Muhajir Arrosyid SPd
http://suaramerdeka.com/
KARYA sastra di Indonesia sampai sekarang tidak memberi tempat atau bahkan mungkin melecehkan kaum perempuan. Itu bisa terjadi, karena pengarang karya sastra masih didominasi kaum laki-laki. Dengan kelelaki-lakiannya itu, dia punya semacam cara berpikir yang masih condong kepada kaumnya. Bisa saja karena pengarang perempuan belum berani memberontak terhadap rongrongan sastrawan laki-laki. Dengan demikian, sastra juga memperkosa keperempuanan.
Hal itu disampaikan Guru Besar Sastra Undip Prof Dr Mudjahirin Thohir MA, sebagai moderator dalam kuliah perdana Program Magister Ilmu Susastra Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, di Auditorium Gedung Pascasarjana, belum lama ini. Kuliah diisi Guru Besar Ilmu Budaya UGM Prof Dr Siti Chamamah Soeratno dengan tema ?Sastra dan Pemberdayaan Perempuan?.
Prof Dr Siti Chamamah Soeratno menyebutkan beberapa sastrawan seperti Rendra dan Pramoedya Ananta Toer pernah dicekal karena karyanya dianggap mengganggu stabilitas. Dengan begitu, dapat ditangkap bahwa sastra menjadi sesuatu yang menakutkan. Itu artinya, sastra penting dan diperhitungkan.
Di situ sastra dianggap penting, namun berbahaya. Padahal, sastra bisa saja penting. Sastra juga dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan perempuan.
Stereotip
Karya sastra masih memberikan stereotip tertentu kepada perempuan. Contohnya, novel berjudul Buldoser. Dalam novel tersebut diceritakan penggusuran di sebuah kampung. Ibu-ibu marah dan berdemonstrasi. Mereka menelanjangi diri. Seorang pegawai pemerintahan datang dan berkata. ?Jangan emosional begitu dong bu, pakai akal.? Di situ digambarkan perempuan adalah emosional.
Contoh lain dalam novel-novel yang diangkat dalam film dan sinetron. Masih terdapat perempuan emosional, kenapa yang ditampilkan emosional hanya perempuan dan bukan laki-laki? Apakah tidak ada laki-laki emosional? Ini akibat budaya patriarkis yang dikenalkan pada anak sejak kecil.
Coba perhatikan ketika kita membaca novel ?Ayat-ayat Cinta?. Ada kata melayani, izin, dan bantu. Kata melayani hanya untuk perempuan dan laki-laki adalah dilayani, tidak ada muncul kata saling melayani. Ini adalah konsep tradisi. Kata izin hanya dari laki-laki dan yang meminta izin hanya dari perempuan. Demikian pula kata bantu hanya muncul untuk perempuan oleh kaum laki-laki.
Kita menganggap laki-laki dan perempuan sama. Namun, dalam karya sastra terlihat perempuan tidak diperhatikan. Kenapa demikian? Karena pengarangnya banyak laki-laki. Kenapa pengarang banyak yang laki-laki? Sebab, yang banyak mendapat kesempatan menjadi pengarang adalah laki-laki.
*) Mahasiswa Magister Ilmu Susastra Undip