Sem Purba
http://www.mediaindonesia.com/
JANET DE NEEFE pertama kali tiba di Ubud, Bali, pada 1974. Cinta yang bersemi pada pandangan pertama membawa petualangan seumur hidup kepada perempuan asal Australia ini.
Pagi itu Bukit Campuhan, Ubud, tampak sangat hijau. Asri dan bersemangat. Tampak rerumputan tinggi yang menyelimuti bukit menari-nari mengikuti koreografi mata angin. Suara burung pipit terdengar dari persawahan yang menguning di dekatnya. Walau awan putih memblokade sinar matahari, hari itu sangat cerah.
Di dekat Restoran Indus yang berlatar belakang Bukit Campuhan, berjalan lah seorang perempuan berkulit putih dan berambut cokelat. Ia tampak anggun mengenakan kebaya Bali. Gerak-geriknya luwes meskipun mengenakan bawahan yang membungkus kaki berupa kain tradisional Bali. Keluwesannya berkebaya adalah satu bukti bahwa perempuan itu telah ”fasih berkebaya” dalam arti kerap mengenakannya.
Sepanjang jalan, senyumnya mengembang. Ia mengangguk, menyapa orang-orang di sekitarnya. Tampaknya, ia wajah yang familier dan bukan seorang turis bagi warga Ubud.
Orang-orang menyapanya dengan sebutan Ibu, bukan Miss atau Madame. Ia adalah Janet de Neefe.
Janet (50) telah lama tinggal dan bekerja di Ubud. Dapat dikatakan ia adalah seorang selebriti di Ubud. ”Ah tidak, saya hanya orang biasa,” katanya. ”Saya cuma ibu rumah tangga.”
”Setiap kali Ibu bikin festival, saya pasti dapat penghasilan tambahan yang lumayan,” kata Wayan Kata, seorang pengemudi taksi. Menurut Wayan, musim puncak liburan atau peak seasons di Ubud tidak hanya pada Juli-Agustus atau Desember, melainkan juga bulan di mana festival berlangsung, umumnya pada Oktober.
Putu Trista, seorang pemilik warung, juga mengaku penghasilannya bertambah seiring berjalannya festival.
Festival yang tadi dimaksudkan adalah Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang digagas Janet de Neefe. Kini memasuki tahun keenam, UWRF 2009 baru saja berlangsung dari 7 sampai 11 Oktober.
UWRF merupakan festival sastra tahunan yang menyajikan program-program kesusasteraan juga kebudayaan.
Inspirasi bom Bali
Dilihat dari sejarah berdirinya, UWRF digagas oleh Janet sebagai respons atas peledakan bom pada Oktober 2002. Peledakan bom ini, juga pada Oktober 2005, menghancurkan wisata–juga berarti ekonomi–Bali pada umumnya, merusak citra Bali, juga Indonesia.
Sebagai warga Bali, Janet (adalah WNI, menikah dengan seorang warga Ubud) merasa sangat tergugah dan terpanggil untuk bertindak. Ia ingin berbuat sesuatu sesuai kapasitasnya.
Saat itu, ia merenung, ”Saya amati, Ubud kaya akan ritual dan kebudayaan, namun belum pernah ada acara yang bersifat edukasional. Karena itu saya menggagas diadakannya satu festival sastra.”
Menurutnya, dampak psikologis bom Bali dapat disembuhkan dengan kata-kata positif. ”Seseorang dapat saja berkata-kata yang bagus, namun butuh penulis untuk menyampaikannya dengan baik untuk menjangkau lebih banyak orang,” kata Janet tentang kekuatan tulisan. Janet kemudian mulai menghubungi rekan-rekan penulis baik di luar maupun dalam negeri.
Berkat determinasi yang kuat, festival itu terlaksana pada Oktober 2004. Awalnya bernama Ubud Writers Festival.
Dari tahun ke tahun, festival ini menuai banyak pujian dan kritik baik dari peserta yang terdiri atas penulis dan pembaca juga dari media massa. Salah satu majalah tingkat internasional bahkan menobatkannya sebagai satu dari enam festival sastra terbaik di dunia.
