Efri Ritonga
ruangbaca.com
Suara di seberang sana itu masih sama seperti biasanya. Riang dan bersemangat, apalagi saat berbicara soal sastra Islam dan komunitas Forum Lingkar Pena (FLP), Helvy Tiana Rosa seolah tak bisa dihentikan. “FLP bukan komunitas sastra Islam, orang saja yang menilainya demikian,” kata Ketua Majelis Penulis FLP ini.
Tidak pula mudah, kata Helvy, mendefinisikan apa itu sastra Islam. Kalau pun harus dibuat definisinya, ia menganggap sastra Islam sebagai sastra ketakterhinggaan yang berusaha mencerahkan diri sendiri, orang lain, dan membawa menuju jalan beribadah kepada Allah.
Begitulah. Perkembangan “sastra Islam” sampai berjaya seperti sekarang tidak bisa dilepaskan dari peran FLP selama 11 tahun keberadaannya. Dan FLP juga tidak dapat dipisahkan dari sosok Helvy, perempuan berusia 38 tahun yang menjadi salah seorang pendiri dan ketua umum pertamanya. Saat ini ketuanya adalah M. Irfan Hidayatullah.
Lahirnya FLP bermula di awal 1997. Waktu itu ia bersama Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan itu diisi diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan remaja.
Semua yang hadir pada diskusi itu lalu sepakat membentuk organisasi kepenulisan. Pada 22 Februari 1997 berdirilah FLP dan Helvy terpilih sebagai ketua umumnya. Saat itu anggotanya hanya 30 orang. Program utamanya adalah membuat pelatihan penulisan rutin dengan mengundang para pakar.
Kini anggota FLP telah tumbuh menjadi 5 ribu orang, terdiri dari pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, dan petani. Sekitar 70 persen diantaranya perempuan. “Jumlah anggota yang aktif menulis sekitar 700 orang,” ujar Helvy. Mereka ini pula yang membina anggota lainnya agar menjadi penulis.
Hasil pembinaan itu menggembirakan. Tercatat lebih dari 600 buku fiksi maupun nonfiksi untuk dewasa, remaja, dan anak diterbitkan anggota FLP. Komunitas ini juga bekerja sama dengan puluhan penerbit, membuka cabang di 125 kota di Indonesia luar negeri seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, serta Inggris.
Salah satu cabang yang sangat fenomenal adalah FLP Hong Kong yang dibentuk tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong pada 16 Februari 2004. Organisasi yang semua anggotanya pembantu rumah tangga itu telah menerbitkan beberapa buku. Tema karya-karya mereka sebagian besar mengangkat persoalan buruh migran perempuan.
Aktivis FLP juga mendirikan perpustakaan bernama Rumah Cahaya di setiap sekretariat cabang FLP. Khusus untuk anggota anak-anak dibikinkan FLP Kids yang menjadi motor bangkitnya pengarang cilik.
Supaya penulis-penulis baru terus bermekaran, selain sistem pembinaan yang berlapis, anggota FLP yang telah punya nama juga memberi rekomendasi bagi karya-karya penulis muda yang layak diterbitkan. “Setiap ketemu penerbit, mereka mengenalkan nama-nama penulis FLP lain,” ujar dosen sastra Universitas Negeri Jakarta ini.
Untuk program penerbitan buku FLP telah bekerja sama dengan puluhan penerbit di Indonesia. Upaya ini diperkuat lagi ketika pada 2003 bersamaan dengan terbentuknya Yayasan Lingkar Pena yang menjadi badan hukum FLP, didirikan penerbit Lingkar Pena Publishing House.
Buah dari kerja keras itu menelurkan banyak penulis produktif di FLP, di antaranya Asma Nadia, Tasaro, Arafat Nur, Nadhira Khalid, Sakti Wibowo, Sinta Yudisia, Agustrijanto, Afifah Afra, Izzatul Jannah, Melvi Yendra, Muthmainnah, Himmah Tirmikoara, Ekky Almalaky, dan Habiburrahman El-Shirazy.
Tidak hanya penulis dewasa, penulis-penulis cilik juga berkembang seperti Abdurahman Faiz, Sri Izzati, dan Putri Salsa. Buku pertama mereka berupa buku kumpulan puisi, novel dan kumpulan cerpen terbit saat usia mereka masih 8 tahun. Tak berlebihan jika di satu kesempatan penyair Taufiq Ismail menyebut FLP sebagai “hadiah Tuhan untuk Indonesia.”
Helvy kembali menegaskan FLP adalah organisasi inklusif yang keanggotaannya terbuka bagi siapa saja. Mayoritas anggotanya memang muslim, kata dia. Namun banyak pula pemeluk agama lain seperti Nasrani dan Budha yang bergabung dengan FLP. Seolah menjadi kesepakatan tak tertulis, menurut Helvy, semua anggota FLP baik yang muslim mau pun bukan, menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika. “Sastra yang baik bermain dengan simbol dan estetika, jangan berkutbah,” tuturnya.
***