berharap nama itu bukan nama seseorang yang pernah dikenalnya sebagai seorang aktivis yang menghianatinya.

“Memangnya kenapa, Mas?”

“Tidak apa-apa?,” kilah Tarno. “Kamu masih mau di sini?” Tarno berdiri dari kursinya dan menghampiri pemilik warung dan membayar apa yang dimakannya tanpa menunggu jawaban Hasan.
***

Tarno memperhatikan jam dinding di ruang tamu rumahnya. Sudah pukul sepuluh malam. Isteri dan anak-anaknya sudah tidur pulas. Ia sendiri belum merasa mengantuk. Padahal, biasanya, pada jam-jam seperti itu ia sudah tidur nyenyak. Udara ia rasakan sangat pengap, sepengap pikirnya mengenai aksi pemogokan yang akan dilakukan seluruh karyawan. Ia sama sekali tak menduga bahwa isu PHK itu berkembang begitu cepat. Dan nalurinya sebagai seorang mantan aktivis seolah-olah memberi isyarat padanya, bahwa semua isu mengenai PHK dan pemogokan itu sebuah rekayasa.

Gila! Tarno mengumpat sendiri. Bukankah dengan aksi pemogokan itu pihak perusahaan mempunyai alasan untuk melakukan PHK terhadap karyawan yang tidak disiplin. Apalagi di dalam perusaan belum ada persatuan perburuhannya? Pikir Tarno. Pada saat itu juga ia ingin pergi ke rumah Hasan dan memberitahukan hal itu. Tapi ia kemudian ragu, bahwa dalam situasi seperti itu orang terdekat sekalipun sulit dipercayainya. Ya, jangan- jangan Hasan sendiri orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Dan ia tentu saja tidak ingin terjebak untuk kesekian kalinya.

Lantas apa yang aku harus lakukan? Membiarkan semuanya terjadi? Dan siapa Budi yang dimaksudkan Hasan? Nama itu mengingatkan Tarno pada teman sesama aktivisnya yang ternyata adalah salah seorang anggota intel kepolisian. Tarno baru mengetahui hal itu setelah ia mendekam di dalam tahanan dan Budi menawarkan kerja sama padanya. Jika ia mau bekerja sama dengan pihak kepolisian, maka ia akan dengan cepat dibebaskan. Ia tentu saja menolak karena sudah terlalu banyak rekan-rekan mahasiswa yang menjadi korban. Bukan saja tewas karena peluru aparat, tetapi juga hilang. Akibat dari penolakannya itu, ia dijatuhi hukuman berat dan dituduh subeversif karena melawan sistem kekuasaan. Waktu itu ia pun hanya bisa pasrah, ketika ia dipindahkan dari satu tahanan ke tahanan lainnya, karena bukan tidak mungkin ia akan mengalami hal yang sama seperti rekan-rekan mahasiswa lainnya bahwa ia mungkin akan di bunuh di suatu tempat. Tetapi ia bersyukur hal itu tidak terjadi, karena ia dapat meloloskan diri dan meminta perlindungan dari sebuah lembaga hukum.

Pada saat Tarno memikirkan semua itu, Hasan tiba-tiba saja muncul di teras rumahnya.

“Mas Tarno? Gudang pabrik dibakar orang!” Hasan mengatakan dengan terpatah-patah di sela-sela napasnya yang memburu.

“Yang benar, San?”

“Kita lihat ke sana!” desak Hasan.

Tarno kemudian mengikuti Hasan menuju ke pabrik melalui pintu gerbang pabrik bagian belakang. Ketika mereka sampai di sana api tampak mulai membakar dinding gudang pabrik.

“Pak Krisno dan Pak Uyung ke mana San?” tanya Tarno karena tak melihat kedua Satpam itu.

“Saya coba cari mereka ke depan, Mas!” kata Hasan seraya berlari menuju gerbang pabrik bagian depan, meninggalkan Tarno sendiri berusaha memadamkan api.

Beberapa saat kemudian Pak Krisno dan Pak Uyung muncul setengah berlari menghampiri Tarno. Kedua satpam itu segera menyergap Tarno yang berusaha memadamkan api.

“Kurang ajar kamu!” kedua satpam itu memukuli Tarno.

“Saya?” Tarno berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya, bahwa mereka salah paham, tapi setiap kali ia mencoba membuka mulut, sebuah pukulan menghantam wajahnya. Dan ia berharap Hasan segera muncul dan meredakan amarah kedua satpam, tapi sampai ia tersungkur dan tak mampu berdiri serta matanya mulai kabur, ia tak juga melihat Hasan berada di sekitarnya.

“Kita bawa saja ke kantor polisi, Pak!” kata seseorang dan Tarno seperti pernah mengenal suara itu. Suara yang sangat di kenalnya sewaktu menjadi aktivis mahasiswa.

Tarno berusaha membuka kelopak matanya yang robek. Meskipun tatapan matanya mulai mengabur, sosok Budi tampak jelas di matanya. Tarno pun seketika sadar, bahwa ia telah masuk dalam sebuah perangkap atau jebakan seperti apa yang dialami sebelumnya. Hanya saja ia tak mengerti, kenapa ia yang selalu diajadikan umpan atau kambing hitam. Dan ia tak tahu sampai kapan ia akan terus menerus dijadikan pecundang.

Tarno pun hanya dapat memejamkan matanya menahan sakit di sekujur tubuhnya, ketika ia diseret dan dilemparkan di atas lantai yang dingin di ruang kantor satpam.

TBC -Jakarta 2002

Leave a Reply

Bahasa ยป