UWRF pun masuk ke dalam agenda pariwisata, menarik ribuan penikmat sastra dari berbagai belahan dunia. Secara tidak langsung, UWRF telah meningkatkan ekonomi Ubud juga kepercayaan diri masyarakatnya. Dengan demikian memperbaiki citra Bali dan tentu saja Indonesia.
Selama penyelenggaraannya, UWRF telah menghadirkan banyak penulis tenar, antara lain Ayu Utami, Gunawan Muhammad, Vikram Seth, Cok Sawitri, Amitav Gosh, Wole Soyinka, Vikas Swarup, dan Hari Kunzru.
”Tentu saja komposisi para pengarangnya lebih banyak pengarang Indonesia,” tambah Janet. ”Dengan demikian mereka dapat kesempatan untuk bertemu dengan sesama pengarang dan karya-karya mereka dikenal di tingkat internasional.”
Regenerasi
Hebatnya, Janet banyak menghabiskan isi tabungannya untuk mengongkosi UWRF. Bahkan hingga UWRF yang keenam. ”Tentu saja banyak sponsor, tapi tahun ini cukup menyedihkan pendanaannya,” kata Janet. ”Memang benar, dunia tengah dilanda krisis finansial, namun sebenarnya yang UWRF butuhkan tidak banyak.”
Janet sangat mengharap bantuan nyata dari pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam pendanaan.
”Untuk mengatakan pendanaan sebagai rintangan, terdengar putus asa,kata Janet. Tim kami menyebutnya tantangan.”
Janet tetap optimistis menyelenggarakan UWRF tahun depan. Jadwalnya telah pasti, yaitu 6-10 Oktober 2010. Faktanya, Janet telah mengembangkan sayap UWRF ke banyak tempat di Indonesia. ”Tahun 2009 kami akan menyelenggarakan lima festival satelit. Tiga di antaranya adalah Borobudur, Makassar, dan Aceh,” papar Janet.
”Saya mengharapkan keterlibatan lebih banyak anak muda di dalam festival-festival ini. Mereka lah target utama kami, karena sastra Indonesia membutuhkan regenerasi,” katanya dengan serius.
Luar biasa gigihnya Janet. Jika ada pepatah, pada mulanya adalah kata, maka pada akhirnya adalah perubahan.
Janet telah memulai festival sastra, dan sejauh ini pengorbanannya tidak sia-sia. Hasil-hasilnya positif.
Awalnya, Gado-gado
Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Bali pada 1974, Janet remaja langsung jatuh hati, terutama dengan kekhasan kulinernya.
”Awalnya saya sangat terheran-heran dengan gado-gado,” kenang Janet. ”Kacang dibuat menjadi saus untuk sayuran. Saat itu, saya merasa janggal. Di Australia, kami menggunakan kacang untuk menemani roti, bukan sayuran.”
”Kemudian, banyak menu yang menurut saya tidak lazim, terutama kaki kodok. Rasa dagingnya mirip daging ayam.”
Sepuluh tahun dari 1974, Janet kembali ke Ubud untuk berlibur dan tak lama kemudian memutuskan untuk menetap.
Pada 1989, ia menikah dengan warga lokal yang seorang teman, I Ketut Suardana. Kini mereka adalah orang tua dari empat anak, dua laki-laki, dua perempuan.
Pada 2003, Janet menerbitkan buku berjudul Fragrant Rice yang berisi tentang perjalanan kehidupannya di Bali. Buku ini juga dipenuhi resep-resep masakan tradisional Bali yang telah membuatnya terpikat hingga menetap di Bali.
Janet de Neefe adalah wirausahawan bertangan dingin. Bersama suaminya, ia mengelola restoran Indus dan Casa Luna, berikut bakery dan dua penginapan di Ubud.
Sebagai penulis, Janet sendiri mengaku kangen menulis lebih banyak buku. Buru-buru ia menambahkan, ”Mungkin tidak sekarang, karena saya sangat sibuk dengan festival.”
Sebagai direktur UWRF, Janet merangkap pekerjaan sebagai PR, pemasaran, dan pencari dana. Ia kerap terbang ke Jakarta untuk mencari dana. ”Hari kerja saya dari Senin sampai Minggu,” tutur Janet. ”Sembilan puluh persen waktu saya untuk UWRF.”(OL-08)