Winarta Adisubrata
http://www.sinarharapan.co.id/
Belanda, Amerika Serikat, atau bahkan Korea dan Cina mungkin mencatat WS Rendra sebagai tokoh seni sastra dan drama Indonesia, ketimbang kita bangsa Indonesia sendiri. Penyair dan dramawan Willy Brordus Surendra Brata, yang pernah dikenal publik seni drama dan sastra Indonesia sebagai WS Rendra, menyatakan nama depannya WS adalah Wahyu Suleman (di Solo tempat Rendra dibesarkan WS sering dibaca “Wong Solo”.
Sejak duduk di SMP, Rendra naik panggung dengan tiga kapasitas sekaligus: penulis naskah drama, pemain utama, dan produser. Kita mencatat sandiwara berjudul “Bunga Semerah Darah” sempat menggegerkan penonton di Solo pada 1951 ketika ia belum duduk di SMA. Seorang Wunder Kind berani naik panggung dalam sebuah pertunjukan matinee (siang hari) di gedung wayang orang Sriwedari, dengan sangat mengejutkan penonton, karena si Anak Ajaib Rendra menampilkan seorang anak gelandangan sebagai pusat kisah dramanya.
Ketika duduk di SMA pada 1952, Rendra sudah mulai bersajak. Beberapa puisinya dimuat di Gelanggang Siasat (ketika itu redaktur pelaksananya Rivai Apin). Puisinya yang bercorak dan bernuansa baru di cakrawala sastra Indonesia pasca Angkatan 45 antara lain berjudul “Balada Atmo Karpo” dan “Paman Doblang” yang sangat mampu menandingi balada-balada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca yang diterjemahkan Ramadhan KH.
Kemunculannya ibarat meteor di horizon sastra Indonesia modern yang meniupkan nafas dan gaya baru dalam bentuk puisi modern, yang keruan saja ketika itu memukau Prof Dr Teeuw (pengamat sastra modern kita yang berdomisili di negeri Belanda), dan juga memancing perhatian “Paus Sastra” kita alm H.B. Yassin. Kumpulan puisinya “Sajak-sajak Duapuluh Lima Perak? (sebagian berasal dari sajak-sajaknya yang dimuat di cahier (buku tulis) seni sastra Gelanggang, lampiran di majalah Siasat) dan beberapa kumpulan puisi Rendra lain mulai diperkenalkan ke berbagai bahasa Barat maupun bahasa Timur lain.
Mendekam di Tahanan
Setelah lulus dari fakultas sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Rendra ke beberapa negara sosialis Asia (di antaranya Korea dan RRC), kemudian belajar tentang seni drama di Amerika. Mungkin karena agama yang dipeluknya dan gaya seni sastra Rendra yang universal serta pilihan naskah-naskah drama yang dipanggungkannya serta disutradari dan dimainkannya (a.l. Eugene Ionesco, Shakespeare, George Bernard Shaw, John Galsworthy dan Sophokles), Rendra tidak kena tuding sebagai seniman berhaluan kiri. Rendra memang tidak pernah terkait dengan lembaga-lembaga kebudayaan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Karya-karyanya, terutama puisi-puisinya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan bahasa Eropa lain. Dan tidak mustahil puisinya juga telah disalin ke bahasa Cina, Korea atau Rusia.
Kelebihan Renda bukan hanya dihargai di negeri sendiri, tetapi juga di negara Barat dan sosialis, menjadikannya tokoh seni Indonesia modern yang unik, karena selain menulis puisi dan prosa (seingat saya Rendra juga menulis cerita pendek pada tahun 1950-an untuk terbitan di Solo dan Yogya), juga mampu naik panggung sekaligus sebagai penulis naskah drama, produser dan pemain utama.
Sejak 1970-an Rendra banyak manggung di Jakarta, antara lain di Gedung Kesenian, Gedung Olahraga (Gelora) Bung Karno di Senayan dan Taman Ismail Marzuki.Satu di antara dramanya berjudul “Burung Kondor” kabarnya diproduksi dengan sponsor Jenderal Sumitro alm. yang ketika itu menjabat Pangkopkamtib. Namun drama itu dihubung-hubungkan dengan upaya yang mendekati makar, sehingga Rendra untuk beberapa minggu harus mendekam di tahanan polisi militer di Pasar Rumput, Jakarta.
Patut kita catat keunikan Rendra sebagai penyair dan dramawan dengan kepiawaiannya naik panggung dan berpuisi yang di Indonesia mengingatkan kepada penyair Asrul Sani (satu di antara penyair ?Tiga Menguak Takdir? dari Angkatan 45 yang sangat dikaguminya), walaupun Asrul sendiri hanya tampil sebagai sutradara pangggung dan penyusun naskah terjemahan dari Sartre atau Lorca.
Riantiarno
Riantiarno kabarnya merupakan salah seorang ?anak didik? dan pemuja Rendra. Karya dramawan muda yang dimainkan Rendra pekan lalu meyakinkan kita bahwa Rendra telah berhasil diikuti generasi penerus yang dituntut Rendra bukan sekadar penerus, tetapi sebagai pemikir dan generasi yang berbuat.
Sesudah lebih dari 50 tahun malang melintang di panggung dan menguntai berjilid ? jilid puisi serta puluhan tahun mengasuh sebuah pedepokan seni drama nun di Cipayung, Depok, Rendra telah menempa tradisi seni drama dan seni sastra melewati kurun waktu lebih dari 50 tahun. Memprihatinkan, kenapa hingga sekarang belum ada penerbit yang bersedia mengumpulkan karya-karya puisi dan naskah dramanya?
Gramedia atau Pradnya Paramitha tentu cukup representatif untuk mewakili kesadaran berseni sastra dari negeri kita untuk melestarikan karya-karya puisi dan drama Rendra yang harus dikumpulkan berbagai sumber dan dokumentasi.
Para pengagum Rendra yang sempat bersua dengan dia lewat “Kereta Kencana? Eugene Ionesco atau “Oedipus? dari Sophokles (atau ?Sobrat? yang baru saja dipanggungkannya pekan lalu) patut diteruskan dengan upaya menghimpun kembali naskah drama dan puisi Rendra yang bisa menjadi salah satu sumber inspirasi untuk menjernihkan kembali falsafah (kehidupan) bangsa yang sudah lama terlena dengan Panca Sila namun segala centang perentang yang terjadi di negeri selama ini masih jauh dari adab dan budaya berTuhan apalagi berperikemanusiaan.
Rendra dan pedepokannya patut mendapat perhatian dari pemerintah seta para filantrop supaya upaya ia tidak sekadar akan lenyap bersama sang waktu. Kita pantas dan wajib memberi penghargaan kepada Rendra dengan menopang kelestarian pedepokan drama Rendra, agar tetap lestari meneruskan cita-cita Rendra dalam memperkaya khazanah budaya bangsa, khususnya di seni drama.
Penulis adalah wartawan senior, teman sekolah WS Rendra di Solo