Air Terjun

Denny Mizhar *
Malang Post, 19 Des 2010

“Baiknya kau tak bepergian dahulu. Umur pernikahanmu baru memasuki selapan. Di sini saja, sampai kau punya anak. Biarkan suamimu saja yang pergi sendiri mengunjungi rumahnya. Toh, tak akan lama. Mungkin hanya seminggu atau dua minggu. Kami khawatir denganmu. Bila di jalan terjadi sesuatu denganmu”.

“Mak, aku juga berharap begitu. Tapi aku ingin menemani Kang Mas. Aku juga ingin menikmati daerah perbukitan di daerah Kang Mas. Aku tetap berangkat. Boleh kan kang Mas?”

“Dinda, semua keluargamu mengharap kau tak pergi. Tapi kalau kau memaksa, mau bagaimana lagi”.

“Terima kasih Kang Mas, Dinda sayang sama kang Mas”.

Hari yang cerah. Dewi Anjarwati bersama Suaminya pergi. Sebenarnya keluarga Dewi tak ingin melepas kepergiannya. Tapi Dewi memaksa. Keluarganya tak bisa mencegah. Sedang yang paling takut adalah Emaknya. Sebab semalam mimpi darah mengalir dari tubuh Dewi dan suaminya terbawa arus sungai. Emaknya, meneteskan air mata melepas kepergian Dewi dengan suaminya untuk berkunjung ke daerah perbukitan Anjasmoro.

Hari yang cerah, matahari terbit sempurna. Dewi dan suaminya berpamitan pada Emak dan Bapak serta semua keluarganya. Meraka berdua menaiki kuda putih dengan gerobak yang terbuat dari kayu jati. Terukir bunga-bunga pada dinding-dindingnya, merekah. Seperti wajah Dewi yang berbinar-binar menampakkan keceriaan juga wajah suaminya. Lain dengan Emaknya, meneteskan air mata, takut mimpi dan firasatnya akan menimpah anak dan suaminya. Tanpa memperdulikan air mata yang jatuh dari kelopak mata Emaknya Dewi berangkat, suaminya memacu kudanya. Berjalan berlahan sedikit kencang.

“Mas, jangan pernah meninggalkan Dewi?”

“Tidak akan Dewi! Sampai mati pun akan aku pertahankan cinta Mas, pada dinda”

“Benar ya Mas?”

“Yakinlah Dinda, tidak boleh siapapun menyentuh Dinda. Karena cinta Kang Mas pada Dinda serupa air terjun yang menderas tanpa putus.”

Tiba-tiba awan hitam menutup wajah matahari yang berseri-seri. Berarak-arakan awan menutup langit. Mendung tebal dan gelam. Hujan rintik-rintik mulai turun. Tetap di pacunya kuda putih yang menyeret mereka dalam gerobak yang indah. Tak dihiraukan air hujan turun yang mulai membasai kuda dan atap gerobak, sedikit nyiprat ke tubuh mereka berdua. Lama-lama jika diteruskan akan basah juga tubuh mereka. Dewi meminta berhenti dan berteduh ketika nanti melihat gubuk atau tempat yang bisa membuatnya istirahat sejenak menunggu hujan meredah. Hujan semakin deras, angin semakin kencang. Kuda putihnya berjalan lambat. Tak juga ditemukan tempat untuk berteduh. Masih merambat berjalan. Semakin basah tubuh mereka terkena cipratan air hujan yang membentur gerobak mereka. Dewi gusar, semakin gusar, alam tak bersahabat denganya.

Tiba-tiba berhenti kuda putihnya, tepat di perempatan jalan. Suami Dewi mencambuknya, mulai berjalan pelan. Kuda putihnya meringik menanda gusar, seperti Dewi yang gusar membaca alam. Dewi memeluk Suaminya.

