Selamat Jalan Wartawan Pejuang

Bonnie Triyana
http://www.korantempo.com/

Awal 1978, dalam status tahanan kota, Joesoef menerima sepucuk surat dari Markas Kopkamtib untuk meminta kesediaannya diwawancarai oleh empat wartawan Amerika Serikat. Tapi, berhari-hari ditunggu, empat wartawan itu tak kunjung datang. Joesoef penasaran. Ia nekat menyambangi Kedutaan Besar AS untuk menanyakan kesahihan surat tersebut.

Ternyata surat salah info. Fred Cofey, Direktur USIS, mengatakan orang yang ingin bertemu bukanlah wartawan melainkan Patricia Derien, Deputy Secretary of State for Human Right sekaligus utusan pribadi Presiden Jimmy Carter. Pada Sabtu, hari H pertemuan (Joesoef lupa tanggalnya), Joesoef diminta menunggu Derien di kantor USIS. Pada saat yang sama Derien, didampingi Duta Besar AS Edward Masters, sedang bertemu dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Pulang dari Istana, Derien langsung menjumpai Joesoef. “You tell me everything! There is nothing to hide. In fact I know all what happened here…,” ujar Derien kepada Joesoef. Ia meminta Derien membantu upaya pembebasan tahanan politik di Pulau Buru dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, pemerintah Soeharto pun memulangkan para tahanan politik (tapol) secara bertahap hingga akhir 1979. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Hasjim Rachman–kelak bersama Joesoef mendirikan penerbit Hasta Mitra–adalah tapol terakhir yang dibebaskan dari Pulau Buru. Trio pendiri Hasta Mitra itu kini telah berpulang semua. Joesoef Isak wafat pada Sabtu (15 Agustus) pekan lalu menyusul dua karibnya, Hasjim Rachman (wafat 1999) dan Pramoedya Ananta Toer (wafat 2006).

Mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan pernah jadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika itu wafat tepat sebulan setelah hari ulang tahunnya yang ke-81. Tahun lalu para sahabatnya menyelenggarakan pesta ulang tahun Joesoef yang ke-80 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Ratusan undangan, dari aktivis, penulis, wartawan, pengusaha, sampai mahasiswa, menghadiri hajatan tersebut. Joesoef pun kelihatan cerah semringah. Namun, beberapa minggu setelah acara, kondisi kesehatannya menurun. Keluarganya membawa dia ke Singapura untuk memeriksakan kesehatannya.

Empat bulan sebelum wafat, ia mengatakan kepada saya bahwa kondisinya mulai membaik setelah menjalani pengobatan alternatif. “Aku berobat ke sinse di Gunung Sahari, Bung. Dia cuma tekan jempolku saja. Tokcer! Sekarang aku bisa tidur nyenyak dan sesak napas agak mendingan,” katanya. Obat mujarab lain baginya adalah kerja dan diskusi. Ia seakan lupa akan sakitnya kalau sudah duduk di depan komputer dan tetap melakukan pekerjaannya sebagai editor dan penulis. “Aku ini sehat kalau banyak pekerjaan dan berdiskusi, Bung,” katanya sambil terkekeh. Pada usia berkepala delapan, ia masih sanggup menyunting naskah sekaligus menulis kata pengantar untuk beberapa buku terbitan Hasta Mitra.

Lelaki kelahiran Kampung Ketapang, Jakarta Pusat, 15 Juli 1928, itu adalah editor karya-karya maestro sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Ada cerita menarik di balik penerbitan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pram. Awalnya Joesoef ragu menerbitkan naskah itu. “Jangankan yang beginian, novel yang fiktif saja dibredel Orba,” kata Joesoef. Hasjim Rahman, yang biasanya selalu bilang “aku tidak takut pada Jaksa Agung”, kali itu pun ikutan ngeper untuk menerbitkannya.

Joesoef tak kehilangan akal. Melalui sejarawan Henk Maier, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van Een Stomme. Setelah terbit di sana, naskah baru terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Tapi, baru sepuluh hari terbit, Jaksa Agung langsung membredelnya. “Itu rekor pembredelan tercepat. Biasanya sebulan,” kenang Joesoef.