“Kang Mas, Dewi takut”

“Tenang Dinda, tidak akan terjadi apa-apa denganmu. Kang Mas akan menjagamu”

Tak juga berhenti hujan yang deras dan angin kencang. Mengoyang-goyang dehanan pepohonan, keadaan semakin mencekam. Pohon-pohon pinus, jati, rerumputan dan ilalang bergoyang-goyang mengikuti pukulan angin. Hampir saja roboh gerobak Dewi dan suaminya. Tetapi suami Dewi langsung mengendalikan dan menjaga keseimbangan. Jalan mulai menanjak, tak juga bertemu tempat berteduh.

Tiba-tiba kuda berhenti, tak mau berjalan. Cemeti sudah berkali-kali dicambukkan pada kudanya tetap saja tak mau bergerak. Dewi mulai ingat Emaknya, resahnya, peringatannya, air matanya. Dewi mulai menteskan air mata dan merengek pada suaminya.

“Kang Mas, Dewi takut”

Suami Dewi diam, tak menjawab. Suami Dewi merasa ada yang ganjil dengan hujan dan angin yang menyapa dalam perjalanannya. Mulai diam, menenangkan Dewi dan merebahkan Dewi ke sisi belakang gerobaknya. Suami Dewi mulai merapal mantra dengan tenang. Dan memang nampak bayangan-bayangan hitam berkelebatan mengoyang-goyangkan pepohonan. Meraka saling tertawa dan bersuka ria. Suami Dewi tetap tenang dan terus membaca mantra. Dewi hanya rebah dan memandang Kang Masnya. Sambil menahan resah yang membucah sedari tadi.

Masih diam suami Dewi, mulai mengeluarkan keris yang dipunya dari bungkusan di belakang tempatnya duduk. Tiba-tiba angin meredah, hujan berlahan hilang. Dewi bangun, memandang suaminya yang berkeringat. Dewi mengusap keringatnya dengan selendang yang dikenankannya. Kuda putihnya mulai berjalan lagi, mulai sedikit kencang. Matahari mulai nampak kembali.

“Berhenti, serahkan perempuan itu padaku. Kalau tidak saya akan membunuhmu”

“Tidak akan aku serahkan, sampai matipun tidak akan!”

Laki-laki betubuh besar dan gagah menghadang mereka berdua. Dengan pasukan yang banyak. Dewi tidak dapat melihat pasukan yang di bawah Laki-laki bertubuh kekar tersebut. Hanya suaminya yang dapat melihat.

“Sepertinya kita telah dihadang banyak orang”

“Mana Kang Mas? hanya satu orang”

Lelaki bertubuh kekar mulai mendekat

“Memang, kau cantik sekali Dewi. Pasti semua orang akan terkagum-kagum memandangmu. Termasuk aku”

“Hai, siapa kamu. Hadapilah aku. Tak bisa kau menyentuh Istriku!”

“Ha..ha..ha.. Lawanlah aku, turun dari gerobakmu. Aku penguasa Anjasmoro, siapapun perempuan yang melewati daerah ini maka akan menikmati malamnya denganku dahulu. Apalagi kau Dewi, tentu tak akan semalam saja. Kau akan aku jadikan istriku”

Suami Dewi langsung meloncat dari gerobaknya, mengeluarkan keris yang dipunya. Mendekati lelaki bertubuh kekar. Tanpa banyak bicara langsung menyerang lelaki bertubuh kekar tersebut. Tapi pasukannya mengahalangi jalan suami Dewi menuju laki-laki bertubuh kekar. Satu persatu tumbang. Sebab suami Dewi juga memangil pengawalnya dari negeri gaib. Lalu sebagian membawa Dewi lari.

“Dewi, sembunyilah. Bila pertempuran usai. Kanda akan menjemputmu.”

Dewi lari sembunyi, sampailah di air terjun yang dibaliknya goa. Lalu Dewi masuk dan duduk di dalamnya menunggu suaminya bertempur. Sampai terdengar kabar, bahwa suami Dewi dan lelaki kekar tersebut sama-sama meninggal dengan melewati pertarungan yang sengit. Salang hantam, saling balas. Akhirnya sama-sama kalah. Pasukan suami Dewi yang membawa berita tersebut. Dewi pun mengikrarkan diri untuk bertapa di atas batu dalam goa di balik air terjun.

***

“Massssssssss……………”

“Ada apa Dewi?”

“Dewi nggak mau kehilangan Mas”

“Iya, ada apa?”

“Baiknya kita pulang saja. Seharian kita di sini. Sampai-sampai aku tertidur di pangkuan Mas. Memang udara di sini membuat aku terkantuk”

Sebelum beranjak pulang Dewi melihat wajahnya di air terjun. Seperti mengaca saja. Persis, cuma yang menjadi beda adalah pakaian yang digunakannya. Dewi terdiam, terpaku, ketengengen. Dewi mengaitkan dengan mimpi yang barus saja dialaminya.

“Dewi, katanya mengajak pulang kok diam seperti patung. Oh.. ada pelangi ya.”

Tetap diam, tetapi sudah mulai bergerak. Dewi tidak menceritakan pada Masnya apa yang dialaminya.

“Mas, Dewi takut!”

“Takut kenapa Dewi?”

“Takut kehilngan, Mas”

“Tidak akan Dewi! Itu janji mas”

Dewi dan suaminya berjalan menuju parkiran sepeda motor. Ketakutannya menyapa ketika ingat mimpinya tadi.

Sampailah Dewi dan suaminya di motornya. Mereka pulang, akhirnya sampai rumah.

“Dek, Mas mau beli rokok dulu”

“Hati-hati, Mas”

Kegelisahan masih menyelinap dalam benak Dewi. Tiba-tiba saja Dewi dikagetkan sapaan dari dalam rumahnya.

“Dari mana Ndok?”

“Dari coban, Mak”

Maknya kaget, langsung menyeret Dewi duduk di kursi.

“Dari Coban?! Mak kan sudah bilang. Jangan main ke Coban. Usia pernikahanmu masih selapan”

Tiba-tiba hand phone Dewi berbunyi.

“Dewi, yang sabar ya…”

“Kenapa Mbak?”

“Pokoknya yang sabar!”

“Iya Mbak”

“Mak mana, Dewi?”

Dewi memberikan hand phonenya pada Emaknya. Lansung lemas diam dan duduk dikursi bersandingan dengan Dewi.

“Sudah Mak bilang, kalian jangan main-main ke Coban Rondo dulu!”

“Ada apa Mak?”

“Suamimu meninggal, kecelakaan sehabis beli rokok di toko Mbakmu”

“Apa Mak! Yang benar Mak?!”

Mak Dewi menganggukan kepala. Dewi lemas. Tak terbayangkan semuanya. Dewi menangis di pangkuan Emaknya. Berusaha berdiri ketika mobil jenazah sampai rumahnya dan membawa suaminya untuk dimandikan lalu dimakankan.

***

Masih larut dalam kesedian, Dewi berjalan-jalan lagi mengunjungi air terjun. Sampai di tepi air terjun Dewi mamandang jatuhnya air. Dewi melihat lagi wajahnya sambil tersenyum memandangnya.

“Kemarilah… Dewi, kemarilah… Dewi. Mendekatlah…”

Dewi melangkahkan kakinya pelan-pelan sepertinya tubuhnya melayang-layang. Dewi semakin dekat dengan air terjun. Ada tangan menuntunnya. Dewi masuk dalam air terjun dekat sekali dengan batu yang nampak dalam mimpinya. Seperti kamar permaisuri, harum… penuh bunga-bunga.

***

Terlihat wajah sedih menaburkan bunga kembang tujuh rupa. Di samping-samping air terjun.

“Tuhan, salah apalagi hambamu ini. Dua kali terjadi pada ke dua anak perempuanku”

Lalu perempuan tersebut melihat wajah anak-anaknya dan suaminya sedang berada di atas gerobak yang ditarik oleh kuda putih. Mereka semua mengenakan kain putih. Dan melambaikan tangan pada perempuan tua yang menabur bunga.

“Berdiamlah di situ anakku, pacu kudanya. Aku menunggumu jika malam bulan purnama tiba”

Malang, 2010

*) Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Guru SMK Muhammadiyah 2 Malang.

Bahasa »