Buku terakhir yang sempat disuntingnya sebelum wafat adalah Memoar Ang Yan Goan, pemimpin redaksi koran Sin Po. Ia juga menulis kata pengantar buat buku itu. Sama seperti Joesoef, Yan Goan terkena imbas pergolakan politik 1965 dan terpaksa menetap di Kanada bersama anaknya. Joesoef ditahan di penjara Salemba selama sepuluh tahun (1967-1977) atas tuduhan terlibat dalam peristiwa 1965. Sampai ia keluar dari penjara, tuduhan tersebut tak pernah bisa dibuktikan, apalagi Joesoef belum pernah disidangkan.

Kariernya sebagai wartawan bermula di Berita Indonesia, surat kabar republikein pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional, antara lain S. Tahsin. Pada 1949, B.M. Diah membeli Berita Indonesia dan menggabungkannya dengan koran Merdeka yang berdiri pada 1 Oktober 1945. Otomatis ia pun jadi wartawan Merdeka dan merintis karier di sana sampai posisi pemimpin redaksi. Berhenti dari Merdeka, Joesoef terpilih sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Joesoef Isak terkenal sebagai sosok wartawan yang teguh memegang prinsip kemerdekaan berpendapat. Ia punya banyak kawan diskusi, mulai wartawan, aktivis, sampai pensiunan jenderal pun datang ke rumahnya untuk berdiskusi. Joesoef bersahabat dengan siapa saja, tak peduli apa ideologinya. Semasa hidupnya, ia berkawan dengan Soebadio Sastrosatomo dan Adam Malik, dua tokoh bangsa yang punya keyakinan politik berbeda dengan Joesoef.

Semasa hidupnya, ia selalu mewanti-wanti agar anak-anak muda tidak melanjutkan konflik masa lalu. “Buat apa merelevankan konflik masa lalu? Untuk membangun Indonesia, kita harus terus menatap ke depan. Jadikan sejarah sebagai pelajaran,” kata dia. Menurut dia, baik Soekarno, Hatta, Sjahrir, maupun Tan Malaka sama-sama memiliki tujuan memajukan kehidupan rakyat Indonesia walaupun mereka melakukan dengan jalannya sendiri-sendiri. “Generasi muda harus melanjutkan kerja-kerja mereka, buang keburukannya, ambil sisi positifnya,” pesan dia.

Atas jasa-jasanya di dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat, ia dianugerahi beberapa penghargaan internasional, antara lain Jeri Laber Award (2004) dari International Freedom to Publish Committee, Amerika Serikat. Lantas pada 2005 Joesoef, bersama Goenawan Mohamad, menerima Wertheim Award dari Belanda, dan pada 2006 mendapat penghargaan “Chevalier dans l’Ordre des Arts et des Lettres” dari pemerintah Prancis.

Tiga pekan lalu, kami masih berjumpa di Komunitas Utan Kayu dalam diskusi dan peluncuran buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus, terbitan Hasta Mitra. Pertemuan berlanjut ketika saya menyambanginya dua hari kemudian untuk membicarakan penerbitan buku Banten Seabad Setelah Multatuli karya Ir Djoko Sri Moeljono, di mana saya menulis kata pengantarnya. Buku ini molor terbit sampai dua tahun dan kami berencana mencetaknya pada September mendatang. Menurut rencana, saya harus menemuinya lagi setelah 17 Agustus untuk mendiskusikan rencana teknis percetakan buku itu.

Rencana tinggal rencana. Sabtu (15 Agustus) dinihari pukul 01:30, saya ditelepon oleh Desantara, putra bungsu Joesoef Isak, mengabarkan bahwa ayahnya telah tiada. Saya kaget, tak percaya Pak Ucup pergi begitu mendadak, terlebih sehari sebelumnya ia masih sempat datang ke redaksi majalah Tempo untuk diwawancarai. Kerja belum selesai, belum apa-apa. Tapi Pak Ucup sudah punya arti bagi bangsa Indonesia. Ia telah berjuang, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Selamat jalan, Bung Joesoef Isak! *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *